Sejak kejadian dimana Arzan mengetahui siapa Lavanya sebenarnya, semenjak itu juga hubungan antara Lavanya dan Arzan kurang membaik. Komunikasi diantara mereka juga kurang baik. Bahkan untuk bertemu saja sekarang tidak bisa. Sebenarnya di dalam hati Lavanya, Lavanya ingin sekali menghampiri Arzan ke kantor tempatnya bekerja untuk menjelaskan semuanya. Tetapi Lavanya takut jika kehadirannya justru menganggu Arzan.
Hari ini Lavanya sedang tidak banyak kerjaan. Dia hanya sedang memikirkan Arzan di dalam ruang kerjanya. Tiba-tiba saja Ayahnya masuk ke dalam ruang kerjanya.
"Lavanya," panggil Ayahnya dengan sangat lembut.
"Ayah?"
"Kamu ga lagi sibuk kan?"
"Engga, Yah. Kenapa? Ada kerjaan yang harus aku kerjakan?"
"Engga, engga. Justru Ayah mau ajak kamu makan di luar. Gimana?"
"Boleh, Yah. Aku siap-siap dulu ya sebentar."
"Oke. Ayah tunggu di depan ya."
"Iya, Yah."
Ternyata Ayahnya ingin mengajak Lavanya makan siang di luar. Suatu hal yang sangat wajar ketika sang Ayah mengajak putri kesayangannya untuk makan siang berdua di luar.
Tempat makan pilihan Ayah dan Lavanya tidak jauh dari kantor. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja dengan menggunakan mobil mereka berdua sudah tiba di tempat. Dan ternyata Ayah Lavanya sudah reservasi tempat di sana. Di sana tersedia sejumlah 4 kursi. Membuat Lavanya bertanya-tanya kepada Ayahnya.
"Yah, Ayah udah reservasi tempatnya?"
"Iya, udah nak."
"Kok ada empat kursi, Yah? Kan kita berdua. Atau nanti kak Esha datang ke sini sama ceweknya, Yah?"
"Engga. Nanti ada teman Ayah yang mau ikut makan siang sama kita. Kamu ga keberatan kan sayang?"
"Aku ga keberatan si, Yah. Tapi kenapa Ayah ga bilang dari awal?"
"Iya, maafin Ayah ya nak."
"Iya, Yah."
Lavanya bahkan tidak marah sama sekali dengan Ayahnya yang tiba-tiba sudah reservasi dan juga mengajak temannya untuk ikut makan siang bersama. Begitu beebaktinya Lavanya kepada sang Ayah. Dia hanya menuruti semua perkataan Ayahnya selama itu adalah suatu hal yang masih baik-baik saja.
"Ershad," panggil Neneknya Hans.
"Iya Nek. Nenek ga kenapa-kenapa kan? Ibu, Danisa, Pak Faqih?"
"Engga. Kita semua ga kenapa-kenapa. Untung aja ada kamu yang tepat waktu datang ke sini. Terima kasih banyak ya kamu lagi-lagi udah menolong keluarga kami."
"Iya, Nek, sama-sama. Kebetulan aja Ershad lagi ke sini dan lihat rumah ini lagi berantakan sama orang-orang jahat tadi. Untung aja kalian semua ga kenapa-kenapa. Kalau gitu Ershad pamit dulu ya Nek, Bu, semuanya."
"Mau kemana kamu buru-buru? Makan dulu di sini sama kita."
"Ga usah, Nek. Terima kasih. Masih ada yang harus kita selesaikan soalnya. Kalau gitu Ershad dan teman-teman Ershad pamit dulu ya Nek, Bu. Permisi."
"Iya. Sekali lagi terima kasih ya Ershad."
"Sama-sama Nek."
Ershad dan teman-temannya memutuskan untuk segera pergi dari rumah Hans. Dia menolak tawaran dari Neneknya Hans untuk makan malam bersama di sana. Ershad melakukan itu semua karena Ershad tidak mau melihat kedekatan Aleysa dan Hans. Perasaan yang sangat aneh yang Ershad rasakan saat ini.
Sedangkan di ruang tamu Aleysa masih sibuk mengobati luka Hans.
"Tahan ya Hans. Mungkin agak sedikit sakit. Tapi kalau ga diobati, nanti luka kamu bisa infeksi," ucap Aleysa.
Dengan sangat hati-hati Aleysa mengolesi obat ke wajah Hans yang penuh dengan luka. Walaupun Aleysa sudah sangat hati-hati, tetapi tetap saja Hans meringis kesakitan.
"Aw. Pelan-pelan dong. Kamu bisa obati ga si?" bentak Hans.
"Maaf, maaf Hans. Ini aku udah pelan-pelan banget."
Aleysa masih saja terus mengobati wajah suaminya yang terluka. Lama kelamaan tubuh Aleysa semakin dekat dengan Hans dan akhirnya tubuhnya yang mungil itu terjatuh tepat dipelukan Hans.
Kedua mata Aleysa bertemu dengan kedua mata Hans. Mereka saling memandangi satu sama lain hingga akhirnya mereka berdua saling menjauh karena terdapat Neneknya Hans dan juga anggota keluarga lainnya yang menghampiri mereka semua.
Tidak lama kemudian teman yang dimaksud oleh Ayah Lavanya tiba di Restaurant. Dia terlihat membawa seorang laki-laki muda di sampingnya. Lavanya sudah langsung berpikir jika itu adalah anaknya dan mereka akan berusaha untuk menjodohkannya dengan Lavanya.
"Selamat siang Pak Aditya."
"Selamat siang. Ini anak kamu? Wah tampan banget ya. Siapa namanya?"
"Jay, Om."
"Ohh Jay. Jay, ini anak Om. Lavanya namanya. Lavanya, kenalan dulu sama Jay."
Lavanya langsung berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan untuk berkenalan dengan anak dari teman Ayahnya. Lavanya melakukan itu semua bukan semata-mata karena dia langsung suka dengan Jay pada pandangan pertama, tetapi karena Lavanya hanya ingin menghormati Ayah dan teman dari Ayahnya.
"Hallo. Labanya."
"Jay."
Ayahnya Lavanya langsung tersenyum melihat sikap anaknya yang sangat manis itu. Sesuai dengan harapannya.
"Ayo silahkan duduk," ucap Ayah Lavanya mempersilahkan temannya dan Jay untuk ikut bergabung makan siang bersama dengan dirinya dan juga Labanya.
"Iya, terima kasih."
Tidak lama kemudian pesanan datang. Lavanya dan yang lainnya makan siang bersama kali ini. Selama makan siang, Lavanya lebih banyak diam daripada untuk berbicara. Lavanya hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang dari Jay atau Ayahnya Jay. Hingga akhirnya makan siang sudah selesai.
"Terima kasih banyak ya atas kedatangannya. Jay, makasih ya udah mau datang. Nanti kapan-kapan main lagi. Main ke rumah Om aja langsung," ucap Ayah Lavanya basa-basi ketika Jay dan Ayahnya berpamitan.
"Iya Om, pasti. Lavanya, aku pulang dulu ya."
"Iya. Hati-hati ya. Hati-hati Om."
"Iya Labanya. Permisi."
"Silahkan."
Setelah Jay dan Ayahnya meninggalkan tempat, Lavanya dan Ayahnya juga ikut meninggalkan Restaurant. Kali ini mereka berdua akan kembali lagi ke kantor. Karena mereka berdua sangat bersikap profesional. Walaupun bisa saja mereka langsung pulang ke rumah atau pergi ke tempat yang lainnya.
Selama dalam perjalanan kembali ke kantor, Ayahnya Lavanya selalu bertanya kepadanya tentang Jay. Terlihat sangat jelas jika sebenarnya Lavanya tidak tertarik sama sekali untuk membahas Jay.
"Gimana Jay menurut kamu?"
"Gimana apanya, Yah?"
"Gimana orangnya? Baik kan. Sopan. Tampan lagi."
"Iya, Yah."
"Kamu kok kayanya biasa aja sama dia. Kamu ga suka sama dia?"
"Bukannya gitu, Yah. Aku kan juga baru pertama kali ketemu sama dia. Jadi aku belum bisa menilai dia yang terlalu gimana-gimana."
"Yaudah kalau gitu kalain harus kenalan lebih dalam lagi satu sama lain."
Lavanya hanya tersenyum tipis kepada Ayahnya. Lavanya kali ini benar-benar tidak suka dengan pembahasan yang dilakukan oleh Ayahnya sendiri. Untung saja perjalanan kembali ke kantor tidak lama. Sehingga Lavanya bisa langsung masuk ke dalam ruang kerjanya tanpa harus mendengarkan Ayahnya yang terus menerus membangga-banggakan Jay.
Setibanya di ruang kerja, Lavanya marah-marah sendiri. Karena apa yang dilakukan oleh Ayahnya, sebenarnya Lavanya tidak menyukainya. Tetapi Lavanya tidak berani untuk mengatakannya secara langsung.
"Ayah kenapa sih masih aja jodoh-jodohin aku sama anak temannya. Aku kan udh dewasa. Aku bisa memilih pasangan aku sendiri. Aku cuma mau bahagia sama orang yang aku cintai dan mencintai aku," ucap Lavanya sendirian.
Kebetulan tidak lama setelah itu Dhira masuk ke ruang kerjanya. Dhira masuk ke ruang kerja Labanya karena dia ingin meminta tanda tangan Lavanya sebagai atasannya di kantor.
Tok... Tok... Tok...
Walaupun Lavanya adalah sahabatnya sendiri, tetapi Dhira tetap menghormatinya sebagai atasannya di kantor. Dhira bisa bersikap profesional antara sahabat dengan pekerjaan di kantor.
-TBC-