Saat ini Anggi tidak memiliki tempat untuk bersandar, selain pundak Raka. Bagi Anggi, pria itu begitu baik karena bersedia menampungnya berikut dengan kesedihannya.
Selepas pulang dari pameran wanita-wanita calon barang perdagangan itu, Raka pun membawa kembali Anggi, tapi kali ini ia tidak pulang ke rumah. Raka memilih hotel sebagai tempat persinggahan mereka.
Anggi tak banyak tanya saat tahu ke mana arah tujuan Raka. Dia sudah pasrah terhadap apa saja yang akan dilakukan lelaki tersebut. Lagipula, mereka sudah terlanjur melakukannya dan Anggi tak perlu mengkhawatirkan sesuatu lagi.
Seperti biasanya, Raka akan memulai dengan sentuhan lembut di kawasan wajah serta leher wanita tersebut, sampai Anggi terpancing dan merasakan hawa panas yang begitu merajai sekujur tubuhnya. Setelah itu, barulah Raka melancarkan misi dengan mempertontonkan benda gagah miliknya pada Anggi. Keduanya tak segan-segan lagi. Bahkan, kegiatan terlarang itu sudah menjadi kenikmatan bagi mereka. Anggi perlahan menghempaskan Jaka dari pikirannya, walaupun sesekali wajah suaminya itu masih terbayang.
Di tengah permainan panas mereka, Raka mencoba merasuki pikiran Anggi dengan mengatakan, "Anggi. Gimana, Sayang? Kamu puas hidup samaku, hem?"
Desahan kecil keluar dari bibir Anggi. Dia pun turut menjawab pertanyaan Raka. "Aku bahagia, Mas. Aku gak mau lepas dari kamu. Selamanya kita kayak gini ya, Mas."
"Gimana kalau kamu tinggalin Jaka aja? Si miskin itu udah selingkuhin kamu, Anggi. Lebih baik kamu nikah sama aku. Aku janji bakal ngasih semuanya buat kamu," ucap Raka merayu.
Raka bahkan sangat totalitas dalam memainkan perannya. Seakan dia benar-benar seorang lajang yang begitu mencintai Anggi. Hal itu membuat orang yang disanjung menjadi besar kepala. Padahal jika Anggi tahu bahwa dirinya hanya dijebak dan Rak adalah suami orang pasti Anggi akan kabur detik itu juga.
"Kayaknya rasaku sama Jaka pelahan-lahan hilang, Mas, sewaktu dia pegangan tangan sama Susi. Sekarang aku jadi yakin, kalau suamiku itu main gila dan menyembunyikan semuanya dari aku."
Meski Anggi tidak mengetahui kebenarannya dengan pasti, tapi kehangatan yang Raka berikan mampu menghapus rasanya terhadap Jaka. Otomatis Anggi akan rela kehilangan suaminya ketimbang orang asing yang baru dikenal.
"Lagian, lama-lama aku bosan hidup miskin, Mas. Aku nyesal, karena gak dengerin omongan Mama dan Papa untuk tinggalin Jaka. Apalagi, setelah kedatangan keponakannya yang nakal itu. Ah! Aku tambah pusing, Mas."
Anggi jadi terpancing untuk mengeluarkan seluruh unek-unek yang selama ini ia pendam seorang diri. Sesungguhnya hari demi hari Anggi kian tak nyaman dengan keadaan yang ia jalani. Terbesit di hati Anggi untuk meminta maaf pada orang tuanya, tapi dia terlanjur dibuang dan tak berani menampakkan batang hidung. Anggi pernah berpikir jika suatu hari nanti ia dan Jaka akan sukses. Namun, semua tak semudah yang dibayangkan. Mereka sudah berbulan-bulan menikah, tapi kondisi Jaka masih begitu-gitu saja. Jangankan untuk bersenang-senang, untuk sekadar makan harian saja susah. Anggi sebagai anak yang sudah terbiasa berada dalam kemewahan, tentu terkejut dengan keadaan barunya.
"Ya, sudah. Kalau gitu kamu di rumahku aja dan jangan pernah pulang, ya! Biarin aja Jaka hidup sengsara sama Susi. Aku yakin kalau dia pasti nyesal setelah kamu nikah sama aku, Anggi."
Lalu keduanya kembali melanjutkan permainan. Beberapa kali Anggi membuang napas kasar akibat Raka yang senantiasa menindih tubuhnya. Namun, tak dipungkiri jika Anggi menyukai aktivitas itu.
Ada satu hal yang sejak tadi tidak disadari oleh Anggi. Sebenarnya Raka telah memasang kamera kecil di kamar itu jauh sebelum ia membawa Anggi ke hotel. Raka sengaja berbuat demikian, karena ia sedang merencakan sesuatu di kepalanya. Video itu akan menjadi bukti kuat supaya Jaka bisa menceraikan istrinya sendiri.
***
Susi sengaja menanti kepergian Jaka supaya mereka bisa barengan. Selama tidak ada Anggi, maka Jaka kerap melakukan apa-apa seorang diri, termasuk meninggalkan Dita saat ia pergi bekerja.
Setibanya di halte dan Jaka duduk sembari menunggu angkutan umum, Susi pun menampakkan dirinya. Dia tersenyum ke arah Jaka seolah tidak ada yang terjadi diantara mereka.
"Eh! Gak sengaja ketemu," kata Susi basa-basi.
Jaka hanya melirik sekilas, lalu fokus pada jalanan di hadapannya lagi.
"Mas Jaka udah sarapan?"
Kemudian tiba-tiba saja Susi menggeser bokongnya dengan tujuan lebih mendekatkan diri pada Jaka. Sekarang jika dilihat dari kejauhan, maka keduanya tampak begitu dekat.
"Udah," balas Jaka singkat.
Susi memerhatikan punggung tangan Jaka yang putih dan mulus itu, lalu dia merabanya.
"Kok agak bengkak, ya? Mas Jaka habis jatuh?"
Susi memegang punggung tangan Jaka selama beberapa waktu, hingga Jaka menepisnya dengan kasar.
"Apa sih kamu, Sus? Gak usah sok perhatian! Lagian, gak ada apa-apa sama tanganku."
Jaka merasa iflil dengan perlakukan Susi. Dia melipat kedua lengannya di dada agar Susi tak lagi membuat ulah.
"Tapi itu bengkak, Mas."
"Bengkak dari mana? Mata kamu udah rusak, ya?"
Bersamaan dengan itu sebuah angkutan datang dan berhenti tepat di depan halte. Buru-buru Jaka masuk ke dalamnya dan membuat jarak dengan Susi.
Sore hari setelah pulang bekerja, lagi-lagi Susi bertingkah dengan menyambangi kediaman Jaka. Dia membawakan sekarung beras 5kg dan berbagai jenis sayuran.
Susi masuk begitu saja ke rumah Jaka. Dia sempat mencari keberadaan Dita, tapi sepertinya bocah itu sedang bermain di luar. Susi menemukan Jaka tengah menjahit pakaiannya seorang diri.
"Astaga! Susi. Kamu ngapain ke sini?"
Jaka terperanjat kaget saat tahu siapa yang datang. Dia spontan berdiri dan meninggalkan pekerjaannya.
Namun, Susi kelihatan tenang saja dan langsung mendaratkan bokong di kursi ruang tengah. Sekaligus ia meletakkan barang bawaannya di atas meja.
"Buat Mas Jaka. Diterima, ya!" titahnya.
Bola mata Jaka bergerak ke atas dan ke bawah. Ia menilik Susi dan sesekali sekarung beras serta sayur mayur tersebut.
"Bawa aja pulang. Aku gak butuh, Sus."
"Jangan gitu dong, Mas! Aku udah capek-capek loh bawain dari warung ke sini."
"Berapa kali harus kubilang supaya gak usah dekat-dekat aku? Lebih baik kamu keluar, sebelum ada tetangga yang tahu dan jatuhnya fitnah, soalnya di sini gak ada Dita."
"Emang ke mana dia, Mas?"
"Main sama temen-temennya."
Susi menyisir kawasan rumah Jaka dan dia memiliki ide untuk menggoda pria itu mumpung tak ada siapapun di sana. Dia mulai mengeluh tentang keadaan rumah Jaka yang panas.
"Duh! Kok panas banget di sini ya, Mas?"
Susi berucap seraya membuka blezer yang membalut tubuhnya. Jaka yang melihat Susi hanya mengenakan pakaian tali satu langsung memanglingkan wajah dan menuju ke pusat pintu. Tanpa perasaan Jaka langsung membentak Susi, karena dia tahu apa maksud dan tujuan wanita tersebut.
"Keluar atau aku bakal tendang kamu!" pekik Jaka tak peduli apabila ada orang yang mendengarnya.
***
Bersambung