"Sayang," panggil Jaka. Pria itu kembali mendekati istrinya.
"Iya, Mas?"
"Mas cuma mau bilang supaya lain kali kamu gak begini, ya. Kalau kamu laper dan ngantuk, setidaknya kamu usahakan dulu dengan beli makanan di luar. Jadi, semuanya bisa kebagian. Kalau begini kesannya kan kamu egois. Mas gak marah, tapi ini buat perbaikan ke depannya aja." Jaka mencoba menasihati istrinya.
"Iya, Mas," jawab Anggi irit bicara.
Perasaan Anggi jadi gelisah. Dia khawatir jika Jaka menganggapnya sebagai istri yang tamak.
Anggi pun mengambil kesempatan untuk berbicara dengan Dita, ketika Jaka sedang beristirahat di kamarnya. Dia tak ingin menjadi tumbal lagi kemudian hari.
"Dita. Bibi mau ngomong sama kamu,"
Dita yang sedang merebahkan tubuh di kamar sontak bangkit dan bersandar pada kepala ranjang.
"Ada apa, Bi?"
"Kamu lihat gimana reaksi paman kamu sewaktu gak ada makanan di rumah ini, kan? Ke depannya kamu gak boleh gitu, ya. Kalau kamu lagi pengen makan banyak ngomong aja sama Bibi. Supaya Bibi bisa siapin nasi dan lauk khusus buat kamu. Yang penting jatah untuk Paman dan Bibi jangan diganggu lagi, karena kita juga sama-sama kelaparan,"
"Bibir marah sama aku, ya?" Dita mulai memasang raut sedihnya.
"Engga. Bibi cuma gak mau kejadian ini terulang lagi,"
"Maaf ya, Bi,"
Dita tertunduk lesu dan tak berani memandang paras Anggi lagi. Seberes menyampaikan unek-uneknya, Anggi pun meninggalkan keponakan iparnya itu.
***
"Loh! Itu siapa di rumah Mas Jaka?"
Susi dikagetkan oleh kemunculan bocah asing di kediaman pria yang dicintainya. Susi membatalkan niatnya untuk ke pasar dan memilih mendekati sosok itu.
"Hei anak manis," sapa Susi.
Dita sedikit takut dengan kehadiran Susi. Pasalnya dia tidak mengenali perempuan bertubuh putih itu. Dita mengira jika Susi adalah penculik.
"Eh! Jangan takut. Saya orang baik," ucap Susi, ketika Dita hendak masuk ke rumah.
"Bibi siapa?" Dita memberanikan diri untuk bertanya.
"Nama Bibi Susi. Rumah Bibi di sebelah rumah ini." Kemudian Susi melayangkan telunjuknya ke sisi kiri.
"Bibi bukan orang jahat, kan?" tanya Dita yang masih saja berpikiran buruk tentang Susi.
"Hahaha. Bukan, Sayang. Bibi ini temennya Jaka sama Anggi,"
Barulah Dita tenang setelah Susi berucap demikian. Ternyata Susi mengenal paman dan bibinya.
"Ada apa Bibi ke sini?"
Dita pun kembali duduk di kursi beranda. Aktivitasnya diikuti oleh Susi. Kini, dia dan Susi saling bersisian.
"Bibi mau kenalan sama kamu. Siapa nama kamu?"
"Dita, Bi. Bibi Susi, kan?"
"Iya. Kamu siapanya Jaka?"
"Aku keponakannya Paman Jaka. Ibuku dan Paman abang adik,"
"Hah? Mas Jaka punya adik?"
Susi warga baru di tempat itu. Wajar apabila dia kurang memahami asal usul Jaka beserta keluarganya. Dia sungguh tak menyangka apabila Jaka memiliki saudara lain.
Lalu Dita pun menceritakan tentang keluarga mereka dengan detail. Dia juga mengatakan bahwa dirinya adalah yatim piatu yang baru saja kabur dari panti. Susi mendengarkan dengan serius. Ia benar-benar tertarik dengan kisah yang dibagikan oleh Dita.
"Oh, jadi ibu kamu dan Jaka saudara angkat? Bibi kira kandung," kata Susi setelah Dita menyelesaikan seluruh perkataannya.
"Bukan kandung, tapi udah kayak saudara kandung, Bi,"
"Iya, Bibi paham. Ngomong-ngomong, kamu tidurnya sama mereka, ya?"
"Enggak, Bi. Aku tidur di kamar almarhumah Nenek Jamilah,"
"Aish! Kenapa gak tidur sama Jaka dan Anggi aja sih, supaya mereka gak bisa ngapa-ngapain." Susi bermonolog.
"Kamu sendirian di rumah?"
"Iya. Paman Jaka dan Bibi Anggi udah pergi kerja,"
Hari ini Susi dan Jaka memang berbeda jadwal masuk. Mengetahui bahwa Dita seorang diri di rumah menimbulkan pikiran negatif bagi Susi. Wanita itu dapat memanfaatkan keadaan demi mendekatkan dirinya dan Jaka.
"Dita. Ikut Bibi jalan-jalan, yuk!"
"Ke mana, Bi?"
"Ke mall,"
"Wah. Bener, Bi?"
"Iya. Kita pergi sekarang, ya,"
Dita langsung menggenggam tangan Susi dan menariknya ke luar. Bahagia sekali saat mengetahui bahwa ia akan diajak jalan-jalan. Sebuah kegiatan yang sudah lama tak dilakukan oleh Dita.
Susi ingin membuat pendekatan dengan Dita. Anak itu harus jatuh ke pelukannya. Susi menghentikan sebuah taksi dan membawa Dita ke sebuah pusat perbelanjaan di kota mereka.
"Wah! Rame banget di sini,"
Dita terkagum-kagum menyaksikan pemandangan di hadapan. Selama hidupnya baru kali ini Dita menginjakkan kaki di mall. Sebelumnya keluarganya hanya mengajak ia menaiki komedi putar atau sekadar nongkrong di warung kaki lima.
"Eh. Ada toko boneka. Ke sana, yuk!" ujar Susi.
Susi tak segan-segan membelikan Dita boneka dengan harga fantastis, sementara kondisi keuangannya pun sedang bermasalah. Setelahnya, Susi juga mengajak Dita untuk membeli ice cream.
Keduanya pulang saat matahari tepat di ubun-ubun makhluk bumi. Uang Susi kandas dan tersisa hanya sedikit lagi. Namun, dia tidak mempermasalah hal tersebut. Selagi bisa menarik perhatian Dita, kenapa tidak?
"Gimana, Dita? Kamu suka, kan?" tanya Susi setelah mereka tiba di kediaman Jaka kembali.
"Suka banget, Bi. Boneka pandanya lucu dan ice creamnya juga enak," jawab Dita antusias. Dipeluknya hadiah bewarna putih dan hitam itu sejak tadi.
"Bibi baik, kan?" Susi kembali bertanya dengan percaya diri.
"Baik banget. Makasih ya, Bi,"
"Iya. Bibi bisa lebih baik sama kamu asal kamu mau turutin kata-kata, Bi,"
"Hah, kata-kata apa, Bi?" Dita meregangkan boneka pandanya. Dia menanti jawaban Susi.
Susi memilih diam dan mengabaikan rasa penasaran Dita. Nanti bocah itu juga akan tahu dengan sendirinya. Susi tersenyum kecil seraya berkata kata dalam hati, "Aku bakal mencuci otak anak ini,"
***
Sebelum tidur Jaka selalu mengecek kamar almarhumah Jamilah yang saat ini ditempati oleh keponakannya, yakni Dita. Dia ingin memastikan apakah gadis itu sudah terlelap atau belum. Atau, bisa saja Dita kabur dari kediaman Jaka seperti yang ia lakukan di panti kemarin.
"Dita. Kok belum tidur?"
Jaka melihat Dita sedang duduk di tepi ranjang seraya memainkan boneka panda. Jaka tidak tahu dari mana datangnya benda bewarna hitam dan putih itu.
"Iya. Sebentar lagi, Paman," jawab Dita tanpa menoleh lawan bicaranya.
"Kamu dapat boneka itu dari mana?"
"Dari Bibi Susi,"
Degh!
"Di mana kamu jumpa dia?"
Bahkan Jaka tak pernah menduga jika Susi akan turut baik terhadap keponakannya juga. Jaka membenci hal ini. Ia tahu jika Susi melakukannya dengan tidak tulus.
"Di rumah ini, Paman,"
"Paman gak mau dengar alasan kamu, ya. Pokoknya kamu jangan pernah dekat-dekat sama Susi," sungut Jaka dengan nada sedikit membentak.
"Emangnya kenapa, Paman? Bibi Susi baik kok,"
"Tuh, kan! Kamu udah dipengaruhi sama dia. Susi itu orang jahat,"
"Masak sih, Paman? Kayaknya engga deh,"
"Dita. Kamu jangan melawan dan dengerin aja ucapan Paman!" Kali ini Jaka berseru lebih keras, sampai membuat keponakannya terkejut.
***
Bersambung