"Selamat pagi, Bu."
"Selamat datang, Bu."
Seperti itulah sapaan-sapaan yang dilontarkan dari para karyawan yang bekerja di perusahaan Ayah Lavanya. Lavanya sangat di hormati oleh semua orang yang ada di sana. Bagaimana tidak? Lavanya adalah putri dari pemilik perusahaan itu. Namun semua itu tidak membuat Lavanya menjadi sombong dan angkuh. Lavanya selalu menjawab sapaan mereka dengan senyuman.
"Selamat pagi semuanya," jawab Lavanya sambil tersenyum.
Kemudian Lavanya langsung masuk ke dalam ruang kerjanya. Sebelumnya dia bertemu dengan sahabat dekatnya. Dhira. Lavanya yang melihat keberadaan Dhira langsung menghampirinya.
"Dhira," sapa Lavanya.
"Lavanya. Udah datang aja pagi-pagi gini. Eh, tunggu sebentar. Kayanya ada yang beda nih dari kamu. Kamu kayanya lagi bahagia banget nih. Ada apa sih?"
"Kenapa sih semua orang bilang kaya gitu. Aku biasa aja. Ga kenapa-kenapa."
"Tapi sumpah ya. Kamu beda banget. Senyumnya beda dari biasanya. Kenapa sih? Ada apa? Apa atau siapa yang udah buat kamu sampai bahagia kaya gini?"
"Apa sih Dhira. Ga ada. Udah ah kalau gitu aku mau masuk ke ruang kerja dulu ya. Mau siapin berkas untuk meeting di luar nanti."
"Oke deh, siap Boss."
Lavanya pun masuk ke dalam ruang kerjanya. Lavanya dan Dhira sudah sahabatan sejak SMA. Lavanya sudah menganggap Dhira sebagai saudaranya sendiri. Selama ini Lavanya selalu berbagi cerita senang maupun sedih dengan Dhira. Dan Dhira juga mau menjadi pendengar yang baik untuk Lavanya.
Sayangnya kehidupan Dhira tidak sebaik Lavanya. Dhira sudah pernah menikah dan mempunyai satu orang anak laki-laki yang berusia 5 tahun saat ini. Tetapi pernikahannya gagal. Dhira memilih untuk berpisah dengan sang suami karena suaminya selalu bermain tangan dengan Dhira. Suami dari Dhira juga tidak pernah menafkahi dirinya dan anaknya.
Dhira juga bisa bekerja di sana karena bantuan dari Lavanya. Jika tidak, pasti akan sulit bagi Dhira untuk mendapatkan posisi kerja yang cukup tinggi di perusahaan yang sangat besar. Mengingat Dhira hanya lulusan SMA. Dhira tidak kuliah karena dia memilih untuk menikah dengan laki-laki yang sudah menyakitinya.
Setelah menyiapkan semua berkas untuk meeting, Lavanya pun langsung berangkat ke tempat. Karena meeting kali ini akan dilaksanakan di luar kantor. Lavanya juga harus menghadiri meeting kali ini sendirian. Karena Ayah dan kak Esha sedang menghadiri meeting di tempat yang berbeda.
"Dimana ya? Benar kan Restaurant sini," pikir Lavanya sambil melihat-lihat sekeliling Restaurant itu mencari para klien yang akan meeting dengannya.
Lavanya keluar dari dalam mobilnya. Baru saja Lavanya keluar dari dalam mobil, tiba-tiba saja tas milik Lavanya di ambil paksa oleh seorang laki-laki berpenampilan menyeramkan dan menggunakan sepeda motor. Lavanya spontan langsung berteriak meminta tolong. Lavanya ingin mengejarnya tetapi tidak mungkin. Karena orang itu menggunakan sepeda motor.
"Eh, copet... Tolong..."
Seorang laki-laki yang sedang naik motor langsung mengejar pencuri itu. Setelah berhasil mengejarnya, orang itu langsung menghajar pencuri itu dan mengambil kembali tas milik Lavanya.
"Ampun Pak, ampun," ucap pencuri itu.
"Pergi kamu dari sini dan jangan pernah ambil tas orang lain seperti tadi."
"I... Iya Pak, iya."
Beruntungnya pencuri itu dibiarkan bebas begitu saja dan masalahnya tidak diperpanjang ke jalur hukum. Setelah itu dikembalikannya tas milik Lavanya.
"Kamu?" ucap orang itu seperti mengenali Lavanya.
"Kamu? Kamu yang semalam udah tolong aku kan?"
"Iya, benar. Kamu kenapa sih selalu pergi sendirian? Kamu itu wanita. Udah dua kali kamu hampir celaka."
"I... Iya. Aku mau meeting di sini. Maka dari itu aku harus datang ke sini."
"Besok-besok, kamu minta temani karyawan kamu supaya lebih aman."
"Iya. Makasih ya sarannya. Oh iya, aku Lavanya."
"Arzan."
"Dan ini kartu nama aku. Kamu udah dua kali tolongin aku. Jadi, kalo kamu ada apa-apa, kamu bisa langsung hubungi aku."
Arzan hanya tersenyum mendengar ucapan Lavanya barusan.
"Kenapa senyum?"
"Kamu lucu sih. Kamu bilang kalau aku ada apa-apa, aku bisa langsung hubungi kamu? Kamu aja jaga diri kamu belum bisa."
"Ihhh... Nyebelin banget sih. Yaudah kalau ga mau ga apa-apa."
"Siapa bilang ga mau. Sini. Dan sini tangan kamu."
"Buat apa?"
"Udah sini aja."
Lavanya dengan ragu memberikan tangan kanannya kepada Arzan. Arzan membalikkan telapak tangannya. Ternyata Arzan menuliskan nomer teleponnya di telapak tangan Lavanya.
"Kendrick dan Fiona kemana ya? Kenapa dia ga ada?" tanya Guru yang sedang mengajar di dalam kelas.
"Fiona tadi terkena bola volly, Pak. Makanya dia masih di unit kesehatan sekolah. Masih tidak sadarkan diri. Kalau Kendrick yang tembakan Fiona di sana. Dia juga udah iIn sama Guru piket tadi, Pak," jelas Elina.
"Astaga. Terkena bola volly? Kok bisa? Makanya lain kali kalian kalo main bola itu hati-hati ya."
"Fiona nya udah hati-hati Pak. Tapi ada orang yang sengaja lempar bola volly itu ke arah Fiona," ucap Elina kembali sambil melihat ke arah Jane.
"Lu kenapa lihatin gua kaya gitu? Lu nuduh gua?" ucap Jane.
"Gua ga bilang gitu ya. Kalo misalnya lu ngerasa, bisa jadi lu emang beneran salah. Iya ga teman-teman?"
"Iya. Wuuuhhh, dasar," teriak semua teman-teman kelasnya.
"Apaan sih lu semua. Ga jelas."
"Sudah, sudah. Kalian semua kenapa bertengkar. Kita lanjutkan pelajaran kita di Minggu kemarin."
"Baik Pak..."
Kegiatan belajar mengajar di dalam kelas pun dilanjutkan. Jane berhasil sudah dibuat malu oleh Elina kali ini di depan teman-teman kelasnya sendiri.
"Ya ampun. Aku kira kamu mau ngapain. Padahal kan bisa di ketik langsung di handphone aku," ucap Lavanya.
"Ini beda dari yang lain. Yaudah kalau gitu kamu cepat masuk ke dalam. Aku jagain dari sini."
"Iya. Sekali lagi makasih banyak ya."
"Sama-sama."
Lavanya masuk ke dalam Restaurant sambil di awasi oleh Arzan dari kejauhan. Arzan hanya mau memastikan jika Lavanya masuk ke dalam Restaurant itu dengan selamat. Lavanya sempat menoleh ke arah belakangnya. Dan Arzan benar-benar mengawasinya. Lavanya memberikan senyuman kepada Arzan yang dibalas oleh Arzan dengan senyuman juga. Lama kelamaan Lavanya pun sudah tidak terlihat lagi. Setelah itu Arzan memutuskan untuk meninggalkan tempat.
"Kenapa wanita itu menggemaskan sekali?" batin Arzan sambil tertunduk.
Di dalam Restaurant ternyata Lavanya melakukan hal yang sama. Dia memandangi telapak tangannya. Dimana di atas telapak tangannya itu terdapat nomer telepon Arzan.
"Kenapa aku jadi merasa bahagia gini ya setiap ketemu dia? Kesederhanaan dia membuat aku merasa nyaman kalau ada di dekatnya. Apalagi dia adalah orang yang selalu nolong aku dalam waktu yang berdekatan," batin Lavanya sambil tersenyum.
-TBC-