Kirana menarik napas panjang sembari menyentuh dada, sebelum tangannya terangkat. Saat ini dirinya sedang berada di depan pintu besar yang akan menghubungkannya langsung dengan sang CEO. Beberapa saat lalu seseorang yang menunggu front lobi kantor direksi sudah memberinya izin untuk masuk ke ruangan besar di hadapan Kirana.
Kirana sudah berusaha untuk tetap tenang dari sebelum dia berangkat ke kantor. Namun, kenyataannya dia tetap saja gugup.
Setelah beberapa kali menarik dan membuang napas, dia memberanikan diri mengangkat tangannya, dan mengetuk pintu lebar tersebut. Saat penghuni di dalam menyahutinya, dia pun bergerak menekan handle pintu yang lantas membuat lembaran kayu di hadapannya terkuak sedikit demi sedikit.
Kirana dengan tubuh rampingnya menyisip, menyelinap ke dalam ruangan itu. Dan begitu tubuhnya benar-benar sempurna berada di dalam ruangan tersebut, Kirana tidak bisa menyembunyikan rasa takjubnya begitu melihat kemewahan yang ada di dalamnya. Untuk beberapa saat Kirana melupakan tujuan dia mendatangi ruangan ini.
Kirana masih sibuk dengan ketakjubannya ketika sebuah dehaman menginterupsinya. Wanita itu terkesiap dan seketika sadar dirinya sedang berada di mana. Dia bergegas melangkah mendekati sebuah meja besar yang ada di sudut kiri ruangan. Sebuah meja kerja dengan tagname di depannya. Kirana membaca sekilas nama pemilik meja tersebut. Gama Sakti Raharja, Chief Executive Officer. Bola matanya bergeser ke atas dan mendapati seorang laki-laki dengan sorot mata setajam elang tengah menghujamkan tatapan maut padanya.
Dia ....
"Se-selamat pagi, Pak," sapa Kirana gugup. Dia tidak menyangka jika orang yang akan membawahinya langsung adalah pria yang kemarin sempat membuat tubuhnya membeku di lobi gedung. Pria dengan alis tebal membingkai kedua mata elangnya.
"Pagi!" Suara Gama membuat Kirana kembali terkesiap. "Saya tidak tahu dari mana Dika bisa mendapatkan kamu. Tapi, tolong jangan bersikap kampungan di sini," ucapnya dengan pandangan meremehkan. Suara beratnya juga terdengar mencekam.
"Ma-maaf." Kirana cepat-cepat menunduk.
"Perkenalkan diri kamu," perintah Gama menatap lurus wajah ayu di hadapannya.
Kirana kembali menegakkan kepala dan tersenyum kecil. "Saya Kirana Ardani, mulai hari ini saya akan bekerja sebagai asisten pribadi Pak Gama. Mohon bimbingannya."
Kening Gama berkerut. "Apa Dika tidak memberitahu tentang pekerjaanmu? Saya tidak akan pernah membimbing kamu. Kalau kamu memang tidak siap bekerja dengan saya, get out."
Kirana terperanjat. Bukan itu maksud perkataan Kirana. Dia hanya sebatas basa-basi saja. Sebelum masuk dan berani menghadap Gama, Kirana sudah mempelajari semua yang akan dia kerjakan nanti. Juga tidak ketinggalan wejangan dari Dika, Manajer HR yang menjadikannya asisten Gama.
"Ma-maksud saya bukan begitu. Saya sudah siap, Pak."
Gama mengangguk-angguk. "Sebutkan minimal sepuluh tugasmu sebagai asisten pribadi saya."
Kirana menarik napas panjang sebelum kepalanya mengingat tugas-tugas yang harus dia lakukan.
"Menjadi orang pertama yang menerima panggilan telepon maupun email dan memberikan respon jika memang diperlukan. Mengatur jadwal atasan termasuk di antaranya terkait pertemuan dengan klien atau mitra bisnis. Menyusun jadwal perjalanan serta membantu dalam memesankan tiket transportasi dan menyiapkan akomodasi. Membantu dalam mengingatkan atasan terkait deadline, tugas, pertemuan dan lain-lain...."
Gama mendengar seraya menatap wanita berdagu runcing di hadapannya. Sesekali tatapnya menyipit. Lalu keningnya mengerut. Dia sedang berusaha membaca karakter wanita itu.
"Menyimpan seluruh arsip biaya pengeluaran yang dilakukan maupun pemasukkannya. Berperan sebagai orang yang mencatat hasil rapat (notula). Menyiapkan segala berkas atau keperluan yang dibutuhkan oleh atasan di setiap aktivitas ataupun tugas pekerjaannya. Membuat perencanaan pertemuan atas nama atasan. Menyiapkan acara termasuk tempat atau ruang konferensi yang dibutuhkan. Membuat laporan pada setiap presentasi. Menjalin komunikasi dengan staf lain khususnya bagian administrasi untuk persiapan dana atau biaya yang dibutuhkan dalam menunjang aktivitas atasan. Dan ...."
Kirana mencoba mengingat lagi poin-poin penting yang sudah dia hapal dari semalam. "Selalu berada di sisi atasan di mana pun berada, menuruti perintah atasan, membantu menyiapkan keperluan dan kebutuhan atasan, me—"
Kirana berhenti bicara ketika Gama mengangkat tangannya. "Cukup. Itu bukan hanya sekedar dihapal. Tapi, juga harus dilaksanakan. Saya juga tidak mau memiliki asisten cengeng, bawel, dan tidak bertanggungjawab alias kabur di tengah masa kerjanya. Kamu tahu resiko apa yang akan terjadi jika kamu melanggar semua aturan perjanjian?"
Kirana menelan ludah mengingat jumlah materi yang akan dia keluarkan seandainya melanggar aturan itu. "Tahu, Pak."
"Siap bekerja di bawah tekanan? Saya tidak menerima asisten cengeng, kerjaannya suka mengeluh dan banyak gibahin atasan."
Kirana tersenyum canggung. "Saya tidak begitu, Pak."
Gama tersenyum miring. "Setiap yang bekerja di hari pertama pasti berkata begitu. Tapi hari kedua dan ketiga mereka menyerah."
Demi empat puluh juta dan rumah untuk ibunya, Kirana akan bertahan. "Saya akan berusaha, Pak."
"Well." Gama menekan interkom di depannya. "Lita kamu bisa ke sini."
Tidak lama kemudian seorang wanita cantik datang. Dia mengangguk hormat kepada Gama. Lantas menoleh kepada Kirana. "Saya Lita, sekretaris Pak Gama. Mari, Mbak. Ikut saya."
Tunggu! CEO itu memiliki sekretaris, tapi kenapa perlu personal assisten? Pertanyaan dalam kepala Kirana mendengung.
"Baik, Mbak."
Kirana mengangguk sebentar kepada Gama lantas mengikuti Lita keluar dari ruangan CEO.
Gama menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Tangannya saling tertaut, sementara kedua sikunya bertopang pada pinggiran kursi.
"Aku tidak bisa membaca apa yang ada di kepala wanita itu. Kira-kira kenapa?" tanya Gama yang dia tujukan kepada penjaganya.
Mahluk gagah perkasa dengan kostum ala Gatotkaca lantas muncul seketika. Sukma Perwira dengan kumis melintangnya tersenyum.
"Dia gadis istimewa sepertinya, Tuan. Saya melihat cahaya di sekitar tubuhnya," ucap Sukma.
"Benarkah? Apa dia memiliki pelindung sepertiku?" tanya Gama. Kemampuannya membaca pikiran lawan bicara tidak berfungsi pada Kirana.
"Sepertinya tidak ada, Tuan. Hanya saja dia memiliki aura berbeda yang tidak mudah ditembus."
Gama mengusap dagunya berulang. "Siapa dia sebenarnya? Bisa kamu mencari tahu tentang Kirana? Bagaimana mungkin kemampuanku tidak bisa menembus pikirannya."
"Sendiko, Tuan."
Sukma lantas menghilang dan hanya meninggalkan kepulauan asap yang cuma bisa dilihat oleh mata telanjang Gama.
"Berhenti menggangguku setan jelek!" hardik Gama lantas melempar sebuah bolpoin ke sudut depan ruangannya.
Serta merta mahluk serba putih berambut panjang dengan setengah muka yang hancur menampakkan diri. Mahluk itu menangis dan menjerit.
"Berhenti menangis atau aku lempar kamu ke Kutub Utara!" sentak Gama lagi.
"Tuan Tampan jahat!" teriak mahluk itu lalu kembali menghilang.
"Dasar mahluk tidak berguna," umpat Gama lantas memejamkan mata. Gama menghela napas beberapa kali. "Sampai kapan aku harus melihat mereka?"
Kemampuan Gama melihat makhluk-makhluk aneh di bumi sudah dia dapatkan sejak masih balita. Kemampuan itu didapat turun temurun dari kakek buyutnya. Setidaknya itu yang dulu ibunya katakan. Tapi, sumpah demi apa pun dia ingin menghilangkan kemampuan yang bikin tidurnya tak tenang seumur hidupnya itu. Bagaimana tidak? Dari dia kecil nyaris setiap malam tidurnya terganggu oleh mahluk-mahluk yang tidak punya sopan santun, keluar masuk di mimpinya sesuka hati.
Dan, karena kemampuannya yang bisa berkomunikasi dengan mahluk-mahluk tak kasat mata itu, semasa kecil dia dijauhi dan dikucilkan teman-temannya.
__________________
Selamat Hari Raya IdulFitri 1443 H
Mohon Maaf Lahir Batin