Chereads / CEO'S SECOND WIFE / Chapter 6 - Lavanya Yang Sesungguhnya

Chapter 6 - Lavanya Yang Sesungguhnya

Hari telah kembali berganti. Matahari sudah menggantikan tugas rembulan untuk menyinari dunia. Pagi ini juga Arzan sudah menyiapkan kejutan untuk Lavanya.

"Mumpung aku lagi ada rezeki, aku mau kasih kejutan untuk Lavanya. Sekali-kali Lavanya pasti mau di kasih kejutan kaya gini. Semoga aja dia suka," ucap Arzan sendirian.

Arzan pergi ke kantor Lavanya dengan menggunakan sepeda motor yang sudah hampir 10 tahun menamninya dalam suka maupun duka. Sepeda motor yang begi Lavanya tidak ada artinya tetapi sangat berarti bagi Arzan.

Arzan pergi ke kantor Lavanya dengan membawa sebuket bunga mawar merah dan juga beberapa makanan yang sudah dia beli sebelumnya. Setibanya di sana kebetulan sekali Lavanya yang biasa datang pagi ke kantor dan pagi ini dia sudah tiba di kantor.

"Arzan? Kamu di sini?" tanya Lavanya yang langsung melihat keberadaan Arzan di sana.

"Iya. Ini aku ada sesuatu buat kamu. Semoga kamu suka ya."

"Ya ampun. Ternyata cowok kaya kamu bisa romantis juga ya."

"Sembarangan. Emangnya kamu pikir aku itu cowok apa?"

"Hahaha. Aku bercanda lagi. Makasih banyak ya. Aku suka banget sama semuanya."

"Sama-sama. Syukurlah kalau kamu suka."

Di tengah-tengah perbincangan Lavanya dan Arzan tiba-tiba datang seorang karyawan yang langsung memanggil Lavanya dengan sebutan "Ibu." Arzan yang mendengarnya spontan langsung berpikir jika Lavanya bukanlah seorang karyawan biasa di sini. Karena tidak mungkin karyawan biasa akan dihormati seperti itu oleh banyak orang.

"Selamat pagi Bu Lavanya."

"Selamat pagi Ibu."

Lavanya hanya terdiam sambil tersenyum dan melihat ke arah Arzan. Dari wajah Arzan tergambarkan rasa kebingungan di dalam dirinya.

"Kamu itu sebenarnya siapa sih di sini?"

"Aku karyawan di sini. Aku kerja di sini. Kamu ga kerja? Kamu berangkat kerja gih. Nanti kamu telat lagi."

Tidak lama kemudian datang juga Dhira, sahabat Lavanya. Dhira yang tidak tahu wajah Arzan pun bersikap biasa saja di depan Lavanya dan Arzan.

"Lavanya. Udah sampai aja pagi-pagi gini," sapa Dhira.

"Maaf Mba, saya mau tanya. Sebenarnya Lavanya itu siapa ya? Dia karyawan biasa di sini?" tanya Arzan penasaran. Dhira yang tidak tahu pun langsung menjawabnya dengan jujur. Padahal Lavanya sudah memberikan kode kepada Dhira supaya Dhira tidak membuka suara tetapi Dhira tetap tidak menyadarinya.

"Karyawan biasa? Sembarang kamu. Lavanya itu adalah putri dari pemilik perusahaan ini. Kamu siapa ya?"

"Ohh jadi gitu. Saya Arzan, temannya Lavanya."

Setelah mendengar nama Arzan, Dhira baru tersadar dan langsung menengok ke arah Lavanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Arzan sekarang sudah tahu siapa Lavanya sebenarnya.

"Yaudah kalau gitu aku permisi dulu ya Lavanya, Mba. Permisi."

"I... Iya. Sekali lagi makasih ya bunga sama makanannya."

Arzan hanya terdiam. Dia langsung menaiki dan menyalahkan mesi sepeda motornya. Kemudian Arzan pergi meninggalkan kantor milik Ayah Lavanya. Dhira yang merasa tidak enak dengan Lavanya langsung meminta maaf kepadanya.

"Lavanya. Maaf banget ya aku ga tau kalau itu Arzan. Aku kan ga tahu wajah dia kaya gimana."

"Iya ga apa-apa. Kamu ga salah kok. Aku yang salah karena aku udah ga jujur sama dia dari awal."

"Terus gimana tapi kamu sama Arzan? Dia marah ga ya sama kamu?"

"Aku ga tahu. Kalau misalkan kita berjodoh, pasti ga akan kemana. Udah lupain aja. Sekarang kita masuk aja yuk."

"Yaudah deh kalo gitu. Sekali lagi aku minta maaf ya."

"Iya, ga apa-apa Dhira."

Lavanya langsung merangkul pundak Dhira supaya Dhira tidak merasa bersalah lagi dengannya. Mereka berdua pun masuk ke dalam ruang kerja mereka masing-masing dan mulai menyelesaikan pekerjaan mereka hari ini.

"Pak Hans. Pak Hans ga kenapa-napa?" tanya Ershad.

"Engga. Saya ga kenapa-kenapa."

"Bapak tenang aja. Biar saya dan teman-teman saya lawan mereka."

Ershad dan semua teman-temannya mulai melawan orang-orang jahat itu. Hans juga masih melanjutkan pertengkarannya. Karena kalah jumlah dan kekuatan, akhirnya orang-orang jahat itu menyerah dan lari terbirit-birit dari rumah Hans.

"Ayo cabut, cabut," teriak salah satu dari mereka.

Lagi-lagi orang-orang jahat itu kalah. Kali ini kalah karena dengan bantuan Ershad dan teman-temannya. Hans sangat berterima kasih kepada Ershad. Walaupun sebenarnya Hans kurang begitu suka dengan Ershad karena kedekatan Ershad dengan Aleysa.

Ketika semua orang-orang jahat itu sudah pergi meninggalkan rumah Hans, Aleysa yang sedari tadi sangat mengkhawatirkan Hans pun langsung berlarian menghampirinya.

"Hans. Kamu ga kenapa-kenapa?" tanya Aleysa.

"Engga. Aku ga kenapa-kenapa. Kamu sendirinya ga kenapa-kenapa kan?"

"Engga, Hans. Aku ga kenapa-kenapa. Kamu banyak luka kaya gini di wajah kamu ya ampun. Aku bersihin ya. Ayo, sini pelan-pelan."

Aleysa membawa Hans pelan-pelan menuju ke ruang tamu. Karena tempat yang paling dekat dengannya adalah ruang tamu. Betapa terlihat sangat harmonisnya antara Hans dan Aleysa. Ershad yang melihatnya sedikit merasa cemburu.

"Sepertinya sekarang Pak Hans udah benar-benar sayang sama Aleysa. Dia udah mulai bisa mencintai istrinya. Seharusnya aku ikut senang. Tapi kenapa perasaan aku jadi sakit gini ya?" ucap Ershad di dalam hatinya.

Lamunan Ershad pun tersadarkan dengan Catline yang datang menghampirinya.

"Kak Ershad. Kakak ga kenapa-kenapa?" tanya Catline.

"Engga. Aku ga kenapa-kenapa."

"Tapi itu wajah kakak lebam. Aku obatin ya."

"Ga usah, makasih."

Catline merasa sedih karena tawaran baiknya ditolak oleh laki-laki yang dia kagumi. Setelah itu Neneknya Hans pun datang menghampiri Ershad untuk mengucapkan terima kasih kepadanya karena ssqsudah membantu Hans dan juga keluarganya.

******

Di sepanjang perjalanan Arzan terus memikirkan tentang Lavanya. Dia terkejut sekaligus sedih setelah mengetahui jika Lavanya dadalah putri dari pemilik perusahaan besar. Arzan sedih karena sebelumnya Lavanya tidak jujur dengannya. Arzan justru harus tahu semua itu dari orang lain. Tetapi walau begitu, rasa sayang Arzan kepada Lavanya tidak berkurang sedikit pun.

"Lavanya ternyata bukan orang sembarangan. Aku tahu kalau Lavanya bisa menerima aku apa adanya. Tapi apakah kedua orangtuanya akan sama? Pasti mereka berharap kalau anaknya mempunyai suami yang setara dengannya," pikir Arzan di dalam hatinya.

Hingga tidak terasa akhirnya Arzan tiba di kantor tempatnya bekerja. Arzan yang sedang merasa sedikit kecewa langsung masuk ke dalam kantor begitu saja. Bahkan ketika sang sahabat menyapanya, Arzan hanya terdiam dan mengabaikannya.

"Arzan. Tumben lu datang jam segini. Untung ga telat."

Sahabat Arzan terheran-heran dengan sikap Arzan kali ini. Tetapi dia juga tidak mau memaksa Arzan untuk bercerita atau bersikap sebagaimana yang dia inginkan.

"Itu anak kenapa ya? Ah palingan juga lagi berantem sama ayang barunya.

Sahabatnya Arzan pun mengabaikannya dan masuk ke dalam ruang kerja.

-TBC-