Anggi berharap betul jika majikannya akan berada di rumah. Segera Anggi menuju kediaman Raka seusai kepergian sang suami. Rupanya nasib baik masih berpihak. Anggi mendapati sebuah kendaraan beroda empat. Pertanda jika Raka bermukim di rumahnya.
Anggi menyeret tubuh guna menemui lelaki yang sedang memainkan laptopnya di ruang kerja. Kehadiran Anggi ditangkap oleh Raka. Lelaki itu heran, karena Anggi tak langsung bekerja.
"Ada apa?" tanya Raka.
Anggi memilin ujung bajunya seraya menggigit bibir. Melihat wajah Raka mendadak membuat perasaannya tak karuan. Anggi menjadi grogi dan sungkan untuk melampiaskan isi hati.
"Ada yang mau diomongin, Mas," titah Anggi malu-malu.
"Ya, sudah. Tinggal bicara aja kok susah," balas Raka dan tetap melihat layar laptopnya.
Anggi tidak memiliki jalan lain selain meminjam uang pada Raka untuk membelikan suaminya Handphone. Anggi tak ingin risau menanti kabar pria tersebut seperti kemarin. Raka merupakan satu-satunya harapan. Maka, mau tak mau Anggi harus memberanikan diri.
"Aku mau pinjam uang sama Mas,"
Kalimat Anggi sontak mengundang tanda tanya di benak Raka. Pria itu menoleh perlahan, lalu menubrukkan sepasang alis.
"Berapa?"
"300 ribu aja, Pak,"
"Untuk?" Raka jadi penasaran, karena nominalnya begitu sedikit.
"Buat beli Handphone, Pak,"
"Bukannya kamu udah punya, ya?" Raka melirik saku celana Anggi yang membentuk persegi panjang.
"Emmm. Iya, Pak. A- aku mau beli Handphone buat su- suami," jawab Anggi menahan rasa sungkan.
Raka menahan tawa sambil memainkan janggut-janggut halus di dagunya. Kasihan sekali Anggi. Terpaksa dia harus berjuang demi mendapatkan kabar sang suami.
"Cukup apa 300 ribu, hem?" tanya Raka.
"Ya, Handphone yang murah aja, Mas. Asalkan bisa dipakai buat telepon dan SMS,"
Anggi juga tak ingin memikirkan gengsi. Lagi pula, Anggi tak mungkin bisa membayar hutangnya, jika ia meminjam dalam jumlah yang banyak.
"Suami kamu gak sanggup beli Handphone?" sindir Raka.
Wanita yang berstatus sebagai asisten rumah tangga itu hanya tertunduk lesu. Ia meratapi nasibnya yang lemah ekonomi. Anggi pun tak dapat melawan Raka, karena takut lelaki itu akan murka lalu memecatnya.
"Anggi-Anggi. Perempuan secantik kamu harus hidup dalam kesengsaraan," timpal Raka.
Raka menyalakan sebatang rokok, menghisapnya lalu mengembuskan asapnya tepat di wajah Anggi. Wanita itu memundurkan langkah dan menutup hidung akibat bau tak sedap yang dihasilkan oleh Raka.
"Memangnya kamu gak kepikiran buat cari suami yang lebih kaya?" Lagi-lagi Raka kembali bersuara.
Telinga Anggi memanas. Dia datang pada Raka bukan untuk menerima hinaan. Tak ingin membuat suasana hatinya anjlok, akhirnya Anggi pamit undur diri.
"Ya, sudah, Pak. Kalau memang gak dikasih gak apa-apa kok. Aku mau kerja dulu," kata Anggi perlahan mundur.
Bersamaan dengan itu, Raka menyentuh pergelangan tangan Anggi. Disisirnya tubuh Anggi dari ujung ke ujung.
"Ambil dan gak perlu diganti." Raka mengeluarkan tiga lembar uang dari saku celananya.
Netra Anggi membeliak. Tak disangka jika pada akhirnya Raka akan memberinya uang, bahkan dia mengatakan tak perlu menggantinya.
"Aku pasti ganti setelah gajian nanti, Mas," pungkas Anggi.
"Gak usah sok punya uang kamu,"
Raka tak ingin mendengar perkataan Anggi lagi. Oleh karena itu, dia pindah ke kamar atas untuk kembali melanjutkan pekerjaan.
"Ya, ampun. Gini ya rasanya jadi orang susah," keluh Anggi.
Ketika memutuskan untuk menikah dengan Jaka, maka Anggi harus siap terluka dari segala sisi. Anggi mulai akrab dengan hinaan dan rasa lelah menjalani hidup.
Di samping itu, Anggi juga merasa bersyukur karena ia dapat membelikan Handphone baru untuk Jaka. Kini, Anggi tak perlu cemas menanti kabar apabila suaminya pulang terlambat.
***
"Susi, sini kamu!" Tanpa diketahui orang lain, Jaka merengkuh paksa lengan Susi dan membawanya ke belakang café.
Susi yang baru saja melayani tamu spontan kaget dan mengira jika Jaka akan menuntut pelajaran padanya. Namun, Susi berusaha setenang mungkin.
"Ada apa lagi, Mas?" Susi memutar bola matanya.
"Aku bilang ke Anggi kalau café ini dibooking selama dua hari. Jadi, aku gak bisa pulang ke rumah. Aku gak mau tahu, pokoknya kamu harus kasih alasan yang sama kalau Anggi ada tanya ke kamu," ucap Jaka. Berusaha mengajak Susi berkompromi.
"Biar apa, Mas?" Susi terkekeh. Ternyata Jaka masih saja memikirkan Anggi.
"Kamu tanya lagi kenapa, Sus? Ya, aku gak maulah Anggi sampai tahu,"
"Loh! Bukannya semua ini keinginan kamu?"
"Kamu yang minta aku untuk ke rumah sakit. Aku gak tahu apapun, tapi tiba-tiba aja kamu udah nangis gak jelas,"
Susi adalah perempuan yang mampu merubah Jaka menjadi pria kasar. Tidak tahu lagi harus dengan cara apa meladeni tingkah Susi yang bermacam-macam tersebut.
"Aku bakal rahasiain semuanya, asal kamu tanggung jawab, Mas. Kamu harus nikahin aku!" Susi kembali mengeluarkan jurusnya.
"Kamu memang udah gak waras! Gak mungkin aku tanggung jawab untuk hal yang sama sekali gak aku lakuin," balas Jaka tak ingin dirugikan.
"Mas. Kenapa sih kamu gak percaya sama aku? Oh, atau perlu kita tes keperawanan? Ayo, Mas! Antar aku ke rumah sakit,"
Ajakan Susi membuat Jaka semakin heran. Kenapa perempuan itu berani berkata demikian? Jaka sedikit gentar. Ia khawatir jika dirinya memang telah melakukan hubungan terlarang dengan Susi. Sayangnya, Jaka tidak menyadarai itu semua.
"Jangan mimpi kamu, Sus! Pokoknya kamu jangan pernah bocorin kejadian tadi malam sama istriku,"
Jaka pun buru-buru lari sebelum ada yang memergoki keduanya berada di belakang café. Jaka memilih untuk berbicara pada tamu-tamu yang baru datang daripada harus membahas persoalan tak masuk akal dengan Susi. Jaka berharap, semoga Susi akan mendengarkan perkataannya.
***
Rintik air jatuh dari langit dan bersemayam di bumi. Banyak kendaraan yang menepi hanya untuk sekadar menyelamatkan diri dari pemandangan jalanan yang buram, termasuk Dodi.
Lelaki bertubuh jangkung itu memilih untuk menghangatkan badan di sebuah restoran. Dia memesan teh jahe dan duduk di kursi paling ujung yang berhadapan langsung dengan kaca. Dodi dapat melihat suasana Kota yang tertimpa air hujan.
Tak sengaja matanya menangkap seorang wanita yang juga sedang menyeduh segelas air. Dodi terhenyak saat tahu bahwa itu adalah Misri. Lama sudah ia tak berjumpa wanita itu. Entah kenapa alam kerap mempertemukan keduanya.
"Dari mana kamu Misri? Sepertinya kamu gak pernah bepergian bareng suami." Dodi bermonolog.
Sempat terpikir di benak Dodi untuk mendekati perempuan masa lalunya tersebut, bahkan dia sampai meminta kontak Misri. Namun, tiba-tiba saja Dodi tersadar bahwa cinta bukan berarti harus memiliki.
Semenjak pertemuan terakhirnya dengan Misri, Dodi memutuskan untuk menjauhi wanita itu dan menghapus kontaknya. Dodi tak ingin perasaan dahulu mendadak tumbuh, jika mereka kerap berdekatan.
"Semoga hidupmu bahagia Misri," titah Dodi yang tetap memilih untuk memantau Misri dari kejauhan.
***
Bersambung