Dita masih takut dengan suasana kemarin. Oleh karena itu dia berusaha untuk serajin mungkin di kediaman Jaka. Bahkan, tanpa disuruh pun Dita mengambil alih pekerjaan yang dapat ia kerjakan.
Jaka masih sibuk membersihkan tubuhnya di kamar mandi sedangkan Anggi sudah pergi bekerja lebih dulu. Hal itu membuat Dita bisa keluar dari rumahnya tanpa sepengetahuan siapapun. Dita merindukan Susi. Ia menyambangi kediaman wanita tersebut.
"Bibi Susi!" Dita memanggil dari luar.
Sama seperti Jaka, Susi juga masuk shift malam hari ini. Susi yang sedang sibuk memasak langsung keluar saat mendengar suara Dita.
"Eh, ada apa, Sayang?" Dita menjawab dengan lembutnya.
"Gak ada, Bi. Mau main aja,"
"Oh, sini masuk-masuk!"
Dita mengikuti langkah Susi. Keduanya menuju dapur.
"Bibi lagi masak, ya?"
"Iya. Bantuin Bibi, yuk! Habis ini kita sarapan bareng,"
"Wah! Iya, Bi,"
Dita dengan semangat memotong beberapa sayuran dan memberikannya pada Susi. Sebenarnya Dita sudah memakan masakan Anggi, tapi dia juga ingin merasakan racikan Susi.
Satu jam berlalu. Mereka telah selesai sarapan pagi bersama. Kini, giliran Susi untuk mencuci otak Dita lagi.
"Dita. Bibi mau tanya deh,"
"Apa, Bi?"
"Kamu setuju gak kalau Bibi Susi nikah sama Jaka?"
"Nikah sama paman?"
Tidak ada angin dan tidak ada hujan. Tiba-tiba saja Susi berseru demikian. Dita tak pernah menyangka dengan pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut Susi.
"Emangnya kamu suka punya Bibi kayak Anggi? Dia itu jahat tau. Bisa-bisa Paman Jaka kamu semakin berubah," kata Susi berusaha memengaruhi Dita.
Dita menimbang-nimbang sesuatu. Ada benarnya juga yang dikatakan oleh Susi. Pasalnya, selama ini Jaka memang terlihat begitu penurut pada istrinya. Jika terus-terusan seperti itu bisa jadi Jaka akan mencampakkan Dita demi memilih Anggi.
"Iya juga ya, Bi. Aku gak mau Paman Jaka ninggalin aku,"
"Hahaha. Baru gitu aja udah terpengaruh anak satu ini!" gumam Susi menahan senyum.
"Iya, bener. Kalau Bibi yang jadi istri Jaka, pasti kita bakal bahagia. Kamu tahu kalau Bibi Susi baik, kan?"
Dita menganggukkan kepalanya dan menampilkan ekspresi riang. Tiba-tiba saja ia membayangkan hidup bersama Jaka dan Susi. Pasti Dita akan mendapatkan kasih sayang yang lebih.
"Kalau gitu kamu harus bantu Bibi supaya Jaka pisah sama istrinya,"
"Gimana caranya, Bi?"
Kemudian Susi membisikkan sesuatu di telinga bocah polos tersebut. Dita cepat memahami segala perintah Susi.
"Iya, Bi. Aku bakal ngelakuin yang Bibi suruh,"
"Tapi kamu janji jangan bilang sama siapa-siapa ya, Dita!" Susi memperingatkan.
"Iya. Bibi tenang aja,"
"Ya, sudah. Kalau gitu kamu bisa mulai dari sekarang, ya,"
Dita langsung lari dan meninggalkan rumah Susi. Dia jadi bersemnagat untuk memisahkan Anggi dari pamannya setelah didoktrin oleh wanita perusak rumah tangga orang itu.
"Kamu dari mana, Dita?" tanya Jaka yang baru saja melihat keponakannya.
"Keliling rumah, Paman," jawab Dita berdusta. Bisa gawat kalau Jaka tahu bahwa Dita baru saja pulang dari rumah Susi.
"Hah, untuk apa?"
"Aku kan udah lama gak tinggal di sini. Jadi, pengen liat-liat aja. Rupanya udah banyak perubahan ya, Paman,"
"Iya, begitulah,"
Dita hanya mengada-ngada, bahkan dia pun tidak tahu sesuatu apa yang berubah dari kawasan rumah tersebut. Keduanya sedang duduk bersebrangan di kursi ruang tengah.
"Paman. Bibi Susi itu baik ya orangnya." Dita mulai memberanikan diri.
"Baik gimana maksud kamu?"
"Bibi Susi mau nampung aku kemarin, terus beliin boneka dan ice cream. Bibi Susi juga ramah,"
"Kamu jangan tertipu sama wanita ular itu, Dita. Susi itu cuma pura-pura." Jaka jadi risih saat Dita memuji Susi.
"Menurutku Bibi Susi tulus kok, Paman. Gimana kalau Paman nikah sama Bibi Susi aja?"
"Jaga mulutmu, Dita!"
Darah Jaka sontak mendidih mendengar perkataan keponakannya itu. Dia sampai membentak Dita saking geramnya. Kini, Jaka tahu kenapa Dita berucap demikian. Mustahil anak polos itu memiliki pemikiran untuk menyatukan pamannya dengan orang lain, sementara Jaka sudah memiliki istri. Semua ini pasti karena Susi. Jaka yakin betul kalau Dita telah didoktrin oleh Susi.
"Kamu pasti disuruh Susi untuk ngomong kayak gini, kan?" Jaka bangkit dari duduknya.
Dita terhenyak melihat Jaka yang kembali memarahinya. Baru beberapa hari tinggal di sana, tapi Dita sudah diperlakukan seperti anak tiri.
"Engga, Paman,"
"Ngaku aja kamu! Berapa kali Paman bilang untuk gak pernah ketemu dia lagi,"
"Aku gak ada ketemu Bibi Susi selain kemarin, Paman." Dita tetap berusaha menutupi kebohongannya.
"Kamu itu udah dimanfaatin sama Susi. Sadar, Dita! Tugas kamu itu bukan untuk ngurusin rumah tangga orang lain,"
"Kan, emang bener kalau Bibi Susi lebih baik ketimbang Bibi Anggi,"
"Mulai lagi kamu, ya! Pokoknya paman gak mau tahu. Jangan pernah kamu dengerin omongan Susi sebelum kamu nyesal,"
Jaka ngeloyor ke kamarnya untuk menenangkan diri. Ia begitu terpukul saat Dita sudah mampu membandingkan antara Anggi dan Susi. Dita itu anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan mudah dibodohi. Jaka tak ingin apabila Dita menjadi licik seperti Susi juga.
"Apa sih Paman. Gitu aja langsung marah, padahal aku kan ngomong sesuai fakta,"
Dita membatin seorang diri seberes kepergian Jaka. Sepertinya dia harus membiasakan diri untuk dimarahi lelaki tersebut setiap harinya. Tiba-tiba saja rasa benci terhadap Anggi menyambangi hati Dita. Dia yakin sekali kalau pamannya berubah akibat Anggi yang telah mengomporinya.
Karena bosan di rumah dan enggan bertemu Jaka, akhirnya Dita melarikan diri sejenak ke tempat lain. Dita berhenti di sebuah pondokan kecil tempat biasa anak-anak bermain.
Tak lama setelah itu muncullah dua orang wanita seusianya. Mereka belum pernah mengenal Dita.
"Kamu siapa?" tanya seorang bocah berambut ikal dan panjang.
"Hai. Kenalkan namaku Dita,"
"Aku Tiara dan ini Zahra,"
Ketiganya saling berjabat tangan dan berbalas senyum. Dita merasa beruntung karena memilih pondok tersebut sebagai tempat pelarian. Kini, Dita bisa memiliki teman baru.
"Aku gak pernah liat kami di sini," kata Tiara.
"Iya, karena aku emang baru tinggal di sini,"
"Rumah kamu yang mana?" tanya Zahra.
"Aku tinggal sama Paman Jaka dan Bibi Anggi. Kalian kenal?"
"Oh. Kenal bangetlah,"
Dita dan dua orang temannya memang belum pernah bertemu sekalipun Dita pernah tinggal di sana. Namun, Tiara dan Zahra mengenal Jaka serta Anggi.
"Kita mau main Barbie nih. Kamu mau ikut?"
Dita memerhatikan dua buah boneka manusia yang berada digenggaman Tiara dan Zahra. Siapa yang tidak ingin ikut bermain? Malangnya, Dita tidak memiliki benda tersebut.
"Aku gak punya Barbie. Gimana kalau aku pinjam punya kalian aja?" Dita berusaha memberi saran.
"Yah, gak bisa dong, Dita. Barbienya cuma dua sementara kita bertiga. Tetap kurang, kan? Lagian, kenapa kamu gak minta beliin Barbie aja sama pamanmu?"
Dita merasa kecewa karena tidak diberi pinjaman Barbie oleh Tiara dan Zahra. Dia pun bertekad untuk meminta Barbie pada Jaka tanpa memikirkan apakah pamannya itu sedang memiliki uang atau tidak.
***
Bersambung