"Saya pemilik rumah ini. Kalian siapa, ya?" Perempuan itu balik bertanya.
Degh!
Anggi dan Jaka saling melempar pandang dan terdiam sesaat. Jelas-jelas bangunan itu adalah tempat kelahiran Anggi dan lapak ia dibesarkan hingga menemukan jodoh. Orang mana yang sudah dengan enteng mengakui bahwa rumah itu adalah kepunyaannya. Anggi jelas tidak terima.
"Ini rumah Papa dan Mamaku," sangkalnya tak suka.
Wanita itu seketika membulatkan mulut dan bersandar pada kusen pintu. Setelah sekian lama ia menanti kehadiran anak ini, akhirnya datang juga.
"Kamu Anggi anak Dida dan Dodi?" tanyanya.
"Iya. Aku ingin mencari orang tuaku, tapi kenapa yang keluar justru Tante?"
"Ah, iya. Perkenalkan, Nama Tante Endah. Rumah ini menjadi milik Tante sejak sebulan lalu."
"Loh, memangnya ke mana Papa dan Mama?" Anggi panik.
"Duduk dulu! Tante bakal ceritakan semuanya ke kalian. Apa ini suamimu?"
"Iya, Tante." Jaka menyela ucapan Endah.
Lalu ia beserta istri duduk sesuai perintah Endah. Mereka tidak masuk ke dalam, melainkan di teras rumah saja.
"Tante udah lama nyari keberadaan kalian."
"Untuk apa, Tante?"
"Untuk mengabarkan kalau rumah ini sudah resmi menjadi milik Tante dan orang tua kalian telah meninggal dunia."
Degh!
Perkataan Endah tak mampu diserap oleh Anggi beserta Jaka. Mereka seolah terbang ke langit ke tujuh dan dihempas ke bumi tanpa sebuah parasut. Mata keduanya membola serta sekujur tubuhnya yang tegang. Tidak mudah bagi mereka untuk memercayai ucapan Endah begitu saja.
"Meninggal? Bohong!" pekik Anggi. Disorotnya tajam netra Endah.
"Orang tua kalian mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu dan Tantelah yang merawat mereka. Nahasnya, keduanya meninggal satu bulan lalu di rumah sakit Citra. Kalian bisa periksa data di sana kalau gak percaya. Sebelum itu, orang tua kalian menyerahkan seluruh hartanya ke Tante. Awalnya Tante gak pernah tahu kalau Dida dan Dodi punya anak, karena mereka gak pernah cerita soal itu. Tante tahu dari RT di sini. Ah, iya. Semua ini juga sudah disetujui oleh pihak keluarga dua belah pihak. Jadi, seluruh harta orang tua kalian sudah jatuh ke tangan Tante." Endah menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
"Kenapa aku gak dikasih kabar?"
"Mereka marah, Anggi. Mama dan Papamu sebelum kematiannya sempat cerita ke keluarga kalian dan mereka gak suka dengan tindakanmu itu. Tante gak menyalahkan siapapun, karena Tante hanya orang asing diantara kalian. Semoga kamu paham dengan situasi ini, ya."
Cairan asin perlahan luruh dari pelupuk mata Anggi dan mendarat di pipi mulusnya. Kabar duka itu bak mimpi di siang bolong. Seharusnya ia akan membuat Dodi dan Dida tersenyum atas perpisahannya dengan Jaka, tetapi semuanya tidak sesuai rencana. Anggi sungguh terpukul. Ia meraung di tempat.
"Kenapa kalian pergi secepat ini, Ma, Pa? Aku nyesal udah jauhin kalian demi laki-laki gak tahu diri. Huhuhuhu."
Jaka jadi malu akibat penurutan istrinya tersebut. Terlebih sekarang Anggi malah bersimpuh di lantai sambil terisak kencang. Ia bagaikan bocah cilik yang tidak diberi permen oleh orang tuanya. Jaka mencoba mendamaikan hati Anggi, tapi perempuan itu semakin menjadi-jadi.
"Awas kamu, Mas! Aku gak butuh belas kasihanmu. Pasti kamu senang dengan kabar ini, kan?"
"Justru Mas sedih, Anggi. Orang tua kamu kan orang tua Mas juga."
"Bohong!"
Setelah sekian lama Endah mencari-cari keberadaan Anggi, akhirnya gadis itu nongol juga tanpa diundang. Endah merasa lega karena sudah menyampaikan kabar tersebut. Sekarang ia tak mau tahu bagaimana kehidupan Anggi selanjutnya apalagi sampai terlibat permasalahannya. Tugasnya sudah selesai.
"Bawa istrimu pergi. Tante harus istirahat," katanya pada Jaka.
Tanpa memedulikan Anggi lagi, Endah pun segera ngacir ke dalam dan mengunci pintunya. Sementara Jaka mencoba memapah tubuh Anggi guna menyalurkan kekuatan padanya.
Siapa yang tidak kaget dengan kabar seperti ini. Sejujurnya Jaka pun sedih, tapi apa boleh buat. Sesuatu yang telah pergi apabila diratapi, maka ia tetap saja tak akan kembali.
"Aku udah gak punya siapa-siapa lagi, bahkan harta pun aku gak ada. Argh!" Anggi mengomel seorang diri.
"Kamu masih punya Mas, Anggi. Jangan takut!"
Orang yang mendengar sontak terbahak-bahak. Ia berpikir kalau Jaka sudah tidak waras berucap sedemikian rupa. Meskipun telah menjadi anak sebatang kara, tapi tidak berarti Anggi akan mau kembali pada lelaki yang telah mengkhianatinya. Selain itu, ia juga mulai menjatuhkan hati pada sosok Raka.
"Jangan mimpi kamu, Mas! Sampai kapan pun aku gak bakal mau sama kamu lagi. Bahkan, aku mau urus surat perceraian kita secepatnya."
"Kenapa, Anggi? Kita bisa perbaiki semuanya. Sejujurnya hati Mas sakit banget waktu tahu kamu tidur sama laki-laki lain."
"Halah! Kamu justru lebih dulu melakukannya sama Susi, Mas."
"Susi itu pembohong! Mas gak pernah sentuh dia sedikit pun."
"Mana ada maling yang ngaku!"
"Ayo, Anggi! Kita pulang ke rumah."
Jaka hendak membungkus tubuh Anggi dalam pelukan, tetapi wanita itu malah menghindar. Ia telah mengharamkan tubuhnya dipegang oleh Jaka.
"Biarkan aku memilih jalan hidupku sendiri," ujarnya.
"Kamu itu tanggung jawab, Mas."
"Kamu gak bisa tanggung jawab atas istrimu sendiri, Mas. Kamu gak punya apa-apa dan tanggunganmu lebih dari seorang istri," balas Anggi menyindir kehadiran Dita di tengah-tengah mereka.
"Kamu harus pulang ke rumah kita, Anggi. Sampai kapan pun Mas gak akan ikhlas kalau kamu dekat sama laki-laki asing itu. Dia orang jahat!"
Kemudian Jaka mengulangi perbuatannya dengan memaksa Anggi untuk pulang. Anggi meronta-ronta ketika lengannya dicekal oleh Jaka. Ia terus berpikir bagaimana caranya untuk kabur sebelum Jaka benar-benar membawanya pulang.
Bersamaan dengan itu, Anggi melihat tumpukan pasir di pelataran bekas rumahnya dahulu. Ia menginjak kaki Jaka, lalu berlari ke arah pasir tersebut. Saat Jaka hendak menangkapnya kembali, Anggi menyiramkan pasir tersebut ke wajah Jaka sehingga mengenai bagian matanya.
Jaka spontan berteriak, karena kesakitan. Sampai-sampai dia tidak sadar kalau Anggi lolos dari pengawasannya.
"Hahaha. Rasakan!" batin Anggi, lalu ia ngacir ke penjuru lain meninggalkan Jaka seorang diri.
***
Anggi berhasil kembali ke kediaman Raka. Jantungnya berdegup kencang serta napasnya memburu tak beraturan. Pemandangan itu ditangkap oleh Raka yang kebetulan berada di dalam rumah.
"Anggi. Kamu dari mana aja?" tanya Raka yang memang tidak mengetahui ke mana perginya Anggi sejak tadi.
Tanpa menjawab pertanyaan bosnya, Anggi langsung memeluk lelaki itu dan menangis di bahunya. Anggi menumpahkan semua kesedihan dan masalahnya di sana.
"Ada apa?"
"Orang tuaku, Mas…"
"Kenapa sama orang tua kamu?"
"Orang tuaku ternyata udah meninggal sejak sebulan lalu."
"Hah?"
Raka sontak melepaskan Anggi dan mendekap kedua bahunya. Kabar ini menggegerkan dirinya juga dan siapapun yang mendengar. Pantas saja wajah Anggi begitu layu dan tak bersemangat, rupanya belahan jiwanya telah berpindah alam.
"Kamu tahu dari siapa?" Raka kembali bertanya.
***
Bersambung