"Jadi, selama tiga hari ini kamu masih akan saya bantu. Setelahnya kamu akan jalan sendiri," ujar Lita setelah dia menjelaskan apa yang disuka dan tidak disukai bosnya. "Untuk urusan administrasi dan pencatatan, semua yang handle sekretaris Pak Gama. Kamu lebih banyak ngurus ke hal-hal pribadi Pak Gama sih. "Oh ya kamu tau alamat Pak Gama kan?"
Kirana menggeleng. Boro-boro tahu, baru ngomong sedikit saja langsung kena sentak. "Saya tidak tau."
"Nggak masalah sih. Nanti kamu juga akan tau sendiri. Kamu kan akan tinggal di rumah Pak Gama."
Kirana mengerjap. "Jadi, itu benar ya Mbak saya harus tinggal di rumah Pak Gama?"
Lita mengangguk. "asisten yang sudah-sudah sih begitu. Tapi enggak ada yang bertahan lama. Sebelumnya enggak ada sistem denda, jadi mereka bisa kabur seenaknya. Kalau sekarang, Pak Dika katanya sudah mengubah aturan perjanjian kerja."
Kirana menelan ludah mendengar penjelasan sekretaris cantik itu. Dia jadi tidak yakin dengan dirinya sendiri. Apakah sanggup bertahan? Kirana menggeleng. Dia sudah bertekad. Sanggup atau pun tidak, Kirana akan bertahan.
"Mbak, kira-kira apa yang bikin mereka enggak tahan dengan Pak Gama?"
"Banyak faktor sih. Selain Pak Gama sendiri yang memang temperamen, mereka satu per satu tumbang karena..." Lita celingukan sebelum mendekati telinga Kirana. "Pak Gama sering bertingkah aneh. Dia sering bicara sendiri. Dan dengar-dengar aura rumah Pak Gama itu menyeramkan dan mistis," ujarnya sepelan mungkin.
Dahi Kirana mengernyit. "Menyeramkan dan mistis?"
Lita mengangguk-angguk. "Pak Gama sering bicara sendiri entah dengan siapa. Terus katanya lagi, aspri yang tinggal di rumahnya sering diganggu gitu."
"Hah? Diganggu sama Pak Gama?" pekik Kirana tertahan. Matanya hampir keluar.
"Bukan. Maksudnya diganggu mahluk halus penunggu rumah Pak Gama," jelas Lita. Membuat Kirana bernapas lega.
"Saya pikir Pak Gama yang gangguin mereka," ujar Kirana meringis.
"Yee! Kalau yang gangguin mereka Pak Gama mah mereka nggak bakal lari. Mendekat malahan." Lita terkikik.
"Kalau soal mahluk halus sih, selama kita nggak ganggu mereka kan mereka juga nggak bakal ganggu kita."
"Iya sih. Cuma denger cerita mereka jadi serem ih. Mana mereka katanya enggak bisa tidur lagi. Alhasil kerjaan mereka berantakan dan bikin si bos marah-marah mulu."
Kirana meringis. Kalau soal mahluk halus dia tidak terlalu khawatir atau pun mempersoalkan. Yang terpenting bukan Gama pengganggunya.
"Untuk jadwal harian Pak Gama, nanti tetap kamu yang mengatur, pertemuan atau perjalanan beliau, dan segala tetek bengek lainnya." Lita kembali mendekat dan berbisik. "Termasuk mengancing kemeja Pak Bos."
Mulut Kirana ternganga. Ya kali dia harus ngancing kemeja si bos. Emang itu bos nggak bisa kancing bajunya sendiri?
Lita terkikik melihat reaksi Kirana. "Santai aja kali, nggak disuruh mandiin juga kok."
Heh! Kirana melotot. Makin menjadi kalau itu benar. Sekalian saja dia jadi baby sitter si bos.
Lita kembali ke mode serius. "Nah kamu juga harus pelajari tiap divisi dan letak lantainya ya. Biasanya Pak Gama suka melakukan sidak gitu. Kamu bakal kena omel kalau tidak bisa membedakan letak divisi keuangan dan marketing."
Kirana mengangguk dia menerima beberapa lembar kertas yang Lita berikan.
"Jangan lelet pokoknya sih. Harus sigap, cekatan, dan cerdas. Pak Gama juga mungkin bakal sering berdiskusi soal bisnis. Jadi, banyak-banyak deh melahap pengetahuan tentang bisnis."
Kirana mengembuskan napas pelan. Sepertinya hari-harinya akan berat.
"Nah. Ini ipad buat kamu. Di sana sudah tertulis jadwal harian dan file-file penting juga tools yang bakal bantuin pekerjaan kamu." Lita menyodorkan sebuah ipad berukuran 10 inci. "Kamu ubah nanti password-nya agar benda itu cuma kamu yang bisa mengoperasikannya."
"Oke, Mbak."
"Oke, Kirana. Kamu udah bisa kembali bekerja. Meja kerja formalitas kamu ada di sebelah meja sekretaris."
Kirana melongo. "Meja kerja formalitas?"
Lita terkekeh. "Iya, cuma formalitas. Kamu palingan terkurung di ruangan Pak Bos terus."
Kirana menggaruk kepala yang tak gatal. "Gitu ya."
"Iya, sebagai asisten pribadi kamu akan menempel terus ke mana pun pak bos berada."
Kirana menarik napas panjang-panjang. "Oke, baiklah."
"Oh ya, pukul sembilan nanti Pak Gama ada rapat dengan salah seorang vendor di lantai tujuh. Nanti kalau urusan rapat begini, kamu yang akan infokan ke kami para sekretaris biar kami bisa menyiapkan file pendukung. Biasanya kalau rapat salah satu dari kami akan ikut juga untuk mencatat hal-hal penting dan hasil rapat."
Gama memiliki dua sekretaris yang membantu pekerjaannya. Lita sekretaris yang paling senior.
Kirana mengangguk. Setelah menerima bermacam penjelasan, dan berkenalan dengan beberapa staf direksi, keduanya lantas kembali.
Kirana baru akan duduk ketika ponselnya berbunyi. Dia meraih benda pipih itu dan melihat caller ID. Nomor tak dikenal. Tapi, dia terima juga panggilan asing tersebut dan menempelkan ponsel ke telinga.
"Mana teh saya?!"
Kirana sontak menjauhkan ponsel dari telinganya. Menatap dengan kesal ponsel itu. Manusia siapa yang berani menelponnya di jam yang masih pagi dan menanyakan teh? Kirana rasa orang yang meneleponnya punya gangguan jiwa.
Kirana kembali menempelkan ponsel ke telinga. "Kamu siapa? Telepon-telepon minta teh? Salah sambung!"
"Salah sambung?! Berani sekali kamu tidak menyimpan nomor saya!"
Kirana mengerutkan kening. "Memang siapa kamu? Kenapa saya harus menyimpan nomor kamu?"
Orang di seberang sana menggeram. "SAYA BOS KAMU!"
Serta merta Kirana melebarkan matanya. Bos? Kirana buru-buru berdiri.
"Maaf, Pak. Saya tidak tahu. Maaf. Saya akan segera membuatkan Bapak teh."
"Tidak usah! Cepat kamu ke ruangan saya!"
"Ba-baik, Pak."
Kirana mengembuskan napas seraya mengelus dada.
"Kenapa?" tanya Lita, melihat wajah cemas Kirana.
"Pak Gama memanggil. Saya ke sana dulu ya, Mbak." Kirana cepat-cepat menuju ruangan direktur.
Dengan dada berdebar Kirana mengetuk pintu depan ruang direktur lalu dia menyelinap masuk.
"Ini sudah lebih dari lima belas menit jadwal minum teh saya. Apa kamu tidak membaca daily activities saya?!" semprot Gama begitu wajah Kirana muncul di depannya.
"Maaf, Pak. Sa-saya akan segera buatkan."
"Tidak perlu!"
Kirana melonjak kaget. Hanya perkara teh kenapa bosnya bisa seberang itu?
"Dan berani-beraninya kamu tidak menyimpan nomor ponsel saya!" Gama melotot.
Kirana menggigit bibir kuat-kuat.
"Kamu sadar tidak, posisi kamu di sini sebagai apa?! Kamu itu harus siaga 24 jam buat saya. Bisa-bisanya kamu tidak menyimpan nomor saya."
"Saya benar-benar minta maaf. Tapi, sekarang saya sudah menyimpan nomor Bapak."
"Ingat ya, kamu masih ada dalam pengawasan. Jangan melakukan hal yang bikin saya kesal kalau masih ingin tetap bekerja di sini," ujar Gama dengan mata yang hampir keluar dari rongganya.
Kirana menelan ludah. "Ba-baik, Pak."
"Kembali sana ke mejamu!"
"Ba-baik." Kirana bergerak mundur dan cepat-cepat berbalik. Dia ingin kabur segera. Ternyata omongan Lita tentang galaknya sang bos memang bukan isapan jempol semata. Untuk hal sepele saja bisa semurka itu. Bagaimana Kirana bisa melewati hari bersama bos iblis seperti Gama?
"Heh, kamu mau ke mana?"
Suara Gama kembali mengudara. Membuat Kirana mengerem langkah seketika. Tubuhnya memutar.
"Sa-saya mau kembali ke meja saya," ucap Kirana terbata.
"Lalu kenapa keluar? Meja kamu di situ!" ujar Gama sembari menunjuk desk yang berada di sudut kanan ruangan.
Kirana mengerjap. Dari awal datang Kirana memang melihat ada meja kerja di sana lengkap dengan kursinya. Tapi dia tidak menyangka kalau desk itu akan menjadi tempat kerjanya. Satu ruangan dengan Gama itu artinya dia akan terjebak terus menerus bersama bos iblis itu. Ya Tuhan....