"Jaka kok belum masuk-masuk juga, ya?" tanya Leni.
Sudah dua hari Jaka tidak bekerja dan rekan-rekannya tahu bahwa pria itu sedang dirawat di rumah sakit.
"Iya, ya," timpal Ayu.
"Mas Jaka masih dirawat," jawab Susi. Dia mengetuk nampan yang akan digunakan untuk mengantar makanan pada pengunjung café.
"Kirain sakitnya bakal sehari doang. Eh, gimana kalau kita jenguk Jaka?" Ayu menyarankan kepada rekan-rekan kerjanya.
"Buat apa?"
"Wajar dong, Sus. Kita kan temennya juga," balas Ayu.
Bisa gawat kalau rekan-rekannya mengunjungi Jaka di rumah sakit. Di sana ada Anggi dan bisa saja adu domba yang kemarin Susi lakukan terbongkar. Susi pun memutar otak untuk menjauhkan pekerja café dengan Anggi.
"Istri Mas Jaka gak ngebolehin suaminya dijenguk," kata Susi berbohong.
"Loh, kenapa?"
"Gak tahu. Mungkin supaya Mas Jaka bisa fokus sama kesembuhannya,"
"Aneh. Harusnya dia senang dong, karena kita perhatian sama Jaka,"
"Kalian tahu sendirilah gimana sikap istrinya itu,"
Percakapan tiga wanita itu terhenti saat melihat ada beberapa pengunjung café yang baru saja masuk. Susi lega, karena ia dapat memengaruhi pikiran Ayu dan Leni untuk tidak menjenguk Jaka di rumah sakit.
***
Tiga hari berlalu. Akhirnya Jaka bisa keluar dari rumah sakit setelah administrasinya ditebus oleh sang istri. Anggi terpaksa menjual Handphonya demi biaya perobatan Jaka, karena ia tidak memiliki pilihan lain.
Keduanya baru saja menyelesaikan makan malam. Untungnya sisa penjualanan ponsel masih ada, sehingga Anggi tak perlu repot-repot untuk berhutang di warung. Kondisi Jaka juga sudah membaik. Hanya saja pria itu kelihatan murung terus menerus. Anggi tidak tahu apa yang menyebabkan suaminya berubah pasca sakit.
"Maafkan Mas, Sayang. Kamu harus kehilangan benda yang bisa kamu pakai buat hubungin teman-teman kamu," ucap Jaka menyesali penyakit mendadaknya itu.
Anggi menarik kedua sudut bibir, lalu menyapu punggung tangan Jaka. "Jangan begitu, Mas. Kita kan memang wajib saling membantu," balasnya lembut.
"Mas jadi merasa bersalah. Kehadiran Mas cuma buat kamu susah,"
"Maksudnya gimana, Mas?"
"Gara-gara Mas kamu dijauhi sama orang tua, kamu jadi hidup miskin dan kerja sana sini,"
Jaka merasa bahwa ia merupakan suami tak berguna yang hanya bisa membuat istrinya tersiksa. Namun, Jaka pun tak kuasa untuk membahagiakan Anggi mengingat ia terlahir dari keluarga kurang berada.
"Ya, ampun. Kamu kok gitu sih ngomongnya, Mas? Aku gak keberatan. Semua ini juga keputusanku kok." Anggi tak ingin membuat suaminya semakin bersedih.
"Mas juga belakangan ini sering sakit-sakitan,"
"Namanya juga musibah siapa yang tahu, Mas. Udah deh. Kamu gak usah ngomong macem-macem lagi, ya. Yang penting kita selalu sama-sama,"
Anggi merapatkan kursi miliknya ke kursi Jaka. Dia membungkus tubuh pria itu dengan kedua tangan. Anggi begitu merindukan Jaka. Berhari-hari keduanya tidak saling bercanda, karena kondisi Jaka yang sedang drop.
Tok! Tok! Tok!
"Paman!"
Tiba-tiba saja terdengar suara pintu diketuk dan suara asing. Anggi menarik kepalanya dari bahu Jaka.
"Siapa itu, Mas?" tanyanya.
"Mas gak tahu, Sayang. Ayo, kita lihat!"
Jaka dan Anggi segera membuka pintu utama. Tampaklah seorang bocah perempuan dengan air mata yang berlinang.
"Hah, Dita? Kamu kenapa bisa ada di sini?" Jaka begitu syok.
Anggi melongo menyaksikan gadis yang tidak ia kenali itu. Namun, dia heran saat Jaka memanggil namanya. Pertanda bahwa Jaka mengenal orang tersebut.
"Siapa ini, Mas?" tanya Anggi ingin tahu.
"Ini Dita. Keponakan Mas yang selama ini di panti asuhan. Dita, ayo masuk!"
Jaka menggiring saudaranya itu untuk menyembulkan diri ke rumah. Dita ikut membalas tatapan Anggi dengan tak kalah heran. Pasti dia bertanya-tanya siapa sosok yang tinggal satu atap dengan pamannya tersebut.
"Kamu kenapa nangis? Sama siapa ke sini?" tanya Jaka saat ketiganya sudah berada di ruang tamu.
"Hiks hiks hiks. Aku kabur dari panti, Paman,"
"Loh, kenapa?"
"Aku gak suka tinggal di panti,"
"Kenapa begitu, Dita? Di panti kan banyak temen-temen,"
"Pokoknya aku gak suka. Aku mau tinggal di sini aja sama Paman,"
Jaka spontan menegakkan badan dan melirik Anggi dari ekor mata. Sungguh ia sungkan pada istrinya apabila menerima sosok lain di tengah kemiskinan mereka. Namun, mustahil bagi Jaka untuk menolak keponakannya sendiri.
"Emangnya Ayah sama Ibu kamu ke mana?" Kali ini Anggi ikut bicara.
Dita senantiasa mengusap air matanya yang membasahi pipi. Sulit sekali untuk menjelaskan bahwa Dita hanyalah anak yatim piatu yang dititipkan di panti asuhan.
"Kedua orang tuanya udah meninggal sewaktu kecelakaan. Ibu Dita itu anak angkatnya Ibu Jamilah, Sayang. Makanya Dita juga keponakan Mas,"
"Oh, ya? Kasihan banget, Mas. Udah lama tinggal di panti?"
"Sejak orang tuanya meninggal empat tahun lalu. Dulu keluarga mereka juga tinggal di sini. Makanya Dita tahu jalan ke rumah ini,"
"Wah. Kamu gak pernah cerita, Mas,"
"Maafin Mas ya, Sayang. Mas suka sedih kalau ingat orang tua Dita, jadi gak pernah bahas lagi,"
"Ini siapa Paman?" Seketika Dita mengeluarkan suaranya.
"Ini istri Paman. Namanya Bibi Anggi,"
Dita menatap wanita bertubuh putih itu lekat-lekat. Bahkan, dia tidak tahu jika pamannya sudah menikah. Mereka benar-benar telah membuang Dita di panti asuhan dan tak berniat untuk melihatnya lagi.
"Nenek ke mana? Aku rindu banget sama Nenek,"
Jaka dan Anggi saling melempar pandang tatkala Dita menanyakan seseorang yang telah tiada.
"Nenek baru aja meninggal," lirih Jaka, kemudian bola matanya memandang lantai.
"Hah, kenapa?"
"Nenek sakit, Dita. Ya, sudahlah. Kita do'ain aja semoga Nenek tenang dan bahagia di sana, ya,"
"Paman sama sekali gak ngabarin aku. Apa Paman udah gak sayang aku lagi, ya?" Dita bermonolog. Dia merasa sedikit kecewa dengan Jaka.
"Iya, Paman," jawab Dita lesu.
"Dita. Kamu balik aja ke panti, ya. Di sana kamu bisa belajar dan punya banyak temen. Paman sama Bibi setiap hari kerja. Nanti kamu gak ada yang jagain. Kalau ada apa-apa gimana?"
Perkataan Jaka membuat hati Dita semakin tercabik-cabik. Apakah Jaka sedang mengusirnya secara halus?
"Aku gak mau, Paman. Aku mau tinggal di rumah ini kayak dulu lagi," titah Dita memelas. Dia kembali menangis, karena tahu jika kehadirannya tidak diharapkan.
"Iya, Paman paham, tapi lebih baik ka-"
"Sudahlah, Mas. Kasihan Dita. Biarin aja dia tinggal di sini," ucap Anggi menyela.
Jaka menyorot wajah istrinya dengan tatapan berbinar-binar. Sejujurnya dia khawatir jika Dita tinggal bersama mereka, maka akan menambah biaya pengeluaran. Jaka tak ingin Anggi semakin tertekan. Namun, ternyata Anggi bersedia menampung sosok baru di rumah mereka.
"Serius, Sayang?"
"Iya. Dita udah gak mau tinggal di panti, jadi kamu gak boleh maksa dia begitu,"
"Ya, sudah. Dita boleh tinggal di sini, tapi ada syaratnya, ya,"
"Apa syaratnya, Paman?" tanya Dita yang sudah tidak sabar menanti jawaban Jaka.
***
Bersambung