Lelaki berjanggut tipis itu memasuki sebuah ruangan luas yang diisi dengan beberapa furniture mahal. Belum sempat mendaratkan bokongnya di sofa, tiba-tiba saja seorang bocah cilik memeluk kakinya.
"Papa!"
Hap!
Pria itu terkejut, tapi detik berikutnya ia tertawa melihat siapa yang datang.
"Halo jagoan Papa. Sudah makan malam?" tanyanya, kemudian menggendong tubuh unyil cilik tersebut.
"Udah,"
Bersamaan dengan itu, seorang wanita menghampirinya. Sosok tersebut melepaskan kancing kemeja suaminya.
"Mas Raka udah pulang?"
"Udah, Sayang,"
Tak lain dan tak bukan pria itu adalah Raka. Dia baru saja kembali ke rumah setelah berkelana seharian.
Raka merupakan seorang pebisnis yang memiliki harta berlimpah. Raka juga memiliki seorang istri dan bocah lelaki yang berumur enam tahun. Kekayaan Raka tak perlu diragukan. Nyaris di setiap kota terbangun rumahnya.
Sayangnya, Raka mendapatkan itu semua melalui jalan haram. Dia menjual para wanita-wanita untuk dibawa ke luar Negri. Dari sanalah Raka mendapatkan banyak uang dan terus mengembangkan bisnis terlarangnya.
Uci, istrinya tak pernah mengetahui pekerjaan sang suami. Setahunya Jaka memiliki banyak tempat usaha tanpa pernah melihatnya. Uci hanya mendengarkan cerita Raka selama ini.
Meski begitu, Raka sangat mencintai keluarganya. Raka berusaha menutupi segala kegiatannya dari Uci. Tak dpat dibayangkan apabila perempuan itu tahu jika suaminya seorang pedagang manusia.
"Udah. Mas langsung mandi, ya," ucap Raka, kemudian beranjak ke toilet.
Uci meraih tubuh sang junior dan membawanya masuk ke kamar. Uci tak pernah membiarkan buah hatinya yang bernama Riki itu tidur di atas jam sembilan malam.
Tanpa Uci ketahui, saat ini suaminya sedang berusaha untuk mendekati wanita yang bernama Anggi. Setelah Anggi terperangkap tipu muslihatnya, maka Raka akan segera menjual perempuan itu untuk dibawa ke luar negri.
***
Anggi semakin terpuruk saat pihak rumah sakit meminta uang administrasi. Jaka akan ditahan apabila mereka tak mampu membayar, sementara dana yang diperlukan akan terus bertambah. Anggi berada dalam situasi sulit. Di mana dirinya harus memikirkan segala persoalan seorang diri.
Sempat terpikir untuk meminjam uang kepada Raka, tapi Anggi sungguh merasa sungkan. Anggi tak ingin istilah dikasih hati minta jantung akan tersemat pada dirinya, karena Raka sudah baik terhadapnya selama ini.
Malam hari setelah menyuapi suaminya makan, Anggi mencoba menghubungi seluruh rekan-rekannya untuk meminta bantuan. Mulai dari teman kecil hingga dewasa. Sayangnya, tak ada diantara mereka yang bersedia membantu Anggi, meskipun Anggi pernah menolong mereka kala itu. Anggi mendengus kesal. Memang benar kalau semua orang akan meninggalkan kita di saat susah dan hadir kala senang menghampiri.
Anggi tak punya pilihan lain. Sebuah ide gila terlintas di kepalanya. Anggi berencana untuk mendatangi kediaman Dodi dan Dida guna meminta belas kasihan. Anggi tidak berharap orang tuanya akan memberinya uang secara cuma-cuma. Ia akan merasa bersyukur apabila mereka bersedia meminjamkan Anggi uang guna menebus biaya rumah sakit Jaka.
Malam ini juga Anggi menyambangi kediaman Dodi dan Dida. Tak peduli bagaimana pandangan kedua orang tuanya nanti, yang penting Anggi berusaha saja dulu.
Perasaan Anggi menjadi tak karuan setelah ia menginjakkan kaki di beranda rumah Dodi. Anggi memberanikan diri untuk memencet bel rumahnya.
Ting nong…
Bersamaan dengan bunyi yang berdering, jantung Anggi berdebar tak menentu.
Tak butuh waktu lama, Dida muncul membukakan pintu. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati siapa yang bertandang ke rumahnya pada malam hari. Dida menutup mulutnya dengan telapak tangan, kemudian berbalik badan guna memanggil suaminya.
"Mas. Lihat siapa yang datang!" pekik Dida.
Anggi mesem-mesem sendiri. Dia dapat merasakan hawa mencekam, padahal bangunan itu merupakan tempat ia dibesarkan dahulu kala.
Dodi sampai di pusat pintu dengan paras masam. Diliriknya Anggi dari ekor mata.
"Mau apa anak ini datang?" tanyanya pada Dida.
"Aku juga gak tahu, Mas. Oh, mungkin dia nyesal dan mau balik lagi ke sini," sindir Dida.
Anggi tersenyum perih. Tak disangka jika ia bagaikan musuh di mata orang tuanya sendiri. Namun, Anggi tidak boleh membalas segala perkataan Dodi dan Dida. Apapun yang terjadi, Anggi harus menerima dengan lapang dada.
"Bukan, Ma," jawab Anggi irit bicara.
"Terus kamu mau apa?" tanya Dodi ketus.
"Aku boleh gak pinjam uang? Mas Jaka masuk rumah sakit dan aku kekurangan biaya untuk nebus semuanya," ucap Anggi enteng. Sejujurnya dia begitu malu pada Dodi dan Dida.
"Hah, pinjam uang? Hahaha."
Konyolnya, Dodi dan Dida malah menertawakannya. Bahkan, Dida sampai berjongkok dan terpingkal-pingkal di lantai.
"Gak salah kamu mau pinjam uang?" Dida mencoba berdiri.
"Iya, Ma. Aku janji bakal ganti secepatnya uang kalian,"
Bagi orang tuanya, Anggi adalah sosok anak yang tidak tahu diri dan tak punya malu. Bukankah Dodi dan Dida telah membuangnya? Anggi benar-benar muka tembok.
"Baru tahu rasanya hidup susah?" Dida belum puas menyindir Anggi.
"Bisa-bisanya kamu pinjam uang untuk biaya rumah sakit orang yang kami benci," imbuh Dodi.
"Aku udah hubungi semua teman-teman, Ma, tapi mereka juga lagi kekurangan,"
"Dan, kamu kira kami sudi ngasih kamu uang? Ingat, Anggi! Diantara kita udah gak ada hubungan apa-apa,"
Krak!
Hati Anggi seolah robek mendengar ucapan Mamanya sendiri. Anggi tak habis pikir jika orang yang ia sayang tega berbuat demikian. Kini, Anggi mengerti jika kedua orang tuanya benar-benar mengambil keputusan untuk membuang anak mereka sendiri, karena berbeda pilihan.
"Kamu bukan anak kami lagi. Silahkan pergi, Anggi! Biar kamu tahu gimana rasanya hidup susah." Dodi menunjuk perkarangan rumah. Memberi isyarat agar Anggi segera beranjak dari hadapan.
"Tolong, Ma, Pa,"
Seketika Anggi kehabisan akal dan perasaannya begitu kalut. Anggi pun memutuskan untuk berlutut di kaki orang tuanya sendiri. Mirisnya, Dodi dan Dida malah semakin menertawakannya. Tak terbesit di hati mereka untuk membantu anak mereka sendiri.
"Lihat anak ini Mas. Kemarin aja dia belagu dan milih suami miskinnya itu," ucap Dida.
"Sudahlah, Anggi. Mau kamu nangis darah sekalipun, kami gak akan goyah. Pergi sana!"
BUGH!
Dengan kejamnya Dodi menendang kepala Anggi sampai wanita itu terpental ke balakang. Anggi membisu di tempat sambil menahan nyeri di bagian kepalanya. Tak terasa, air matanya mengalir deras membasahi lantai rumah Dodi.
"Kita masuk aja, Mas!" seru Dida, lalu menarik lengan suaminya.
Sakit.
Sakit sekali.
Anggi tiada menyangka jika ia akan menerima hadiah seperti ini dari orang tuanya. Yang ada di pikiran Anggi, dirinya hanya dimarah saja. Anggi merasakan perih yang tiada batas di hati dan fisiknya. Merasa sudah tidak dianggap lagi, Anggi pun buru-buru pergi dari sana. Anggi berjanji dalam hati, apapun yang terjadi ia tak akan pernah menemui orang tuanya lagi. Bukannya Anggi ingin menjadi anak durhaka, melainkan melindungi dirinya agar tidak menerima perlakuan kasar kembali.
***
Bersambung