Menatap langit yang dipenuhi bintang, tak kunjung membuat John tenang. Seperti yang diketahui, banyak hal yang harus John pecahkan di ekspedisi kali ini. Penyebaran virus kian melonjak drastis dan menyerang seluruh warga hampir di ketiga desa. Para tenaga medis sudah dikerahkan untuk membantu para warga.
Sudah seminggu lamanya, pembangunan di Desa Bari di hentikan sementara. Penduduk Desa Bari kian menipis seiring waktu berlalu. Penyebaran virus tidak bisa di cegah dan tak ada obat atau ramuan yang bisa menghentikan replikasi virus.
Bahkan Profesor Bald sudah ikut turun tangan mencegah penyebaran virus bersama anak buahnya. Hari demi hari berlalu, Desa Bari perlahan menjadi desa yang benar-benar seperti kota tua. Tak terurus juga tak berpenghuni. Seluruh penduduk Desa Bari yang tersisa hanya sekitar 70 jiwa saja.
"Sepertinya kau sangat lelah, John. Tidur lah, aku akan menemanimu di sini," ucap Maria yang menghampiri John.
"Aku tidak lelah, hanya ingin menenangkan pikiran saja. Lebih baik kau saja yang kembali ke tenda mu dan beristirahat. Seharusnya kau yang paling lelah." John menangkup kedua pipi Maria.
"Tidak, kemari aku akan menyanyikan lagu tidur untukmu."
Maria menarik tangan John, duduk di atas rumput dan membiarkan John meletakan kepalanya di paha wanita itu. Maria mengusap kepala John dengan lembut sambil bersenandung pelan. Semilir angin mengundang kantuk bagi John. Tak terasa John pun terlelap di pangkuan wanita yang ia cintai.
Wanita kedua yang ia cintai setelah ibunya. Wanita pertama yang membuatnya jatuh cinta dan merasakan apa itu makna cinta yang sebenarnya. Wanita yang selalu menghantui pikirannya selama mereka berdua terpisah. Tak terbayang bagaimana kehidupan John bila Maria tidak hadir dalam kehidupannya.
John hanya akan menjadi seorang tentara yang sibuk mengurusi urusan negara dan tak memiliki waktu untuk memikirkan tentang percintaan. Banyak wanita yang mencoba mendekatinya, bahkan putri dari walikota juga pernah mendekatinya. Tapi ini John, seorang lelaki yang hanya fokus kepada tujuannya. Yaitu menjadi tentara yang hebat untuk negara tercintanya.
Hingga suatu malam, pertemuan dua pihak keluarga mengubah segalanya. Mengubah pola pikir, prinsip, serta tujuan hidup John. Malam dimana ia bertemu dengan Maria Shandi, putri dari profesor ternama di Panama. Perbincangan mengenai perjodohan yang pada awalnya ditolak mentah-mentah oleh Maria dan John. Namun pada akhirnya merekalah yang membuat pernikahan ini terjadi. Sebuah lentera terang menerangkan jalan pikiran keduanya untuk bersatu.
"John, apa kau sudah tidur?" Tanya Maria tanpa menghentikan usapan tangannya di kepala John.
John yang merupakan panglima tentara dan diwajibkan waspada di segala situasi langsung membuka matanya dan duduk tegap. Mata John yang berwarna cokelat gelap meneliti sekitar, mencari jika ada musuh yang mengintai dirinya. Maria terkekeh karena ulah John. Niatnya hanya bertanya karena John tidur dengan senyuman yang merekah indah. Maria pikir, John senang mendengar nyanyian Maria.
"Ada apa, Maria?" Tanya John.
"Tidak ada apa-apa John, aku hanya bertanya. Lagi pula kau tidur dengan senyuman merekah, apa yang kau impikan?" Tanya Maria sambil mengacak rambut John.
"Dirimu, My Senorita." John berucap dalam hati dan menatap lekat mata Maria.
"Hei, kenapa diam? Jawab!" Pekik Maria dengan pipi yang sudah merona.
"Apa kau demam? Wajah mu memerah. Ayo kita kembali ke tenda, cuacanya sangat dingin di sini."
"Tidak John, bukan itu. Sudah lah lupakan, aku nyaman berada di sini."
"Sungguh? Kalau begitu, kenakan jaket milikku. Ini bisa mencegah cuaca dingin agar kau tidak demam. Pakai lah." John menutup tubuh mungil Maria dengan jaket tentaranya. Memeluk Maria dengan sebelah tangannya dan membiarkan wanitanya menyenderkan kepala di bahunya.
Cozy. Harusnya kata ini cocok untuk mendeskripsikan situasi yang dialami John dan Maria. Keduanya begitu terhanyut dalam suasana. Setelah dua tahun pasangan suami istri itu akhirnya bisa kembali menikmati masa-masa pernikahan mereka yang sempat tertunda akibat pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Secara kebetulan, mereka berdua dipertemukan lagi di dalam kasus yang sama.
"Kau..." Keduanya berucap bersamaan.
"Kau duluan," kata John mempersilahkan Maria untuk mengutarakan pendapatnya terlebih dahulu.
"Tidak, kau saja." Tolak Maria.
"Bagaimana perasaanmu setelah dua tahun lamanya kita tidak bertemu, dan akhirnya kita bertemu di situasi dan tempat yang tak terduga?" Tanya John sambil setia merangkul bahu Maria.
"Hmm, aku terkejut, takut, dan juga senang. Sebelum bertemu denganmu, aku bertemu dengan Theo terlebih dahulu. Seminggu setelahnya, kau datang menghampiriku ke tenda ku. Aku takut kau akan marah jika kau tahu aku di sini tapi tidak memberitahumu. Tapi di sisi lain aku juga senang," jawab Maria.
"Apa yang membuatmu begitu takut menghadapi ku sebelumnya?"
"Aku takut kau masih benci padaku."
"Benci?"
"Bukankah kau membenci ku? Aku menolak perjodohan ini dan sekaligus menolak cintamu. Tapi pada akhirnya akulah yang menderita karena sejak saat kau meninggalkan rumah, perlahan hatiku terbuka untukmu. Aku takut kau membenci diriku dan tak mau menerimaku sebagai istrimu lagi."
"Siapa yang membencimu? Justru selama ini sepertinya aku yang paling menderita karena dua tahun lamanya, tanpa henti aku hanya memikirkan tentang dirimu. Kau menjawab singkat pesanku dan itu membuat ambisiku melonjak pesat karena keinginanku untuk memilikimu. Aku mencintaimu, Maria. Selalu mencintaimu selamanya. Hanya kau, hanya kau yang bisa mengisi hatiku. Dengan semua alasan itu, bagaimana mungkin aku bisa membencimu?" John memutar tubuh Maria agar menghadap ke arahnya, memegang erat pundak wanitanya.
"John..."
"Aku tidak butuh ketakutanmu di dalam hubungan ini. Aku mau kau dan aku, kita bisa menjalin bersama rumah tangga kita dengan harmonis. Jikalau seandainya suatu saat nanti aku menyakitimu, ambilah shotgun milik Theo dan bunuh aku lalu menikah dengan Theo. Hanya Theo lah yang pantas bersamamu setelah diriku, Maria."
"Aku tidak akan pernah menyentuh shotgun milik Theo. Karena aku yakin bahwa kau tidak akan menyakitiku atau mengkhianati cintaku. I love you, John."
"I love you too, Maria." John mengecup lama kening Maria. Mereka berdua saling menatap dan tersenyum. Cinta murni terpancar di bola mata kedua pasangan itu.
"Ngomong-ngomong dimana cincinmu, Maria?" Tanya John.
"Di jariku tentu sa-" Maria dikejutkan dengan ketiadaan cincin pernikahan yang diberikan John.
"Tidak mungkin, aku selalu mengenakannya di jariku. Dimana dia?" Maria berdiri dan mencari di sekitaran sana.
"Sudah lah, Maria. Aku bisa membelikanmu cincin yang baru. Tenang lah."
"Tidak! Mana mungkin aku bisa membiarkan cincin pernikahan kita hilang begitu saja! Mungkin bagi dirimu itu adalah hal yang biasa saja, tapi bagiku itu sangat berharga. Ayolah cincin jangan bersembunyi." Maria terus mencari kesana-kemari cincin pernikahannya yang hilang.
John terkekeh geli melihat kelakuan Maria yang menurut John sangat menggemaskan. Maria sadar jika John menertawainya dan menghampiri John dengan raut wajah kesal.
"Kenapa kau tertawa ke arahku? Apakah lucu melihat istrimu kewalahan mencari cincin pernikahannya yang hilang? Setidaknya peka lah sedikit dan bantu dia menca-"
Maria menghentikan omelannya saat John mengangkat tangannya. Memperlihatkan cincin yang begitu familiar di matanya.
"Aku melihat kau menaruh cincin ini di dalam mobil Jeep milik Theo. Aku mengambilnya dan berniat mengembalikannya nanti setelah aku bertemu denganmu. Tapi aku memutuskan untuk tidak mengembalikannya karena kupikir ini tidak berharga untukmu."
"Kau sungguh jahat!" Maria berdiri membelakangi John dan melipat tangannya di depan dada. Maria tak menyangka jika John akan tega mempermainkan perasaan Maria.
"Jika kau menginginkan cincin ini, maka berbalik lah ke arahku dan turuti permintaanku." Ucap John.
"Ambil saja dan simpan untuk dirimu! Aku punya cukup uang jika hanya digunakan untuk membeli sebuah cincin berlian asli!"
"Aku tidak akan menyimpannya untuk diriku sendiri. Aku akan memberikan ini untuk Jennifer."
"Berikan saja, terserah padamu!"
"Baiklah." John berbalik dan hendak melangkah pergi.
"Tu-tunggu! Jennifer tidak mungkin mau menerima cincin pernikahan kita! Lebih baik kau belikan saja yang baru untuknya!"
"Tidak, kau tahu Maria? Jennifer mau melakukan apa pun yang aku suruh demi mendapatkan cintaku." John berucap dengan senyum smirk khasnya.
Maria dengan wajah Panik mencoba berpikir apa yang harus ia lakukan agar bisa mengambil cincinnya. Ia tak menyangka jika John benar-benar akan menyerahkan cincin itu untuk Jennifer.
Sepertinya rencana John untuk menaklukan Maria malam ini berjalan sesuai rencana. Lihatlah wajah Maria yang menandakan jika wanita itu sedang mempertimbangkan sesuatu. Dilihat dari jarinya yang bergerak gelisah dan matanya yang berkedip cepat.
"Bagaimana Nona?"
"Baiklah! Aku akan melakukan segalanya! Kembalikan cincinku!" Kata Maria pada akhirnya.
"Mendekatlah." Tanpa ragu Maria mendekati John yang berdiri tegap nan gagah di bawah cahaya bulan purnama yang terang. John memeluk pinggang ramping Maria. Semilir angin menerpa rambut Maria sehingga terlihat menawan di mata John.
"Be my servant tonight." Ucap John dengan suara seraknya di telinga Maria.
Tak diberikan waktu untuk menjawab, John langsung melahap kasar bibir mungil Maria. John menarik Maria untuk masuk ke dalam tendanya. Dengan penerang cahaya bulan purnama, peluh cinta mereka membanjiri tubuh keduanya.