"Far, seharusnya kamu gk ngelakuin itu sama Hasta. Dia sepertinya orang yang sangat tulus, ia cinta sama kamu, bahkan itu terlihat jelas dimatanya. Cara dia ngeliat kamu car dia berbicara sama kamu dan cara dia memperlakukan kamu. Jangan sampai ia sakit karna penolakan kamu kar-"
"Ra, kamu gak tau!!" Sergah Farah cepat dengan meninggikan nada suaranya.
"Maaf Ra," imbuhnya dengan suara yang sudah netral, tidak enak hati dengan kata yang sedikit membentak Vierra. Vierra menghela nafasnya pelan dan hanya memandang gadis itu peduli.
"Aku tau Farah, sebenarnya prinsip kamu itu adalah akal-akalan yang kamu buat biar Hasta tidak berharap lebih sama kamu, kan? bukan itu caranya, Ra. Seharusnya kamu lebih-"
"Udah Vierra, kamu gak tau kalau hati aku sakit saat menolak Hasta, rasanya perih Ra, perih. Tapi satu hal yang buat aku saat ini gk bisa mengatakan hal itu pada dia. Kamu pasti udah baca tentang alasan itu kan? tapi sebenarnya itu adalan alasan lain yang aku sembunyikan. Kamu tau, aku adalah anak dari keluarga yang biasa, tanpa derajat dan limpahan harta. Dan kamu harus tau, a... ayah Hasta ingin aku membuang perasaan itu," terdengar jelas dialami Farah saat mengucapkan kalimat terakhir, hatinya sakit. Terlihat linangan air mata ia tumpahkan, ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya yang terlihat sangat rapuh. Vierra langsung memeluk erat wanita didepannya.
"Hati aku sa.. sakit Ra. hiks hiks." Gumamnya dalam pelukan Vierra.
Isakan jelas terdengar. Elusan halus dipunggung Farah, Vierra berikan. Memberikan ketenangan untuk menormalkan perasaan sedihnya. Vierra merasa empati dengan kepedulian serta perasaannya pada Hasta.
"Aku hanya ingin setara sama dia Ra, dan tidak ingin dipermalukan lagi. Hiks... hiks..." pelukan dari Vierra masih ia berikan sampai wanita itu melepaskannya perlahan dan menatap wajah Farah yang merah dengan mata yang berair. Isakannya sudah bisa normal kembali.
"Udah ya, aku tau Hasta mencintai orang yang benar. Dan itu kamu," Lebur setengah hatinya mengatakan kata itu.
Hatinya sudah terisak sedari tadi tanpa ia sadar ingin pergi menumpahkannya. Vierra sadar jikala perjuangan Farah lebih besar untuk Hasta. Rapuh sudah keyakinan dan kepercayaan diri. Hasta sudah terbiasa dengan Farah yang selama ini bersama, dirasa tidak ada lagi tempat untuknya, tidak ! tetapi memang tidak pernah ada.
"Farah aku ketoilet dulu ya," pamitnya yang dirasa situasi sudah kembali normal. Farah hanya mengangguk dan tersenyum melihat Vierra. Vierra lalu berjalan keluar tetapi ditengah pintu langkahnya terhenti karna Farah yang memanggil namanya.
"Vierra!" gadis itu menoleh pada Farah, ia tersenyum dengann perasaan lega sambil berujar "Terimakasih ya" katanya lirih.
Sontak senyuman hangat dari Vierra, lalu memutar kembali tubuhnya pergi dengan sedikit berlari. Matanya sudah berkaca ingin mengeluarkan semua yang terbendung tapi ia tahan sampai ditoilet nanti.
Setelah sampai, ia memasuki toilet. Ia memasuki salah satu ruang toilet kecil yang berjejer. Ia menutup mulutnya dan terisak tertahan.
"Tuhan, rasanya sakit banget." Batinya memberontak.
Sakit rasanya seperti terhunus pedang tepat dijantung. Perih ia rasakan bagai tersiram air garam. Nelangsa rasanya bagai ditinggalkan induk sipelindung. Rasa yang pernah ada pertama kali, namun pertama kali pula ia jatuh dengan awalan yang menyakitkan tanpa dirasa akhirnya akankah menderita. Bagaimana bisa ia pergi dengan rasa sakit tanpa niatan bahagia yang ia khayalkan kemarin.
***
Saat ini, Vierra sedang berjalan dilorong sekolah. Wajahnya datar dengan sedikit menyemburatkan kerapuhan, tatapan kosong dan tujuan tidak jelas. Sakit dihatinya sudah ia tumpahkan tetapi sisa perihnya masih terasa. Harapan terasa pupus saat ini, luapan emosi ingin kembali ditumpahkan dengan pelukan hangat dari seseorang. Suara gaduh para siswa seperti melodi mellow dengan alunan biola.
Tiba-tiba, tanpa sadar seseorang yang tengah berlari menggubrak tubuh rapuhnya membuat badan kehilangan keseimbangan. Gadis itu tersadar penuh. Bokong terasa sakit dengan nyeri dikepala serta area badannya.
Pemuda yang telah menabrak Vierra langsung mengambil penuh tangan Vierra, gadis itu memberontak ketika lengannya ditarik dengan paksa. Erat tarikan itu tidak bisa ia tepis. Ia hanya mengikuti pemuda itu berlari dan bersembunyi. Mereka mengambil tempat sembunyi pada ruang gudang yang lusuh dan kotor tanpa dikunci. Mereka membenamkan diri pada tumpukan kardus. Gadis itu menggeram tertahan. Dia sedikit heran dan marah dengan keikutsertaannya pada masalah pemuda itu.
Saat beberapa anak laki-laki berlari dan seperti mencari seseorang, akhirnya dia tersadar kalau pemuda ini bersembunyi dari kejaran mereka.
Vierra ingin pergi tetapi sebuah tangan semakin mengeratkan pegangannya pada lengan Vierra. Picingan tajam mata Vierra berhasil membuat pemuda itu melirik padanya dan saling menautkan pandangan. Dengan jelas Vierra melihat wajah pemuda didepannya, ia teringat dengan pemuda yang membantunya masuk dari tembok belakang sekolah. Picingan mata berubah menjadi pelolotan heran. Disisi lain, mata laki-laki itu hanya menampilkan guratan teduh dengan senyuman kecil. Pelolotan mata Vierra membuatnya senang karna gadis itu pasti mengingatnya.
"E..llo". ujarnya tanpa suara. Pemuda itu hanya menampilkan senyuman kecil tapi gagah terlihat.
Beberapa pemuda yang mencari telah pergi karna tidak menemukan apapun. Pamuda itu melirik kearea luar untuk memastikan situasi aman. Akhirnya, pemuda itu membangunkan tubuhnya serta melenggokkan punggungnya kekanan dan kekiri untuk meregangkan otot sendi.
Vierra masih berjongkok dan melihat aksi pemuda itu. satu helaan nafas kasar terdengar dan sepenuhnya memandang sinis pemuda itu. Vierra membangunkan tubuhnya dan mulai bersiap untuk melontarkan kekesalannya.
"Eh curut, kena-," kata-kata yang disemburkan Vierra terpotong dengan sentuhan jari telunjuk dibibir yang tiba-tiba membuatnya terhenti dan melotot.
"Diem dulu, sebelum lo marah-marah, gue mau ngomong duluan. Kita kenalan dulu ya, nama gue 'Julian Nadi Anggara', terserah lo mau panggil apa aja. Kita udah pernah ketemu kemarin pas telat, gue yakin lo pasti inget gue. Gue minta maaf karna bawa lo kemasalah gue tanpa izin. Gue sangat minta maaf! Dan terakhir kenapa mata lo merah?" Ungkapnya menjelaskan dengan telunjuk masih bertengger di bibir Vierra.
Dengan sadar, Vierra menepis tangan pemuda itu, tetapi pertanyaan dikalimat terakhir membuatnya mengusap matanya kasar menghilangkan bekas tangisannya.
"Siapa yang nangis! Ini kemasukan debu aja pas sembunyi ditempat seperti ini" Ujarnya tidak terima.
"Lo nangis?" ungkapnya melihat lekat mata Vierra. "Siapa yang bikin lo nangis?" imbuhnya dengan menatap dalam Vierra.
Gadis cantik itu larut kedalam tatapan hangat pemuda itu, seketika ia sadar ia membuang tatapannya kearah lain dan berujar "Bukan urusan lo!" Sinis Vierra. Angga menghela nafasnya dan mengangguk mengerti. "Ok. Kalau lo gak mau cerita,"