Dita menanti hingga malam tiba. Ia tahu pasti Jaka masih marah padanya soal tadi pagi. Setelah waktu yang dinanti-nanti tiba, barulah Dita berani menyatakan keinginannya. Kala itu Jaka sedang bersiap-siap menjelang tidur malam, sementara Anggi menunggu di kamar.
"Paman," panggil Dita.
Jaka menoleh. Seharian ini ia mencoba memaafkan kesalahan Dita karena telah memuji-muji Susi, lalu memintanya untuk bersatu dengan perempuan itu.
"Hem?"
"Tadi aku dapat temen baru. Namanya Tiara dan Zahra," ucap Dita memulai pembicaran.
"Bagus dong!"
"Tapi mereka semua pada punya Barbie. Tadi aku mau pinjam, tapi gak dikasih, Paman. Mereka bilang kalau mau main aku harus punya Barbie juga,"
Jaka dapat mencium bau-bau tidak sedap dari perkataan keponakannya. Ditatapnya wajah Dita yang melabuhkan sebuah harap.
"Terus, kamu mau minta beliin Paman Barbie, gitu?"
Sedangkan Anggi yang dapat mendengarkan obrolan mereka terus saja menyimak dari dalam kamar tanpa ingin ikut campur. Jaka pasti tahu apa yang harus ia lakukan.
"Iya, Paman. Aku pengen punya Barbie juga kayak mereka,"
"Paman belum punya uang, Dita. Nanti, ya,"
Bukannya mengabulkan, Jaka malah menolak mentah-mentah permintaan Dita. Ah, lebih tepatnya dia hanya menunda waktu mengingat kondisi keuangan yang sedang mengempis. Jika Jaka membelikan Dita sebuah boneka Barbie, maka dapat dipastikan di rumah itu akan kekurangan makanan.
"Yah! Paman. Gitu banget sih,"
"Sabar, ya. Lagian kamu masih punya boneka panda, kan? Kenapa ga main sama itu aja?" Jaka berusaha memberikan saran.
"Panda dan Barbie itu beda, Paman. Tiara dan Zahra gak bakal mau kalau bonekanya beda,"
"Ya, kalau mereka gak mau main sama kamu apa susahnya kamu main sendiri? Jangan dibuat ribet, Dita. Paman beneran lagi gak punya uang. Kamu mau gak makan emang?"
"Pakai uang Bibi Anggi aja, Paman,"
"Kamu kok gitu sih, Dita? Jangan maksa dong!"
"Pokoknya aku mau Barbie, Paman!"
Dita sudah berani meminta-minta tanpa menghiraukan kondisi keluargnya. Kini, keduanya malah otot-ototan. Yang satu menginginkan Barbienya agar segera datang, sementara yang satunya lagi tak ingin memberikan apapun. Adu mulut diantara paman dan keponakan tersebut memancing Anggi untuk keluar kamar.
"Dita. Paman kamu belum punya uang untuk beliin Baribe,"
Jaka mendadak sungkan saat Anggi turun tangan demi mengamankan Dita. Pasti wanita itu sudah mendengar seluruh percakapan mereka.
"Bibi Anggi ada uang, kan? Beliin aku Barbie ya, Bi," kata Dita.
"Bibi juga gak ada uang, Dita. Paman dan Bibi kamu belum gajian. Nanti kalau sudah gajian baru kamu bisa beli Barbie ya,"
"Gak mau, Bi! Aku maunya besok. Aku mau main sama temen-temen baru aku,"
"Terserah kamulah Dita. Mau sampai nangis darah pun gak bakal paman beliin. Paman lebih milih bisa makan ketimbang beliin Barbie kamu, sementara kamu udah punya boneka lain,"
Dita jadi berang mendengar jawaban Pamannya. Ia tidak memercayai bahwa kondisi perekonomian Jaka sesulit ini. Dita yakin pasti Jaka sudah membohonginya, atau mereka sengaja menyembunyikan uang untuk keponakannya sendiri.
"Yaudah deh kalau Paman gak mau beliin aku Barbie. Aku masih bisa minta sama Bibi Susi!"
Tak ingin memperpanjang masalah dan berujung dimarah, akhirnya Dita mengucapkan sebuah kalimat yang membuat Anggi terkejut. Setalnjutnya Dita masuk dan mengunci pintu kamarnya.
"Loh, Mas. Kenapa Dita bisa ngomong gitu, ya? Berani banget dia minta-minta sama Susi,"
Tadinya Jaka hendak memberi pelajaran pada Dita, karena lagi-lagi ia membawa nama Susi. Namun, semua itu terhambat dikarenakan pertanyaan Anggi.
"Kamu kayak gak tahu Dita aja. Baru sekali ngobrol sama Susi udah berani minta-minta," balas Jaka. Sejujurnya dia panik atas pertanyaan sang istri.
"Oh, kukira mereka punya hubungan dekat, Mas,"
"Mana mungkin Mas biarin Dita dekat sama orang lain, kecuali kita berdua. Udah, ya. Kamu jangan pikirin Dita. Anak satu itu bandelnya gak ketulungan,"
Jaka langsung menggandeng lengan istrinya untuk dibawa ke kamar. Daripada Anggi terus bertanya macam-macam, lebih baik Jaka memintanya untuk segera tidur.
***
"Jaka, sini kamu!"
Jaka dipanggil bosnya untuk menghadap. Lelaki bertubuh tegap itu membawa sebuah plastik besar di tangannya.
"Iya, Pak. Ada apa?" tanya Jaka seusai keduanya bertatap muka.
Bertepatan dengan itu, Susi pun melintas di samping keduanya. Sengaja ia memperlambat langkah untuk menguping pembicaraan.
"Tolong kamu antarkan makanan dan buah ini ke rumah mertua saya, ya. Lokasinya di Jln. Kebahagiaan. Rumahnya nomor 17." Sosok itu menyerahkan plastik pada Jaka.
"Hah? Saya gak tahu di mana Jln. Kebahagiaan itu, Pak." Dengan ragu-ragu Jaka menerima pemberian tersebut.
"Masak sih kamu gak tahu? 20 menit aja dari sini,"
"Bener, Pak. Saya gak tahu,"
"Saya tahu, Pak. Saya bisa temenin Jaka kalau Bapak mengizinkan,"
Tiba-tiba seorang wanita menyela pembicaraan keduanya. Siapa lagi kalau bukan Susi. Dia memang tahu di mana letak Jln. Kebahagiaan. Hal itulah yang membuatnya berhasil mencuri kesempatan.
"Kamu tahu, Sus? Ya, sudah. Kalian barengan aja, ya. Tuh plastiknya udah sama Jaka,"
Susi bersorak dalam hati. Tak pernah dibayangkannya kalau mereka akan naik motor berdua.
"Eh, gak usah, Pak. Saya sendiri aja. Saya bisa tanya ke orang-orang kok." Jaka menolak halus. Sungguh ia enggan berduaan dengan Susi.
"Nanti jadi lama. Kan, kasihan mertua saya. Ya, sudah kalian berangkat sekarang, ya! Ini kunci motornya."
Kalau sudah begini Jaka tak bisa membantah ucapan bosnya. Bisa-bisa ia langsung dipecat dari pekerjaan. Penuh keterpaksaan, akhirnya Jaka membonceng Susi di belakang.
"Jangan dekat-dekat, Sus!" Jaka memperingatkan sebelum keduanya berangkat.
Merupakan hari kebahagiaan Susi, karena bisa berada di sisi Jaka meskipun hanya beberapa menit. Ingin sekali Susi memeluk pria itu dari belakang. Sayangnya Jaka sudah menegurnya sejak awal.
"Aku mau tanya sesuatu sama kamu," kata Jaka memecah keheningan diantara keduanya.
"Apa, Mas?"
"Kemarin Dita minta aku buat nikahin kamu. Pasti kamu yang udah doktrin dia, kan?"
"Wow! Rupanya si Dita bener-bener ngelaksanain tugasnya." Susi membatin seraya menutup mulutnya dengan telapak tangan agar tidak tertawa.
"Masak sih, Mas? Emang Dita ngomong apa aja?"
"Gak usah pura-pura bodoh kamu! Aku yakin kalau kamu udah cuci otak Dita,"
Dugaan Jaka memang tak pernah meleset. Semuanya di dalam kendali Susi. Namun wanita itu tak ingin kelihatan bersalah.
"Ya, ampun, Mas. Tega banget sih kamu fitnah aku. Sumpah, Mas. Aku gak pernah ngomong apa-apa ke Dita,"
"Kuperingatkan sama kamu ya, Sus. Jangan pernah kamu ganggu Dita lagi, atau kamu bakal tahu akibatnya," ancam Jaka.
Susi enggan merespon ucapan Jaka lagi. Baginya lebih asyik menikmati suasana hiruk pikuk kota dengan pria yang dicintainya daripada harus mendengar ocehan tidak jelas tersebut.
Jaka semakin mengencangkan gas motornya tanpa memedulikan kalau Susi mulai ketakutan di belakang. Dia ingin segera menyelesaikan perintah si bos dan terlepas dari Susi.
"Jangan sampai ada yang lihat aku berduaan sama perempuan satu ini," gumam Jaka.
***
Bersambung