Tidak tahu harus bersikap bagaimana. Jaka merasa alam tak adil dengan dirinya. Sejak kapan Jaka pernah menyentuh Susi? Bahkan, melihat wajahnya saja pun dia sudah jijik.
Jaka duduk termangu di kursi tunggu setelah Susi membawanya keluar dan meninggalkan dokter tersebut. Tidak ada yang tersemat dalam pikirannya selain paras Anggi.
"Mas, ayo pulang!" titah Susi. Berulang kali ditahlilnya nama Jaka, tapi tak ada sahutan.
Jaka menoleh barang sekejap, kemudian menyatukan kedua tangannya untuk dijadikan tumpuan dagu. Rasanya Jaka ingin menangis, tapi enggan terlihat lemah apalagi di depan perempuan yang ia benci.
"Aku gak mungkin ngelakuin itu, Sus! Kamu jebak aku!"
Tiba-tiba Jaka bangkit dari duduknya dan menghadap Susi. Jaka pasti sudah menghantam wanita itu, jika tidak ada yang berseliweran di sini.
"Mas, kenapa kamu? Di sini banyak orang. Jangan begitulah." Susi tidak senang dirinya dibentak di khalayak umum. Sontak saja ia merasa malu.
"Akh!"
Jaka yang tak dapat menahan murka, langsung menendang kursi tunggu dan berlari sekencang mungkin.
"Mas, tunggu!"
Di belakang sana, Susi berusaha untuk mengimbangi langkah Jaka. Meski pria itu tidak menyukainya, tapi Susi bahagia karena sebentar lagi Jaka akan menjadi miliknya.
Keduanya kembali bertemu di bibir trotoar untuk menunggu angkutan. Susi tidak bosan-bosannya mengusik pikiran Jaka dengan membahas masalah yang sama.
"Sekarang semuanya udah jelas kan, Mas? Aku gak mau tahu. Pokoknya kamu harus nikahin aku dan tinggali Anggi,"
"Aku gak bisa, Sus!" Jaka berusaha keras untuk menahan amarah.
"Kenapa, Mas? Aku bakal tutupi semua ini kalau kamu tanggung jawab,"
"Aku harus kasih alasan apa ke istriku, Sus?" tanya Jaka merasa pusing.
"Gampang! Bilang aja kamu udah gak cinta sama dia,"
Jaka menganggap bahwa Susi adalah perempuan teraneh yang pernah dia temui. Bagaimana mungkin Anggi akan percaya jika Jaka sudah tidak mencintainya? Sementara, keduanya mati-matian mempertahankan hubungan selama ini.
Di sisi lain, Jaka juga tidak berani menceritakan kejadian dirinya yang bermalam dengan Susi di rumah sakit. Sampai sekarang pun, Jaka masih bingung apakah dia benar-benar menyentuh Susi atau tidak. Jaka tak mengingat apa-apa.
"Kamu duluan aja, Sus. Aku gak mau Anggi lihat kita pulang barengan," kata Jaka saat melihat ada angkutan umum yang datang.
"Ingat ya, Mas! Kamu harus nikahin aku sebentar lagi," ucap Susi sebelum ia melangkahkan kaki.
***
Jaka tak mampu melenyapkan masalahnya dengan Susi dari pikiran. Bahkan ketika di rumah pun, Jaka kerap memikirkan perkataan wanita itu. Jaka berubah menjadi sosok pemurung.
Keadaan itu membuat kepala Jaka pusing dan diikuti sekujur tubuhnya yang memanas. Jaka mengalami drop mendadak. Ia kesulitan untuk menjalani kegiatan.
Hal itu tertangkap jelas oleh Anggi. Sejak tadi, suaminya itu sangat payah untuk diajak berbicara. Jaka sering ngelantur dan berdiam diri. Anggi merasa ada yang tidak beres dengan diri Jaka.
Anggi terbangun dari lelapnya, tatkala mendengar ringisan Jaka. Ia mendapati lelaki itu menggeggam erat ujung selimut. Anggi menempelkan telapak tangannya di dahi Jaka. Dirinya kaget saat merasakan hawa panas.
"Mas Jaka demam," gumam Anggi.
"Mas, bangun!"
Anggi mengguncang bahu Jaka supaya terbangun dan dia bisa mengutarakan keluhan. Pantas saja Jaka sedikit aneh. Ternyata dia sedang tidak enak badan.
Jaka membuka mata seberes Anggi membangunkannya. Ia merasa berat hanya untuk sekadar berbicara.
"Mas, kenapa?" tanya Anggi pelan.
Jaka tak merespon ucapan istrinya. Namun, saat itu juga air matanya luruh. Anggi sungguh terkejut melihat keadaan Jaka. Tidak biasanya lelaki itu menangis.
"Loh, kenapa, Mas? Badannya panas nih. Kita ke rumah sakit aja, ya,"
Anggi tak pernah tahu masalah apa yang sedang menimpa suaminya sekarang. Dengan polosnya ia menganggap bahwa Jaka sedang kelelahan bekerja. Anggi membantu Jaka untuk beringsut dari kamar menuju rumah sakit. Tak dihiraukannya dompet yang sudah kosong melompong.
***
Tok! Tok! Tok!
"Sus. Susi,"
Merasa terpanggil, Susi menghentikan sendok yang berulang kali dimasukkannya ke mulut. Gegas ia menuju pintu untuk melihat tamu yang datang pagi-pagi begini.
Tap!
"Mba Anggi?" gumam Susi. Ia bingung kenapa Anggi bertandang ke rumahnya.
"Sus. Tolong izinkan Mas Jaka sama bos kalian, ya. Mungkin beberapa hari ini Mas jaka gak masuk kerja,"
Susi melepas udara dari mulut. Dipikirnya Anggi sudah mengetahui persoalan Jaka dan ingin membahasnya.
"Loh, sakit apa, Mba?" tanya Susi heran.
"Gak tahu tuh. Mas Jaka tiba-tiba aja demam,"
Setelah Jaka diamankan oleh pihak rumah sakit, pagi harinya Anggi meninggalkan Jaka untuk bekerja. Namun, terlebih dahulu ia menghampiri Susi. Jangan sampai Jaka dipecat dari pekerjaan, karena tak ada kabar.
Susi tersenyum samar. Dia dapat menebak jika Jaka drop karena memikirkan masalahnya.
"Wah. Kasihan Mas Jaka. Ya, sudah, Mba. Ntar aku kabarin ke bos," ucap Susi pura-pura lugu. Padahal, dirinyalah yang menyebabkan Jaka sakit.
"Makasih ya, Sus. Mba pergi dulu,"
Susi melepas kepergian Anggi dengan anggukan kepala dan senyuman. Dirinya sudah tidak sabar ingin melihat Anggi menjadi janda.
"Kasihan kamu Anggi," desis Susi, lalu masuk dan kembali melanjutkan sarapannya yang tertunda.
***
Anggi benar-benar tak semangat melakukan pekerjaan hari ini. Yang ada dipikirannya hanyalah cara untuk membayar biaya rumah sakit. Anggi tidak memiliki uang sepeser pun. Jaka akan tetap ditahan jika mereka tak mampu membayar.
Rupanya sikap dingin Anggi dapat tertangkap oleh Raka. Sejak tadi, pria itu memerhatikan Anggi yang tidak becus bekerja. Raka penasaran dan memutuskan untuk menghampiri Anggi.
"Kenapa kamu?" tanya Raka.
Anggi tersentak, karena mendapati sepasang sepatu yang muncul di dekat kain pelnya. Anggi pun mengangkat wajah guna membalas ucapan Raka.
"Eum. Gak apa-apa, Mas,"
"Kamu kelihatan lagi ada masalah." Raka mencoba menebak.
"Cuma kecapean biasa," bohongnya.
Raka tahu jika Anggi sedang berdusta. Anggi begitu terlihat layu dan tidak segar hari ini. Berbeda dari hari-hari sebelumnya.
"Gak usah ditutupin!" Raka memperingatkan.
Menunda pekerjaan menjadi pilihan. Anggi kembali menghadapkan wajah pada Raka. Menurut Anggi, laki-laki itu terlalu mengurusi hidupnya.
"Suamiku lagi sakit, Mas," balas Anggi supaya Raka berhenti bertanya.
Raka mengatupkan bibir. Sebegitu cintanya Anggi dengan suaminya, sampai-sampai ia juga mendadak dingin di saat pria itu sakit.
"Di mana suamimu?"
"Rumah sakit,"
Anggi melanjutkan pekerjaan, tapi saat itu juga Raka mencekal gagang pelnya.
"Aku kasihan sama kamu, Nggi. Kehidupanmu gak sebanding dengan wajahmu." Perkataan Raka membuat dahi Anggi berkedut.
"Maksud Mas Raka apa?"
"Kamu cantik, tapi sayang hidupmu menderita,"
Tanpa pikir panjang Raka mengucapkan kalimat yang menyentuh perasaan Anggi. Wanita itu merasa bahwa hidupnya berada di bawah hinaan manusia lainnya.
***
Bersambung