Xander begitu kehilangan kontrol akan emosinya dan juga amarahnya yang membeludak. Dia tak menyangka jika para pelayannya akan dengan seenak hati memerintah Daisy untuk sebuah pekerjaan yang seharusnya menjadi sebuah karangan bagi Daisy.
Awalnya Xander hanya akan keluar dari mansion, sebatas keperluan formalitas di perusahaan mendiang ayahnya. Namun apa yang ia dapati melalui cctv yang terhubung di perangkat ponselnya, justru membuat pemuda tampan itu marah.
Xander melihat dari latar ponselnya jika Daisy keluar melintasi gerbang mansion, yang mana hal itu merupakan salah satu larangan.
Dengan penuh amarah, dan urusanya yang belumlah selesai, Xander kembali menuju mansionya. Dia mulai mengintrogasi seluruh pelayan serta para pekerjanya.
Terutama kepada seorang pelayan yang bernama Florin. Xander memang tak pandang bulu dalam menyiksa siapapun. Dia akan dengan mudahnya menyakiti tanpa harus takut terlibat jerat polisi. Keluarga Alexander yang kaya raya dan memiliki posisi kuat di wilayah itu membuat siapapun sangat segan.
.
.
Kini Xander tengah membuka pintu kamar tempat di mana Daisy berada. Xander tahu jika semua masalah di hari ini bukanlah sepenuhnya kesalahan Daisy.
Xander dapat dengan jelas melihat dan mendengar Daisy yang menangis seraya memeluk lututnya sendiri. Gadis cantik yang menjadi pemilik hati Xander itu nampak sangat ketakutaan dengan bahu yang bergetar dan juga tangisanya yang terdengar sangat amat menyayat hati.
"Hiks, hiks ...." Suara tangisan Daisy semakin jelas kala Xander telah berada tepat di hadapan gadis itu.
Sejujurnya Xander tak pernah menyukai kala melihat Daisy menangis seperti saat ini.
Namun di dalam benak Xander, dia tak bisa dan tak ingin membayangkan di saat orang-orang di luar sana menatap dan mengagumi keindahan yang ada pada diri Daisy. Membayangkan semua hal itu membuat Xander terusik, darahnya mendidih, dan emosinya meningkat.
Benar. Xander tak pernah mau berbagi miliknya dengan siapapun. Miliknya, Daisy.
"Tuan Xander?" Daisy mendongkrak dan mendapati Xander yang sudah berada di hadapannya dengan kursi roda.
Wajah ayu Daisy yang basah dan memerah terlihat begitu menggoda di mata Xander, walau ia benci mengatakannya. Karena Xander membenci tangisan Daisy.
"Maafkan aku, Tuan. Hiks, aku bersalah, aku tak menuruti perintahmu, aku salah!"
Daisy berlutut di kaki Xander yang berada di kursi roda, dengan menyentuh kaki itu Daisy selalu mengulang-ulang kalimat maafnya.
"Daisy."
Itu adalah kata pertama yang diucapkan oleh Xander setelah kejadian hari ini. Daisy dapat merasakan jika telapak tangan besar milik Xander saat ini tengah berada di atas kepalanya, Xander mengelus lembut rambut milik Daisy.
"Apa Tuan masih marah kepadaku?" tanya Daisy yang kini tengah memberanikan dirinya untuk menatap Tuannya.
Oliver menghela nafasnya panjang. Ia menatap dalam kepada Daisynya yang terlihat begitu indah.
"Daisy, kemarilah," ucap Xander dengan suara rendahnya, menunjuk kepada pahanya.
Daisy masih terdiam dan sedang mencerna apa maksud dari Xander barusan.
"Kemari," ucap Xander dengan singkat sekali lagi. Pemuda tampan itu menunjuk pahanya, Xander menginstruksikan agar Daisy duduk di pangkuannya.
Daisy mengangguk paham, gadis cantik itu tak ingin membuat Xander kembali marah padanya, maka dengan segera Daisy mendudukkan dirinya dengan hati-hati di paha kokoh milik Xander.
Daisy dapat merasakan sentuhan hangat di pinggangnya dan juga detak jantung Xander di saat bersamaan. Daisy tak bisa mengelak jika berada di jarak sedekat ini dengan orang setampan Xander membuat seluruh darahnya berdesir.
"Maafkan aku," ucap Xander.
Di luar dugaan. Daisy tak pernah berfikir akan mendengar kata maaf keluar dari bibir Xander dalam situasi ini.
"Tuan Xan, jangan meminta maaf, ini semua adalah salahku. Aku yang bersalah, Tuan."
Daisy meletakan jemarinya di depan bibir Xander, gadis cantik itu tak ingin membuat Tuannya meminta maaf kepada dirinya yang hanya seorang pelayan, anak pungut, atau apalah sebutannya.
"Aku lalai menjagamu, Isy. Aku membiarkan dirimu keluar dari mansionku ini, ak--"
"Aku tahu, Tuan. Tapi kumohon lupakan ini semua. Aku meminta maaf. Aku berjanji semua hal ini tak akan terjadi, jadi kumohon jangan hukum siapapun hanya karena aku."
Xander tak bisa mengiyakan perkataan Daisy. Dia hanya tak bisa dan tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Tapi yang pasti,Xander tak akan pernah mau kecolongan lagi dengan membiarkan Daisynya yang begitu berharga keluar dari teritorial miliknya dan dilihat oken sembarang orang di luar pagar tinggi itu.
Tangan kekar milik Xander kini beralih membelai lembut pipi putih meronna milik Daisy.
"Isy, aku tahu aku adalah penjahat di dalam kisah ini. Aku penjahat dalam hidupmu--"
"Tidak Tuan! Kau bukan penjahat, demi Tuhan! Jangan pernah sebut dirimu sebagai seorang penjahat lagi! Kau adalah pahlawan bagiku, Tuan Xander."
Daisy lebih cepat memotong kalimat Xander. Walau ia tahu jika selama ini memang benar jika Xanderlah yang merampas kebebasan dirinya, namun di lain sisi Daisy memang berhutang nayawa kepada pemuda tampan ini.
"Isy, kau selalu menganggapku sebagai orang baik?" tanya Xander dengan mendekatkan bibirnya di telinga Daisy.
Daisy dapat merasakan hangatnya hembusan napas Xander yang menerpa leher jenjang putihnya.
"Tuan adalah orang baik. Tuan adalah penyelamat hidupku, aku berhutang sangat besar kepadamu untuk hal itu, Tuan Xander."
Xander tersenyum licik di balik leher Daisy, dia kini merekat pinggang Daisy dengan sedikit erotik.
"Tuan!" ucap Daisy dengan kaget karena merasa jika pinggangnya diremas oleh Xander.
"Jika aku penyelamatmu, dan jika kau merasa berhutang sangat besar kepadaku. Maka hal yang kau lakukan adalah membayar semua hutang itu dengan hidup berdua bersamaku selama-lamanya."
Daisy terdiam, lagi-lagi takdir menamparnya dan membawanya kepada sebuah kenyataan yang kelam di dalam kehidupannya saat ini.
Hidup Daisy bukanlah miliknya lagi.
"Baiklah, Tuan Xander. Aku akan melakukan apapun yang kau inginkan asal jangan lagi kau sakiti para pelayan atau siapapun."
Xander mengangguk, dia kini memilih untuk menyamankan posisinya dalam memeluk tubuh mungil Daisy. Bagi Xander tubuh Daisy adalah tubuh paling pas untuk ia peluk, sepertinya memang benar jika Daisy diciptakan untuk mengisi ruang kosong di dalam kehidupan Xander.
"Kak Flo--"
"Kau hanya boleh memikirkanku dan dirimu. Bukan orang lain, Daisy ...," ucap Xander yang telah lebih dahulu memotong kalimat Daisy yang belum selesai.
Daisy spontan mengangguk dan hanya bisa mencoba untuk diam, menghentikan tangisannya dan segala kegelisahan yang menyelimuti hatinya.
"Tuan Xan, bolehkan aku bertanya?Mengapa kuku-kukunya di cabut?" tanya Daisy yang masih berada di dalam pelukan menenangkan milik Xander.
Tak bisa dipungkiri memang jika ingatan akan Florin yang menangis dan kesakitaan tetap membekas di dalam ingatan Daisy. Daisy merasa sangat bersalah untuk hal menyakitkan yang terjadi kepada Florin.
"Dia jahat!" ucap Xander dengan sangat singkat.
"Tapi yang Tuan Xan lakukan juga sangat jahat," ucap Daisy dengan sepontan.
Xander sebisa mungkin menahan emosinya. Dia sudah sangat banyak marah hari ini, dab dia tak ingin marah terlalu besar apalagi pada Daisy, karena biar bagaimanapun Daisy adalah miliknya yang begitu berharga.
"Isy, ayo tidur kau lelah, kan?" tanya Xander yang mengganti topik pembicaraan.
Daisy menatap polos ke arah Xander. Kemudian setelah itu Daisy mengangguk dan menyetujui apa yang Xander katakan. Namun beberapa detik setelahnya Daisy membuka Hoodie lengan panjang yang ia pakai.
"Tuan Xan, kau pernah mengatakan kepadaku jika sesuatu di tubuhku berubah, aku harus memberitahumu, kan?" tanya Daisy dengan polos.
Walau usia Daisy telah memasuki angaka kepala dua, namun pembawaannya masih seperti seorang anak kecil.
"Ya, ada apa?" tanya Xander menjawab.
"Kulitku berbuah warna, di sini menjadi sesikit lebih gelap."
Iya, pergelangan tangan Daisy memang sedikit tersengat sinar matahari siang yang begitu panas.
Tentu saja hal itu akan sangat berbeda kontras dengan bagian kulit Daisy yang tertutupi Hoodie tebal.
Xander mengangkat pergelangan tangan Daisy untuk ia lihat dengan lebih teliti. Lalu kemudian pemuda tampan itu mengecup pelan pergelangan tangan milik Daisy dan mengelusnya perlahan.
"Kau menghitam?" tanya Xander sambil menatap Daisy dengan wajah tak terbaca.
"Tidak tahu, tapi ini sedikit menghitam," ucap Daisy yang sungguh terdengar sangat polos.
"Ya. Kau menghitam, Isy."
Xander masih mengelus pergelangan tangan Daisy dengan begitu lembut.
"Tapi kau tenang saja. Aku akan memperbaiki ini. Warnanya akan kembali seperti semula," ucap Xander.
Daisy hanya mengangguk polos tanpa mengerti maksud dari perkataan Xander barusan.
"Aku akan memesankan sesuatu untukmu," ucap Oliver.
Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dan mulai menelpon seseorang. Tangan sebelahnya ia gunakan untuk mengelusi rambut lembut Daisy yang berada di dadanya.
"Halo."
"..."
"Buatkan stok pakaian,"
"..."
"Aku ingin pakaian itu memiliki bahan yang lembut dan nyaman."
"..."
"Tidak. Aku ingin yang tertutup."
"..."
"Ya, dan harus aman untuk kulit sensitif."
"..."
"Putih, cream, abu-abu, biru dan hijau pastel. Aku ingi warna pastel yang pucat dan sederhana."
"..."
"Buat sebanyak mungkin. Model sederhana dan tertutup."
"..."
"Aku juga ingin banyak handsock."
"..."
"Hanya jari."
"..."
"Ya, semuanya harus aman dan nyaman untuk kulit sensitif."
"..."
Klik.
Xander mematikan panggilannya. Dia lalu kembali menekan nomor lain. Daisy yang sedari tadi bersender nyaman di dada Xander hanya bisa terdiam dan mendengarkan. Ia tak paham.
"Halo."
"..."
"Lotion dan salep."
"..."
"Sunburn."
"..."
"Aku ingin yang aman dan cepat."
"..."
"Ah, krim pelembab juga."
"..."
"Ya. Semuanya harus ada dalam satu jam kedepan."
"..."
Klik.
Xander mematikan telpon itu untuk yang kedua kalinya, lalu akhirnya ia kembali memasukan ponselnya ke dalam saku celana dan mulai fokus kepada Daisynya lagi.
"Tuan Xander," panggil Daisy dengan lirih.
"Hoam ...." Daisy menguap menahan kantuknya
"Kau mengantuk," ucap Xander yang semakin memeluk nyaman tubuh mungil Daisy.
Daisy mengangguk. Bukankah jika sehabis menangis maka tidur adalah cara terbaik?
"Hoam ...."
Perlahan Daisy menutup matanya dan ia jatuh tertidur di dada Xander.
Xander tersenyum. Dia memandangi Daisy yang tertidur dalam dekapannya.
"Daisy ...."
Xander, dia berdiri dan mengangkat tubuh Daisy untuk dibaringkan di ranjang berukuran Queen size yang tersedia di dalam ruangan ini.
Cup
"You're mine, Daisy."