"Oh tidak!" Ucap Theo dalam hati.
Theo berbalik menghindari wanita itu.
"Theo!" Terlambat. Wanita itu sudah terlanjur melihat Theo dan memanggil nama pria itu.
"Oh, hai." Theo menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"Why you look so panic? It's just me, not a monster." Wanita itu terkekeh melihat tingkah Theo.
"Ah, tentu saja kau bukan monster. Seorang bidadari mana mungkin bisa disamakan dengan monster. Apa yang kau lakukan di sini, Nona?" Tanya Theo.
"Nona? Hei, kita sudah berteman lama. Aku datang kemari untuk meneliti tentang virus yang melanda desa ini." Wanita itu melihat-lihat sekitar.
"Jangan-jangan, kau adalah panglima tentara yang dibicarakan oleh temanku?"
"Panglima? Maaf saja, tapi pangkatku hanya tentara biasa, bukan panglima." Theo merangkul wanita itu, sangat akrab.
"Aku pikir jabatanmu sudah naik. Sudah empat tahun kau menjadi tentara, haha."
"Diam, dasar sombong! Kau pintar dan genius, apalah daya ku yang hanya bergantung pada kekuatan serta keberanian. Otakku sudah lama tidak berfungsi."
"Mau ku operasi agar bisa kembali berfungsi, hm?" Wanita itu menggenggam tangan Theo, sangat akrab.
"Jika kita bergandengan seperti ini, aku pikir akan ada yang cemburu. Dan nyawaku akan terancam bahaya," ucap Theo.
"Ah, kau benar. Dimana dia?" Wanita itu tak terlihat bersemangat.
"Tentu saja di tenda, mau ku antar menemuinya?"
"Tak usah, aku akan menemuinya nanti. Antar aku ke tendaku."
Theo pun mengajak wanita itu ke dalam tendanya. Membantu menata barang yang dibawa wanita itu.
"Aku akan meninggalkan mu sekarang. Keluarlah untuk makan malam, jangan terlambat."
"Iya aku tahu, Pak tentara." Wanita itu terkekeh geli.
"Huh, dia tidak berubah sedari dulu. Theo tetaplah Theo yang gila, sedikit canggung."
"Hei Dokter sombong!" Bianca sudah berkacak pinggang di pintu tenda.
"Hai, Bianca. Aku merindukanmu!" Wanita itu berlari kecil ke arah Bianca. Dengan cepat Bianca mencegah wanita itu dan menahan kepala nya.
"Kau! Apa maksudmu mengirimkan file itu?"
"File? Owh, file merah muda? Aku hanya diperintah oleh atasan saja, aku pun tidak tahu apa isinya. Memang apa isinya sehingga membuatmu marah seperti itu?" Wanita itu mengajak Bianca duduk di kursi yang sediakan di sana.
"Pernyataan cinta dari atasan sialan mu itu! Aku pikir itu sangat penting, aku mencuri waktu untuk membukanya."
"Hahaha, aku penasaran bagaimana reaksimu. Sungguh Bianca, atasanmu itu sungguh gila." Wanita itu tertawa sambil memukul lengan Bianca.
"Aku langsung melempar laptopku ke tempat tidur. Untung saja masih bisa berfungsi dengan baik."
"Dia menyatakan cintanya dengan wajah yang sok tampan. Membawa bunga tulip layu yang jelek. Memakai kaca mata kebesarannya."
"Ppfftt-- bwahahaha. Bianca... Bwahahhaa. Maafkan aku.. tapi itu sangat lucu astaga!"
"Diam! Atau ku hajar kau di sini sekarang!"
"Test, Sorn Bianca"
"Ahh, panglima itu memanggilku. Aku pergi dulu, istirahat saja dulu. Nanti aku akan memanggil mu saat waktunya makan malam."
Bianca menepuk pucuk kepala wanita itu lalu keluar dari tenda wanita itu.
"Ada apa Mr. Miller?"
"Ada pasien baru yang berasal dari desa Kali. Desa itu terletak di bawah bukit."
"Ada pasien lagi? Bukan kah seluruh warga di desa Bari sudah sembuh?"
"Aku juga tidak mengerti, sekarang tolong kau tangani dulu para pasien. Aku akan pergi ke desa Kali bersama Theo."
"Mr. Yamashita pergi dengan Mrs. Nessy ke kota untuk membeli bahan makanan bersama istri kepala desa. Kau harus pergi sendiri kali ini."
"Baiklah, tolong kau urus semuanya."
"Hmm, berhati-hatilah."
John akhirnya memutuskan untuk pergi ke desa Kali seorang diri. Letaknya tak begitu jauh dari desa Bari. John cukup berani untuk menjelajah desa pedalaman seorang diri. Tak lama kemudian, John akhirnya sampai di Desa Kali.
"Jadi ini desa Kali?"
John terus berjalan, sampai akhirnya dia bertemu dengan seorang ibu tua yang sedang memberikan putranya makan.
"Permisi Nyonya, perkenalkan saya John Miller. Saya adalah panglima tentara yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus virus di desa Bari," kata John.
"Ahh, jadi kau tentara yang ramai dibicarakan itu? Benar tidak?" Tanya Ibu itu.
"Mungkin saja, itu aku."
"Ada apa Tuan? Ingin menanyakan apa? Biar aku yang akan menjawab semua keresahanmu, tuan."
"Aku ingin bertemu dengan kepala desa, Desa Kali. Bisakah Nyonya memberitahuku dimana letak rumah kepala desa?"
"Tentu, tinggal ikuti saja jalan setapak kecil di pinggir sungai, hingga ke hilir. Di sana kau akan melihat ladang gandum yang sangat luas. Di sanalah rumah kepala desa," ucap ibu tua itu.
"Aku saran kan kau kembali lagi besok bersama temanmu yang lain. Kau tidak boleh hanya diam jika melewati jalan setapak itu."
"Mengapa demikian?"
"Rumor mengatakan, jika di sana ada sekelompok setan yang membenci keheningan. Maka dari itu, kepala desa melarang setiap orang untuk datang ke rumahnya sendirian."
John berpikir dua kali untuk datang sendiri menemui Kepala Desa Kali. Dia hanyalah pendatang yang memang diwajibkan untuk menghormati kepercayaan warga.
"Baiklah Nyonya, terima kasih atas bantuan mu. Kalau begitu aku permisi dulu." John lalu kembali lagi ke desa Bari untuk mengajak Theo ke Desa Kali.
"Dasar pria bodoh, mau saja dia dibohongi," ucap wanita tua itu sambil terkekeh.
"Mr. Miller, cepat sekali kau datang. Sudah selesai urusanmu?" Tanya Bianca.
"Belum, seseorang melarangku pergi kesana seorang diri. Aku harus mengajak Theo kali ini," jawab John.
"Bagaimana jika pergi dengan temanku saja? Kebetulan, dia lah dokter yang seharusnya kau jemput itu," kata Bianca sambil meracik beberapa obat.
"Tentu, jika dia tidak keberatan. Aku rasa Theo dan jennifer akan lama."
"Temui saja dia di tendanya. Dia baik hati."
John mengangguk lalu mengikuti saran Bianca. Pergi ke tenda seorang dokter yang dimaksud.
"Excuse me, adakah orang di dalam sini?" John mengendap-endap di depan tenda.
"Kalau begitu aku akan masuk saja." Tanpa jawaban lebih lanjut dari pemilik tenda, John memberanikan dirinya masuk kesana.
"Wow, it's huge. Benar-benar jauh berbeda dengan tenda yang aku diami bersama Theo dan Jennifer."
John memperhatikan sekitar, sampai seorang wanita yang tertidur di atas meja menyita perhatiannya. Wanita itu membenamkan kepalanya diatas tangannya yang terlipat di atas meja.
"Haruskah aku bangunkan dia? Aku harus! Semakin cepat semakin baik!"
John mengumpulkan keberaniannya menyentuh bahu wanita tersebut. Biasanya dia akan langsung to the point menyebutkan apa yang ia inginkan.
Namun, ketika melihat wanita itu nyalinya mendadak ciut. Rasanya sama seperti ketika ia berhadapan dengan istrinya.
"Nona," John menepuk pelan bahu wanita tersebut.
"Ngghhh," lenguhan panjang keluar dari mulut wanita itu.
"He'em, ada yang ingin aku sampaikan. Bangun lah sebentar," ucap John. Memasukan tangannya ke dalam saku celana, dan berdehem singkat.
"Ngghh, siapa yang berani membangunkanku?" Wanita itu mengangkat kepalanya, memperlihatkan punggungnya yang ramping tertutup rambut hitam panjang indah.
"Suaranya familiar di telingaku." Ucap John dalam hati.
"Selamat siang, Nona. Aku John Miller panglima tentara yang bertugas di sini. Aku ingin meminta bantuan mu."
"Huh, baiklah apa?" Wanita itu menjawab tanpa menoleh ke arah John. John pun bingung karena menurutnya sangat lah tidak sopan jika ada seseorang yang sedang berbicara padamu, tapi wanita itu malah memunggunginya.
"Maaf, tapi bisa kah kau menghadap ke arahku? Sangat tidak nyaman jika aku bercakap dengan punggung mu."
"Tunggu sebentar Tuan, aku akan menghadapmu setelah menyelesaikan ini. Tunggulah sebentar," ucap dokter itu.
"Tapi aku buru-buru, setidaknya jawab kau bisa membantu ku tidak?"
Geram, John memutar paksa kursi yang diduduki dokter itu. John membeku ketika wajah cantik dokter itu terlihat jelas di matanya. Mata mereka saling bertemu, menyalurkan rasa rindu yang selama ini mereka tahan.
Dokter itu, satu-satunya wanita yang selama dua tahun terakhir berhasil menghuni hatinya. Menutup rapat semua jalan masuk untuk wanita lain yang ingin masuk ke hati John. Mengunci dari dalam, dengan pesona dan daya tarik yang ia miliki.
"My Senorita..."