Pagi ini Dita bangun lebih cepat, karena Jaka yang menuntutnya. Awalnya Dita hanya ingin tidur dan bermalas-malasan. Dita berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya masih sembab serta kantung mata yang menggelembung. Dita benar-benar kurang tidur akibat bermain dengan boneka barunya. Wajar saja, karena selama di panti Dita tidak pernah bersenutuhan dengan benda lucu seperti itu.
Karena Dita sudah bangun, akhirnya Anggi pun membagikan tugas untuk Dita. Anggi hanya menuruti perkataan suaminya agar Dita jangan dibiarkan bermalas-malasan di rumah.
"Dita. Ini sapunya, ya. Kalau kamu capek, kamu bisa berhenti kok,"
Anggi meminta agar Dita membersihkan perkarangan rumah. Dita menganggukkan kepala dan meraih gagang sapu. Anggi menganggap bahwa semuanya sudah beres dan ia pergi meninggalkan Dita. Nyatanya, Dita malah mencampakkan sapu tersebut dan memetik beberapa tangkai bunga di halaman.
"Wah. Cantik banget bunganya," gumam Dita, lalu menyelipkan mawar kecil di daun telinganya.
20 menit berlalu. Kini, saatnya bagi Anggi untuk memantau pekerjaan Dita. Anggi begitu syok ketika dilihatnya halaman masih kotor dan Dita sibuk bermain dengan bunga-bunga.
"Dita. Kamu petik kembang dari sini, ya?" Anggi mempersingkat jarak diantara mereka.
"Eh, iya, Bi," jawab Dita kaget dan langsung menyembunyikan mawar di balik tangannya.
"Ya, ampun. Malah aku sayang banget sama bunga itu," batin Anggi. Ia sedikit kecewa.
"Dita. Lain kali bunganya jangan dipetik begitu, ya. Biarin aja dia tumbuh. Kan, rumah kita jadi lebih bagus, karena ada yang menghiasi,"
"Iya, Bi," balas Dita singkat.
"Kerjaan kamu udah beres?" Kemudian Anggi mengedarkan pandangannya kembali.
"Belum, Bi. Halamannya luas banget,"
Anggi menarik oksigen, lalu membuangnya dari mulut. Baru dua hari tinggal bersama Dita, tapi dia sudah bisa merasakan jika Dita adalah anak yang keras kepala dan pembangkang. Anggi ingin mengatakannya pada Jaka, tapi khawatir jika pria itu akan tersinggung. Walaupun Dita bukan keponakan kandungnya, tapi mereka sudah hidup bersama sejak kecil.
"Ya, sudah. Kamu sarapan aja sama Paman, biar Bibi yang kerjain,"
"Iya, Bi,"
Tanpa beban Dita meninggalkan halaman rumah dan masuk ke dalam untuk menyantap makanan. Dia tidak memikirkan orang-orang yang sudah memberinya tempat tinggal.
Sebuah pemandangan yang begitu mencolok. Anggi memerhatikan boneka panda yang dipegang oleh Dita di kursi ruang tengah. Wanita itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya di luar.
"Dita, boneka siapa itu?" tanya Anggi penasaran. Ia ingat betul bahwa Dita datang dengan tangan kosong.
"Mas kemarin beliin Dita boneka, Sayang,"
Bukannya Dita, tapi malah Jaka yang menjawab. Buru-buru dia keluar dari kamar saat mendengar pertanyaan Anggi. Istrinya tidak boleh tahu kalau Susi berusaha mendekati Dita.
"Kapan kamu beliin Dita, Mas? Aku gak tahu,"
"Pulang kerja kemarin kamu kan tidur, Anggi. Jadi, Mas langsung antar bonekanya ke kamar Dita,"
Dita sendiri jadi bingung kenapa seisi rumah itu serba menutupi sesuatu. Kemarin Anggi rela mengorbankan dirinya dan sekarang malah Jaka yang berulah. Aneh sekali. Namun, Dita tidak peduli dengan semua itu. Ia hanya memikirkan ketentramannya saja.
Anggi tak dapat berkata-kata lagi setelah tahu bahwa boneka itu merupakan pemberian suaminya. Namun Anggi sedikit heran, pasalnya dia tahu jika Jaka belum gajian.
***
Jaka menyempatkan diri untuk menemui Susi saat ia baru saja keluar dari toilet. Jaka yakin bahwa jarang sekali karyawan ke toilet kalau jam kerja masih berlangsung.
"Mas Jaka?" Susi terhenyak.
"Aku mau ngomong sama kamu, Sus,"
"Mau bicara apa, Mas? Soal pernikahan kita, ya?" Susi mengedipkan sebelah matanya dan membuat Jaka semakin risih.
"Bukan. Aku cuma mau bilang supaya kamu jangan dekatin Dita lagi. Aku tahu niat busuk kamu, Sus,"
"Oh, jadi Dita udah cerita semuanya ya, Mas? Susi bertanya tanpa rasa bersalah.
"Iya. Ke mana kamu bawa keponakanku, hem?"
"Gak ada, Mas. Cuma jalan-jalan ke mall aja kok. Gak usah khawatirlah. Mana mungkin aku nyakitin Dita,"
"Kamu memang gak akan nyakitin dia, tapi kamu bakal hasut dia kan, Sus?"
"Hasut apa sih, Mas? Udah ah. Kamu ini ada-ada aja. Oh, ya. Kapan kita bisa nikah, Mas? Jangan lupa loh sama tanggung jawab kamu,"
Seketika Jaka kembali dihebohkan dengan pertanyaan maut itu. Susi tiada henti menerornya.
"Aku gak merasa nyentuh kamu!" jawab Jaka, kemudian melipat kedua tangannya.
"Terserahlah, Mas. Kamu gak bakal tahu, karena yang ngalamin itu aku. Lagian, kita udah sama-sama cek ke dokter, kan?"
Jaka enggan meladeni wanita yang dianggapnya sudah gila itu. Akhirnya Jaka menarik diri sebelum ada yang melihat mereka.
"Terserah kamulah, Sus! Intinya jangan pernah kamu ganggu hidupku dan keluarga, termasuk Dita,"
Hati Susi sedikit tergores, karena Jaka tak juga respek kepadanya semenjak kejadian itu. Susi sadar bahwa tak mudah baginya untuk mengelabui Jaka. Dokter hanyalah penentu hasil, bukan prosesnya. Jadi, bagaimana Jaka akan bertanggung jawab apabila ia tidak merasa melakukannya?
"Aku harus ngerencanain sesuatu supaya Mas Jaka secepatnya nikahin aku," gumam Susi. Ia sudah tak tahan lagi memendam rasa.
***
THIN! THIN!
Raka tergopoh-gopoh saat sura klakson terdengar dari penjuru depan. Ia meninggalkan Anggi yang tadinya diajak ngobrol. Karena Raka tak di sisinya lagi, Anggi langsung melanjutkan pekerjaan.
Rumah Raka yang bergema membuat Anggi mampu menangkap obrolan beberapa manusia di depan sana.
"Kamu gak kerja, Nak?" Suara lembut seorang wanita menembus telinga.
"Hari ini libur dulu deh, Ma. Lagian aku cuma pantau toko aja kok,"
"Tumben rumah kamu bersih. Biasanya kayak kapal pecah,"
"Hahaha. Aku sudah punya asisten di sini, Ma. Kerjaanya emang rapi banget,"
Kedua sudut bibir Anggi terangkat dan membentuk huruf U. Merasa senang, karena sang majikan puas dengan kinerjanya.
"Oh, ya? Mama mau ketemu sama orangnya,"
"Papa juga," sahut seorang pria berkemeja coklat.
Lalu terdengarlah hentakan kaki yang berjalan ke arah dapur. Anggi tahu bahwa ia akan dijenguk oleh orang tua Raka.
"Eh, ini orangnya? Cantik banget,"
Tanpa permisi, Mama Raka langsung menjawil dagu Anggi dan membuatnya salah tingkah. Anggi mematikan keran air dan membiarkan piring-piring kotor itu di wastafle.
"Ke depan dulu yuk, Nak. Nanti kamu lanjut aja kerjanya,"
"Iya, Tante,"
Raka tidak memberitahu bahwa kedua orang tuanya akan datang. Kalau tahu begitu pasti Anggi menyiapkan hidangan terbaik.
Ada empat orang yang saat ini berada di ruang tengah dan Anggi adalah sosok asing diantara mereka.
"Siapa nama kamu?" tanya Papa Raka yang kelihatannya begitu ramah.
"Anggi, Om,"
"Udah lama kerja di sini?" Sekarang, Mama Raka pula yang bertanya.
"Belum, Tante. Baru-baru aja,"
"Raka gak pernah cerita kalau dia mempekerjakan perempuan secantik kamu ini,"
"Iya. Sopan lagi. Bahagia banget kalau punya menantu kayak Anggi,"
Perkataan kedua orang tua Raka membuat darah Anggi berdesir deras. Menikah dengan seorang pria kaya raya nan rupawan? Wow! Perempuan mana yang tak ingin? Sayangnya, Anggi telah dinikahi oleh lelaki lain.
"Duh! Papa sama Mama jangan begitu. Anggi ini sudah punya suami," timpal Raka. Disugarnya rambut ke belakang.
***
Bersambung