Dor! Dor! Dor!
Suara tembakan terdengar nyaring, ketika peluru dilesatkan dari pistol. Seorang pria gagah, dengan setelan baju tentara, berdiri menatap lurus ke depan dengan mata yang agak menyipit.
Mengarahkan pistolnya ke boneka jerami yang dilengkapi dengan kantung berisi cairan merah seperti darah. Sekali lagi pria itu melesatkan tiga anak pelurunya dan tepat mengenai kantung yang melekat di boneka jerami.
John Miller, panglima tentara yang siap mengorbankan nyawanya demi membela negara tercintanya, Brazil. Bentuk tubuh yang besar berotot, wajah yang tegas dan berwibawa, membawa segala jenis senjata api di seluruh bagian tubuhnya. Panglima Angkatan Darat, John Miller.
"John, kita akan melakukan ekspedisi ke Kota Favela." Ucap seorang wanita dengan baju tentara lengkap.
"Tentu, Jennifer." John berjalan dengan Jennifer dan satu orang lagi yang berada di kedua sisinya. Banyak kadet tentara yang mereka lewati, memberikan hormat kepada mereka. Mereka merupakan orang yang paling di hormati.
Jennifer Nessy, seorang tentara wanita yang khusus ditugaskan untuk membantu pasukan militer menyelamatkan orang-orang di daerah terpencil, dan bertugas merawat kadet tentara yang terluka. Jennifer dan John serta Theo selalu melakukan ekspedisi bersama.
Theo Yamashita, pria blesteran Jepang-Brazil, merupakan sahabat John sejak menjadi kadet dulu. Keahliannya menggunakan shotgun sangat berguna saat perang berlangsung, dan keahlian komunikasinya dengan orang-orang sekitar membuat Theo menjadi salah satu tentara yang di gemari.
"Aku sungguh tidak sabar untuk datang ke Kota Pavela!" Celetuk Theo yang sedang membaca buku tentang komunikasi miliknya.
"Yang benar Favela, bukan Pavela!" Ucap Jennifer sambil melempar kulit kacang ke arah Theo.
"Sama saja, sama-sama kota yang akan kita kunjungi nanti." Theo memutar bola matanya malas menanggapi tentara cantik yang satu ini.
"Pastikan semua kadet telah di vaksin agar terlindung dari virus atau penyakit menular lainnya. Kalian juga jangan lupa," ucap John yang tengah berdiri menatap langit di luar tendanya.
"Dirimu sepertinya tidak perlu vaksin John. Tubuhnya sangat besar, nanti jarumnya bisa patah." Jennifer berucap sambil tertawa bersama Theo. John menatap sekilas dua sahabatnya itu lalu menggelengkan kepalanya. "Bagaimana bisa orang seperti mereka bisa masuk ke militer?"
****
"Selamat pagi Mr. Miller," ucap seorang kadet yang sedang berlari pagi.
"Selamat pagi, sendirian saja?" Jawab John yang sedang pemanasan, bersiap untuk menerjang tingginya bukit.
"Tidak, temanku ada di belakang. Excuse me Mr. Miller." Kadet itu berlari meninggalkan John sendiri.
Jam masih menunjukkan pukul empat pagi, namun para kadet tentara itu sudah mulai berlari dan bersiap berlatih untuk ekspedisi. Para kadet sangat dilatih ketat dan diwajibkan untuk disiplin serta sehat. Jika ada kadet yang sakit, maka akan di pulangkan dan tidak diizinkan untuk ikut ekspedisi ke Kota Favela.
Tak lupa, John berdoa terlebih dahulu agar ia tetap terlindung dari segala mara bahaya. John lalu mulai berlari menanjak ke arah bukit. Dirinya selalu berdoa untuk meminta perlindungan. Dirinya tidak takut, hanya saja dirinya ingin jika setiap langkah yang pria itu ambil, selalu di berkati dan di lindungi oleh tuhan.
John melewati jalan setapak yang sudah biasa ia pakai untuk berlatih. Diterpa hawa dingin dari bukit, dan ditemani suasana mencekam nan gelap. John Miller terus berlari tanpa memperdulikan apa pun lagi.
Sedikit lagi John akan mencapai puncak bukit. Tinggal melewati sedikit tanjakan lagi dan.... Pemandangan indah sudah tersaji di depan mata John. Pemandangan yang selalu ia impikan, matahari terbit di atas bukit dengan awan yang mengelilingi tubuhnya. Ini pertama kali cuacanya begitu bagus, biasanya selalu ada kabut yang menutupi matahari.
John mengambil ponselnya lalu memotret pemandangan yang ada di hadapannya. John tersenyum lalu mengirimkan foto itu ke seseorang, 'Senorita'. Begitu dia menyimpan kontak orang itu. John memutuskan untuk duduk dulu bersantai, meminum air yang ia bawa dan menikmati pemandangan langka di atas bukit. Perlahan, matahari mulai naik semakin tinggi dan terbit sempurna.
****
"Dimana John?" Tanya Jennifer yang sedari tadi mondar-mandir mencari keberadaan John.
"Hei kau! Apa kau melihat Mr. Miller?" Tanya Jennifer pada seorang kadet yang berlalu.
"Tadi pagi aku melihat Mr. Miller lari ke arah bukit. Mungkin dia masih dalam perjalanan untuk kembali," jawab kadet itu.
"Yasudah, kau boleh pergi." Kadet itu memberikan hormat kepada Jennifer sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya.
"Sebenarnya apa yang dilakukan John saat ini?"
"Hei, Jennifer!" Theo tiba-tiba sudah ada di belakang Jennifer dengan senyum cerah khasnya.
"Apa?" Tanya Jennifer kasar.
"Kau mencari John, kan? Aku tahu dimana pria itu." Theo menaik turunkan alisnya dan mengedipkan matanya.
"Cepat beritahu aku dimana John!"
"Dia ada di bukit, bukan kah tadi sudah diberi tahu oleh kadet itu?" Theo tertawa melihat ekspresi kesal Jennifer.
"John benar, harusnya orang aneh seperti mu, tidak lolos seleksi militer!" Jennifer berlalu meninggalkan Theo yang masih tertawa.
"John!" Pekik Jennifer saat melihat John yang tengah mengelap keringatnya.
"What?" John berbalik dan menghadap Jennifer.
"Kita harus mempersiapkan segala kebutuhan yang akan kita bawa ke Kota Favela, John. Kadet juga membutuhkan instruksi mu untuk bergerak."
"I know, aku sudah menyuruh mereka untuk mengerjakan pekerjaan mereka sesuai dengan tim yang telah dibentuk. Aku juga akan memberikan instruksi setelah ini. Kau tenang saja, semua akan beres jika bersamaku." John berucap sambil memasang perban di sekeliling perutnya. Keren, kata John jika dia memakai perban itu.
"Terserah! Enyah lah bersama perban bodoh mu itu!" Jennifer berbalik dan menendang tulang kering John.
Para kadet yang melihat ikut meringis, merasakan sakit yang di alami John. John mencoba untuk tidak merintih di depan para kadet dan masuk ke dalam tendanya.
"Fuck! It's hurt so bad. Shh..." John mendesis pelan dan memijit tulang keringnya.
"Hei, what's up?" Theo datang dari belakang Jhon.
"Hei, Theo." John masih memijit kakinya.
"Ada apa dengan kaki mu?" Theo duduk dihadapan John.
"Dia menendang ku."
"Jennifer? Haha..." Theo terkekeh akibat penuturan John.
"Wanita gila," ucap John yang masih kesal.
"Ayo, kita persiapkan semuanya dan segera berangkat ke Kota Favela." Theo keluar dari tenda.
John berdecak dan mengambil tasnya.
"John, kita akan sarapan dulu sebelum pergi. Bersiap lah, jangan lama!" Ucap Theo sebelum benar-benar pergi.