Vierra didalam kamarnya sedang duduk dikursi rias dengan pantulan cermin yang terlihat menekuk lututnya serta menegadahkan kepalanya menyamping kanan. Dia masih memikirkan tentang tawaran yang telah disepakati oleh Hasta. Dia mulai menimbang tentang perkataan tanpa dia fikir dahulu.
Fikirannya sudah tidak karuan menanggapi tawaran yang dia buat sendiri. Apakah ia harus ingkar? Tetapi dengan mengingkari akan lebih menjauhkannya dengan pemuda itu, dan apabila Vierra membantunya, maka dia akan menderita hati dengan perlahan.
Dia mulai menundukkan kepalanya dengan mata terpejam. Dia menenggelamkan kepalanya pada kedua sisi lengannya. Tetapi disatu sisi, dia memikirkan lagi permintaanya dibalik tawaran itu, apakah hasta bisa memandangnya layaknya seorang gadis yang mencintainya dan ingin di cintai juga.
Baru saja dia terbawa suasana dengan perasaan senangnya karna hasta akan menjemputnya, tetapi mengenai perjanjian itu akan lebih lebih besar dampaknya pada otaknya berjalan untuk terus berfikir. Dia mengambil pil pengurang rasa sakit agar jalan fikiran kerasnya tetap berlanjut tanpa halangan.
Sebenarnya, dokter telah menyarankan bahwa gadis itu harus melakukan operasi penyusutan pada otak atau dengan melakukkan kemoterapi agar tidak lanjut menjadi kanker otak yang ganas. Tetapi, Vierra hanya tidak ingin mengambil resiko dengan kehidupan serta harus memberitahu keluarganya tentang penyakitnya. Dia tidak sanggup memberitahu, sampai ia berfikir akan hidup dengan obat yang akan mengurangi rasa sakitnya sampai detik dia meninggal nanti.
Dokter telah mendiagnosa sebelumnya bahwa tumor otak yang dialaminya telah membawanya pada sebuah kanker otak yang masih jinak tetapi tidak menutup kemungkinan akan menjadi ganas apabila tidak segera ditangani.
Tok.. tok..
Ketukan pada pintu Vierra ia dengar membuat gadis itu membuka dekapannya sendiri dan membangunkan diri perlahan menuju arah pintu.
"Turun makan," Ucap Sena langsung ketika Vierra membuka pintunya.
"Iya, lo turun aja duluan," Jawab Vierra datar dengan raut wajah awut-awutan membuat Sena terheran lagi dengan raut wajah adiknya yang sudah berubah lagi menjadi dewi galau seperti ini, tetapi ia tidak ingin bertanya apapun walaupun ia sangat ingin.
"Yaudah, kamu cepetan turun." Ingatnya dan langsung berbalik menuju arah tangga untuk turun.
Vierra kembali menutup pintunya pelan dan pergi kekamar mandi untuk membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar dan sedikit merapikan surai hitamnya.
***
"Kamu besok ikut Papa ya Ra?" Ucap ayahnya ditengah makan.
"Ikut kemana Pah?" Tanya Vierra bingung.
"Kerumah sakit" Jawab Papanya membuat Vierra membulatkan matanya cengo dan sedikit termangap.
"Kenapa kerumah sakit? Siapa yang sakit Pah?" Jawaban ayahnya membuatnya sedikit terperangah, takut ayahnya mengetahui keadaan-nya sekarang.
"Ngak, Papa cuma pengen kamu diperiksa, soalnya akhir-akhir ini kamu keliatan pucat dan kelihatan lesu. Papa berfikir untuk ngajakin kamu kedokter biar kamu diperiksa"
"Udahlah Pa, Ara baik-baik aja. Mungkin Ara butuh vitamin aja, Ara juga akhir-akhir ini banyak fikiran jadi gk jaga kesehatan deh. Tapi, Ara janji nanti Ara beli vitamin dan lebih peduli sama kesehatan Ara. Papa tenang ya," Ujarnya meyakinkan untuk menenangkan sang ayah.
Pak Husein yang mendengar anaknya hanya mendesah lega akibat penuturan Vierra yang sudah meyakinkannya.
"Pah, Papa tenang aja, Vierra itu akhir-akhir ini juga lagi suka senyum-senyum sendiri. Nggak tau deh kenapa. tapi dia kelihatan bahagia banget. Pengen tau jadinya, apa sih yang bikin adek abang bahagia gini?" Ucap Sena dengan memanadang kearah Vierra dengan sentilan mata penuh selidik.
Mendapat serangan dari abangnya membuatnya mendengus kesal. Vierra tidak ingin melawan abangnya kali ini, dia hanya menatap makanan yang ada didepannya untuk dimasukkan kemulutnya. Sena hanya terkekeh ringan melihat Vierra yang sebal dengan ejekannya.
"Udah Sena, kamu habisin makan kamu." Ingat Ibu Nona yang sedikit jengkel melihat anak sulungnya menjahili Vierra. Sena lalu memberhentikan cengirannya dan hanya mengulas senyum pasrah dan melahap makanannya.
***
Pagi hari telah tiba, Vierra dengan riang kembali mengubah topik fikirannya dengan semangat pagi karna seseorang yang telah memenuhi isi fikirannya sedari malam akan menjemputnya dirumah. Dia sudah memakai pakaian formal dengan seragam sekolah, sedikit ia merahkan bibirnya dengan gincu kesukaannya. Ia langsung berhambur keruang tengah tanpa sarapan dengan keluarganya yang telah menungu diruang makan.
"Ra, kamu sarapan dulu!" Ingat Ibunya teriak.
"Gk usah Ma, sarapannya nanti disekolah aja. Takut telat!" teriak Vierra membalas.
"Ini masih pagi banget, nggk biasanya." Gumam Sena heran melihat adiknya yang berlari keluar rumah.
"Udah, mungkin adek kamu harus ngerjain sesuatu pagi-pagi gini. Kamu habisin makan aja, terus berangkat kerja ya," Ujarnya dengan senyuman hangat dari sang mama.
Ditempat lain, Vierra yang mulai menunggu kedatangan Hasta diperkarangan rumahnya hanya mengulas senyumnya menanti, kepalanya sedikit ia putar kekanan untuk melihat tanda-tanda kedatangan Hasta. Setelah 20 menit berlalu, ia mulai mengkerutkan keningnya heran kenapa Hasta belum ada tanda kedatangan.
Dia mulai sedikit cemas dengan merematkan kedua tangannya dan celingukan kearah gerbang untuk melihat, tetapi nihil yang ia dapat. Jam mulai menunjukkan 10 menit lagi sekolah akan ditutup. Ia mulai menggigit jarinya akibat kecemasan klimaks, sampai suara klakson mobil dari belakang membuatnya terkejut dan berbalik untuk melihat. Ternyata Sena abangnya yang akan berangkat untuk kekantor.
"Ra, kenapa kamu masih disini? Abang kira kamu udah sampe kesekolah. Kamu nunggu orang jemput?" Pertanyaan heran Sena membuatnya mendesah lemas sekaligus lega akan kedatangan abangnya.
"Ara ikut ya bang!" Pintanya langsung menaiki mobil disamping Sena. Sena memekik keheranan karna adiknya main nyelonong masuk tanpa persetujuannya. "Ye.. belum aja abang izinin ma-".
"Udah ah jalan sekarang, nanti gue telat" Sergahnya dengan nada ketus dan lipatan lengan didada.
Sena yang tidak ingin larut dalam keheranan serta kebingungan, akhirnya dia melajukan mobilnya untuk segera menghantarkan adiknya kesekolah. Diperjalanan masih disekitar komplek, Vierra melewati rumah Hasta dan memandang perkarngan rumah itu. Motor vespa yang biasa ia kenakan tidak terlihat. Ia kembali menatap kedepan arah jalan dan menundukkan kepalanya.
Ditengah perjalanan, Vierra menghela nafasnya lemah dan langsung melengoskan wajah sendunya kearah jendela samping melihat sisi jalan luar. Ia terus memikirkan tentang Hasta yang ingkar kepadanya, ia akhirnya dikecewakan dan rasanya sakit. Ini pertama kalinya orang mengecewakannya dan itu sangat menyakitinya. Rasanya dia membutuh sahabatnya sekarang, Plana Petra Argio, sahabat karibnya.
"Ra, udah sampai." Tegur adiknya yang masih saja melamun sedari tadi ia bingungkan.
"Makasih bang, gue turun duluan," Ucapnya lemah nan datar dan langsung membuka seat bealt dari tubuhnya.
"Eh.. tapi Ra-" sergah Sena yang melihat gerbang tertutup "Gerbang sekolah kamu udah tutup tuh," kata Sena pada Vierra untuk memberitahu adiknya.
"Gk apa bang, lo pergi kerja aja." Ucap Vierra dengan nada meyakinkan.
"Yaudah, kamu telpon abang ya kalau udah balik." Ujar Sena yang hanya dibalas deheman oleh Vierra.
Vierra sudah keluar dari mobil dan melihat abangnya yang berlalu dihadapannya. Ia mendengus kasar melihat gerbang didepannya yang sudah tertutup rapat. Ia melangkahkan kakinya menyusuri jalan samping untuk berniat melewati tembok belakang sekolah.
Dorongan langkahnya yang gontai dan lesu akhirnya sudah mendapati tujuannya, ia menengadahkan kepalanya keatas melihat tembok kasar yang bisa menggoreskan luka. Tinggi tembok yang datar dan tidak terlalu tinggi membuatnya mencari ide dengan alat pendukung yang bisa membantunya naik.
Dia memutar matanya melihat benda apa yang bisa membantunya, tetapi nihil. Ia tidak bisa menaikinya, apalagi dengan rok sedikit ketat seperti yang dikenakan, sungguh hari yang sial menurutnya. Apa dia harus pulang? Tetapi dia ingin bertanya dan mendapati penjelasan dengan alasan Hasta yang tidak menjemputnya dan membuatnya sedikit kecewa.