Chereads / SALAH PILIH SUAMI / Chapter 37 - ORANG TUANYA MENGINGINKAN AKU

Chapter 37 - ORANG TUANYA MENGINGINKAN AKU

FLASH BACK ON

"Aku pengen nasi goreng. Beliin dong, Yah, Bu!" ucap Dita kepada dua orang di hadapannya.

Kala itu Dita masih kecil. Akhir-akhir ini dirinya sering meminta makanan pada orang tua tanpa memikirkan waktu. Barangkali Dita sedang mengalami masa pertumbuhan di mana ia membutuhkan asupan lebih banyak.

"Masih hujan, Nak. Sabar, ya," pungkas Ayah Dita. Diintipnya rintikan air yang jatuh dari langit ke bumi melalui jendela kayu.

"Iya. Sabar dong, Dita. Lagian kamu kan udah makan tadi," timpal Jamilah yang pada waktu itu masih ada.

"Aku gak mau! Pokoknya aku mau nasi goreng sekarang!"

Dita berlari dari ruang tengah menuju pintu utama. Dia membuka benda tersebut dan bermukim di pelukan hujan. Melihat anaknya basah kuyub membuat Ibu Dita juga ikut berlari.

"Ya, ampun. Kamu bisa demam Dita. Ayo, masuk!"

"Gak mau! Aku mau nasi goreng,"

Ibu Dita menarik lengan putrinya dengan tenaga ekstra, sementara Dita malah berguling-guling di tanah.

"Jangan begitu, Nak. Kita masuk dulu, ya," kata Ayah Dita.

Awalnya lelaki itu hanya berteriak dari beranda rumah. Namun lama kelamaan ia terpancing untuk menyusul putrinya yang tak kunjung mau diajak masuk. Dia langsung mengangkat tubuh Dita dan memberikannya pada Jamilah.

"Kita sudah terlanjur basah, Sayang. Ayo, kita cari nasi goreng buat Dita!" ucap lelaki tersebut pada istrinya.

Orang tua Dita pun memutuskan untuk menuruti permintaan anaknya, mengingat sekujur tubuh yang sudah basah. Mereka meminta tolong agar Jamilah memandikan Dita selagi mereka pergi.

Sepasang suami istri itu mengendarai sebuah motor butut yang saban harinya dipakai ayah Dita untuk menarik ojek. Nahasnya, jalanan yang begitu licin membuat kendaarn tersebut terpeleset. Ibu Dita tergelincir di jalanan hingga kepalanya menubruk batu besar, sementara sang ayah terjepit di kendaraan dan tak bisa berkutik. Keduanya dinyatakan tewas di tempat

FLASH BACK OFF

Jaka kembali terpukul saat mengingat peristiwa beberapa tahun silam. Betapa ia merindukan adik angkatnya itu. Sesekali Jaka masih saja menyalahkan Dita atas meninggalnya mereka. Namun di sisi lain, Jaka juga tahu bahwa semuanya adalah takdir Tuhan.

Dan kini Anggi mulai menyadari betapa keras kepala dan nakalnya Dita. Sejak awal Jaka ingin memberitahu istrinya, tapi ia takut jika Anggi tidak nyaman atau malah menolak kedatangan Dita.

"Dita memang sudah nakal sejak kecil. Dulu dia pernah maksa orang tuanya untuk beli nasi goreng pas lagi hujan,"

"Oh, ya? Jadi demam dong orang tuanya, Mas," balas Anggi.

"Jauh lebih parah ketimbang demam. Orang tuanya kecelakaan di jalan dan meninggal,"

"Apa? Jadi Dita penyebab orang tuanya meninggal, Mas?" Anggi begitu kaget mendengar keterangan suaminya.

Jaka tak menjawab. Biarlah Anggi menyimpulkan seorang diri. Lebih baik dia menceritakan sisi Dita yang lainnya.

"Dita sulit diatur. Kerjanya nangis mulu sejak kecil. Awalnya Mas dan almarhumah ibu masih sudi nampung Dita, karena dia adalah keluarga kami juga, tapi lama kelamaan tingkah Dita gak bisa ditoleran. Akhirnya Mas dan Ibu nganterin Dita ke panti. Saking geramnya, kami gak pernah jenguk dia,"

"Bener dugaanku kalau Dita anak yang jahat," batin Anggi.

"Jadi, kenapa Mas bisa terima dia sekarang?"

"Mas kira Dita udah berubah, tapi ternyata belum. Mas juga terpukul sewaktu tahu kalau Dita mencuri Handphone penjaga panti,"

"Oh, ya, Mas. Ngomong-ngomong kamu ngobrol apa aja sama penjaga pantinya?"

"Mas nyoba masukin Dita lagi kesana. Sayangnya Bu Neneng udah gak mau terima. Katanya Dita suka jahilin temen-temennya. Kamu gak keberatan kalau Dita kita tampung di sini kan, Sayang? Mas kasihan karena dia udah gak punya saudara selain pamannya ini," kata Jaka meminta persetujuan dari istrinya.

"Ya gak apa-apalah, Mas. Ini kan rumah kamu. Saran aku sih kamu sering-sering aja nasehatin Dita, Mas. Barangkali dia bisa berubah,"

"Iya. Pasti Mas lakuin,"

"Ya, sudah. Kita tidur yuk, Mas!" Anggi mulai memejamkan mata. Tak lupa ia menggenggam sebelah tangan Jaka.

***

"Hati-hati di jalan ya, Sayang. Jaga anak kita baik-baik. Mas pasti bakal kangen banget sama kalian,"

CUP!

Raka mendaratkan bibir di dahi istri serta buah hatinya. Hari ini dua orang itu akan mengunjungi sang nenek di kampung halaman. Belum diketahui kapan mereka pulang. Yang jelas, keduanya ingin menghabiskan waktu hingga puas.

Raka juga diajak oleh sang istri, tapi dia menolak karena ada hal yang harus diselesaikan. Raka mengambil kesempatan untuk melanglangbuana selagi keluarganya pergi.

Setelah mengantar istri dan anaknya hingga masuk ke dalam pesawat, Raka pun menemui Anggi di kediamannya yang satu lagi. Dia melihat perempuan itu sedang sibuk membersihkan kotoran yang berada di kompor.

"Anggi. Ada yang mau aku bicarain," ucap Raka setelah ia sukses berdiri di hadapan Anggi.

Pekerjaan Anggi nyaris selesai. Tinggal sedikit lagi, tapi Raka malah mengacaukan semuanya. Terpaksa Anggi menunda kegiatan tersebut dan mengekori Raka yang berjalan ke arah sofa.

"Ada apa, Mas?" tanya Anggi. Saat ini mereka bersebrangan meja.

"Duh! Gimana, ya? Aku bingung ngomongnya,"

"Bilang aja, Mas. Kerjaanku masih nunggu nih,"

Raka membuat wajahnya seperti orang bimbang. Dia juga berulang kali membenahi posisi duduk. Persis seperti sedang gelisah.

"Soal orang tuaku,"

"Kenapa, Mas?" Anggi kaget saat Raka membawa nama orang tuangnya.

"Sulit sih buat ngomongin ini, tapi orang tuaku maksa kita buat nikah,"

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

Anggi spontan tersedak mendengar ucapan Raka. Perkataan semacam apa itu? Bisa-bisanya Raka membicarakan soal pernikahan sementara Anggi sudah memiliki suami.

"Kenapa gitu, Mas?"

"Orang tuaku suka sama kamu, Anggi,"

"Semua punya alasan, Mas,"

"Aku gak tahu, Anggi. Aku juga pusing, karena mereka maksa,"

"Orang tua kamu kan tahu kalau aku udah nikah, Mas,"

"Itu dia yang jadi masalah. Aku juga udah berusaha ngomong sama Mama dan Papa, tapi tetap aja gak ngaruh,"

"Orang tua kamu ada-ada aja, Mas,"

"Mereka janji bakal nyerahin seluruh hartanya kalau kamu mau nikah sama aku,"

"Seluruh hartanya?" Anggi semakin kaget.

"Iya. Gimana, Anggi?"

Anggi sendiri yakin tak yakin dengan perkataan Raka. Mana mungkin orang tuanya ikhlas memberikan seluruh harta untuk dirinya.

"Aku udah punya suami, Mas. Ya, sudah. Aku lanjut kerja dulu, ya,"

Anggi pun segera beranjak dari sofa menuju dapur guna menyelesaikan urusannya. Dia tidak mau berlama-lama membahas hal konyol tersebut dengan Raka.

Raka tidak menyusul Anggi. Dia hanya menyaksikan hingga punggung wanita itu benar-benar lenyap dari hadapan.

"Kali ini kamu bisa nolak, Anggi, tapi liat aja ke depannya. Aku bakal bikin kamu bertekuk lutut di hadapanku." Raka berkata pada dirinya sendiri. Dia sudah menyiapkan segudang rencana untuk mendapat Anggi, lalu menjualnya.

***

Bersambung