"Dita kubawa sementara waktu, Mas. Kasihan anak ini kalau harus kalian marahi,"
Tanpa menunggu persetujuan dari sang paman, akhirnya Susi memboyong Dita ke kediamannya. Baik Jaka maupun Anggi sama-sama diam di tempat. Tidak ada yang menghalau keputusan Susi. Barangkali keduanya masih syok dengan kejadian barusan.
Dita enggan menoleh ke belakang. Dia buru-buru keluar rumah guna menghindari amukan paman dan bibinya.
"Mas. Kenapa Susi bisa kenal sama Dita?"
Giliran Anggi pula yang mengambil kesempatan untuk mendapatkan informasi. Sebenarnya sejak awal dia sudah heran kenapa Dita langsung nempel pada Susi.
"Mas juga gak tahu. Mungkin dia pernah liat Dita di luar,"
"Jadi, gimana, Mas? Susi udah bawa Dita ke rumahnya,"
"Biarin aja dulu. Besok Mas bakal ke panti asuhan Dita,"
"Untuk apa, Mas?" tanya Anggi bingung.
"Dita kita pulangin aja ke sana,"
Seperti ada yang aneh antara Jaka dan keponakannya itu. Jaka seolah tidak menyayangi Anggi sebagai saudara angkatnya. Bahkan, dari awal Jaka sudah meminta agar Dita kembali saja ke panti. Entah karena apa.
Saat ini Dita sudah berada di bangunan lain alias rumah Susi. Perempuan pencari muka itu membuatkan Dita teh manis hangat dan memberinya camilan.
"Kamu emang beneran gak sengaja kan, Dita?" tanya Susi lembut.
"Iya, Bi. Aku gak tahu kalau pintunya terbuka,"
Dita berusaha menetralkan kesedihannya. Jika Jaka dan Anggi tak ingin merawatnya lagi, maka Dita akan tinggal bersama Susi selamanya. Tak apa jika harus menjadi babu, asalkan Dita tak kembali ke panti.
"Kesempatanku buat cuci otak si Dita nih." Susi tersenyum licik. Tidak disangka jika keberuntungan berpihak pada dirinya secepat ini.
"Bibi kasihan banget sama kamu," kata Susi memasang ekspresi sedih.
"Aku kesal sama Paman, Bi. Dia tega mukul keponakannya sendiri," ujar Dita meluapkan emosi.
"Emangnya Jaka sejak dulu suka mukul, ya?"
"Engga, Bi. Paman memang pernah marahin aku, tapi gak sampai mukul begitu. Aku kaget banget sama sikap Paman yang sekarang,"
"Dita. Sebenarnya Bibi tahu apa yang menyebabkan paman kamu jadi kejam." Susi mengambil ancang-ancang untuk mengadu domba Dita dengan keluarga Jaka.
"Kenapa, Bi?"
"Paman kamu itu sudah dihasut sama istrinya,"
"Bibi Anggi?"
"Iya. Siapa lagi?"
"Dihasut gimana, Bi? Aku gak ngerti." Dita menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Anggi udah meracuni otak Paman kamu, supaya kasar ke orang lain. Asal kamu tahu ya, Dita. Jaka itu sekarang sayangnya cuma sama Anggi. Kamu ngeliat gimana sikap Jaka ke Anggi, kan?"
"Iya, Bi. Paman lembut banget kalau bicara ke istrinya,"
Susi memang tahu bagaimana baiknya Jaka memperlakukan Anggi. Tidak pernah Jaka membentak istrinya barang sekalipun. Hal itulah yang membuat Susi merasa iri dan semakin ingin mendapatkan Jaka.
"Nah, itu dia jawabannya. Anggi itu jahat. Dulu sewaktu Nenek kamu masih hidup aja, Anggi suka marah-marah,"
"Masak sih, Bi? Emangnya Paman gak tahu?" Dita terkejut mendengar pernyataan tentang almarhumah neneknya.
"Paman kamu tahu, tapi dia gak bisa berbuat apa-apa, karena otaknya udah dicuci sama Anggi,"
"Jahat banget Bibi Anggi,"
Namanya anak kecil pasti akan mudah percaya dengan cerita seseorang tanpa bukti. Dita meyakini bahwa Jaka memang sudah termakan oleh hasutan istrinya. Lagi pula, memang benar jika Jaka pada waktu itu tak pernah memukul Anggi.
"Iya. Kalau Anggi gak ada, pasti Jaka bakal baik lagi kayak dulu,"
"Aku jadi benci sama Bibi Anggi,"
"Yess!"
Susi bersorak dalam hati. Begitu mudah baginya untuk memengaruhi Dita. Kini, anak berusia 12 tahun itu sudah menanamkan bibit kebencian terhadap Bibi iparnya sendiri.
"Sebaiknya kamu cari cara untuk nyingkirin Anggi,"
"Aku gak tahu, Bi,"
"Kamu mau Bibi ajarin cara supaya Anggi pergi?"
"Wah! Mau dong," jawab Dita bersemangat.
"Tapi kamu harus janji untuk gak ngadu ke siapapun,"
"Iya. Aku janji,"
"Yang pertama kamu harus minta maaf sama Jaka dan Anggi dulu. Kamu mohon-mohon supaya mereka izinin kamu buat tinggal di sana lagi,"
"Bibi Anggi kan jahat. Ngapain aku harus minta maaf?"
"Udah deh, Dita. Kamu ikutin aja kata Bibi, ya. Setelah itu Bibi bakal ngasih tahu cara yang lain,"
"Aku gak berani, Bi. Kalau aku dipukul lagi sama Paman, gimana?" Dita menggigit bibir bawahnya.
"Bibi bakal temenin kamu,"
Perlahan-lahan Susi menyuntikkan rasa benci di dada Dita untuk Anggi. Dia memanfaatkan anak polos yang tidak tahu apa-apa itu. Tak peduli bagaimana konyolnya Dita yang mau saja disuruh olehnya. Bagi Susi, mendapatkan Jaka adalah hal utama.
***
Anggi sudah pergi bekerja dan sekarang Jaka sedang bersipa-siap untuk mendatangi panti asuhan Dita. Jaka tidak jadi cuti, karena ia tak mendapat izin dari bosnya. Jaka mengambil shift malam agar ia bisa melancarkan aktivitas pagi ini.
Jaka sudah berpesan pada Anggi untuk tidak menjemput Dita di rumah Susi. Biarlah anak itu memeroleh pelajaran atas apa yang telah ia lakukan.
Jaka juga tahu apa yang harus ia perbuat. Mustahil dirinya membiarkan Dita menetap di rumah Susi selamanya. Jaka akan menjemput anak itu setelah hatinya dingin. Jaka sedang berusaha untuk memaafkan kesalahan Dita.
Lelaki berpostur tinggi itu mengendarai sebuah ojek online. Jarak antara panti dan rumahnya tidaklah begitu jauh. Oleh karena itu, Jaka bisa menempuh perjalanan selama 20 menit berkendara.
Jaka menemui satpam untuk dipertemukan dengan penjaga panti. Dia mengatakan bahwa ada hal penting yang harus diselesaikan. Kemudian sang satpam membawa Jaka pada sosok yang ingin ditemuinya. Jaka masih ingat betul, kala itu ia juga menitipkan Dita pada wanita bertubuh gemuk tersebut.
"Bu Neneng. Ibu apa kabar?" Jaka menjabat tangan lawan bicaranya.
"Saya baik. Dengan siapa, ya?"
Tentu saja Bu Neneng lupa pada sosok Jaka. Selama ini begitu banyak orang tua dengan wajah berbeda yang menitipkan anaknya di panti. Bu Neneng hanya bisa mengingat siapa-siapa saja yang sering berkunjung ke bangunan tua tersebut.
"Saya Jaka, Bu. Pamannya Dita Anastasya,"
"Dita yang rambutnya panjang itu, ya?"
"Iya, bener, Bu,"
"Oh, mari masuk!"
Bu Neneng menggiring Jaka untuk duduk di bangku panjang yang terdapat di halaman panti. Sambil menyaksikan anak-anak yang sibuk bermain, keduanya pun memulai obrolan.
"Ada apa, Jaka?" tanya Bu Neneng.
"Begini, Bu. Beberapa hari lalu Dita pulang ke rumah Saya. Katanya dia udah gak mau tinggal di panti. Saya gak tahu alasannya apa, karena dia cuma bilang kalau di sini itu gak enak." Jaka berterus terang pada Bu Neneng.
"Memangnya kamu gak tahu kalau Dita ketahuan mencuri Hp penjaga panti yang lain?"
"Hah! Mencuri Hp?"
"Iya. Dita itu pergi bukan karena di sini gak enak, tapi dia malu atas perbuatannya sendiri,"
Jaka spontan mengelus dadanya seberes kalimat Bu Neneng terdengar di telinga. Rupanya Jaka sudah termakan tipu muslihat keponakannya sendiri.
***
Bersambung