"Lihat itu!"
"Ada apa?" John menghampiri kadet yang memanggil nya.
Seorang kadet memuntahkan banyak darah sambil bersimpuh dan memegang perutnya. Para kadet lainnya tidak ada yang berani mendekat.
"Kenapa kalian tidak membantunya? Cepat bawa dia ke ruangan isolasi!" Teriak Bianca.
"Baik dokter.!"
Beberapa kadet membantu kadet yang memuntahkan darah menuju ruangan isolasi dan beberapa lagi membersihkan darah yang berserakan. John mendekat dan melihat secara intens darah yang masih berceceran. John mengambil sebuah plastik lalu memasukkan beberapa percikan darah ke dalamnya.
"Tolong ambilkan sirup di laci meja ku!" Perintah Bianca.
Bianca membuka kancing baju kadet itu lalu membersihkan darah yang di keluarkan. Tak berselang lama, tubuh kadet itu bergerak tak teratur atau biasa disebut kejang-kejang. Suhu badannya meningkat dan bibir serta kulitnya memucat. Bianca memberikan sebuah suntikan bius agar kadet itu tidak banyak bergerak. Bianca segera menelphone Theo untuk mengantarkan kadet ke kota.
"Cepat angkat dia! Beritahu Maria aku dan Mr. Yamashita akan pergi ke kota." Ucap Bianca cepat.
"Baik dokter.!"
Bianca memasang selang oksigen dibantu oleh beberapa kadet yang ikut serta bersamanya.
"Apa yang terjadi dengannya?" Tanya Theo namun tetap fokus menyetir di jalanan berbatu.
"Sepertinya dia terjangkit virus. Gejala yang terjadi pada dirinya sama seperti orang-orang yang terkena virus."
"Bagaimana bisa? Bukan kah semua warga yang terjangkit sudah tidak ada lagi di sini?"
"Sebenarnya baru saja aku menemukan virus tersebut di dalam air yang berada di waduk. Mungkin kadet ini meminum air yang ada disana dan tanpa sengaja terinveksi."
"Aku juga meminum air yang ada di sana. Bagaimana ini? Apa aku akan terinveksi?" Tanya Theo.
"Mungkin, bisa kau percepat laju mobilnya?" Tanya Bianca.
Sesuai perintah Theo segera menambah kecepatannya. Theo berkendara tanpa ada kendala sedikit pun walau jalan yang ia lewati sangat rusak. Dua jam perjalanan akhirnya Theo dan Bianca sampai di rumah sakit dan langsung membawa kadet itu masuk ke dalam rumah sakit. Beberapa perawat mempersiapkan brangkar untuk membawa kadet itu ke dalam ruangannya.
"Bianca, ada apa?" Tanya professor Bald yang kebetulan sedang berbincang dengan seseorang di lobby rumah sakit.
"Ada satu pasien lagi yang membutuhkan pertolongan. Dia adalah salah satu kadet," ucap Bianca.
"Cepat bawa dia ke dalam ruangan khusus. Aku akan mengurusnya!" Perintah profesor Bald.
"Terimakasih professor."
Bianca cukup lelah dengan tindakannya selama dua jam berusaha untuk membuat kadet itu tetap bernapas. Membutuhkan kesabaran dan ketelatenan untuk melakukan hal tersebut. Bianca memutuskan untuk menunggu di kursi yang berada di lorong rumah sakit.
"Bianca, apa yang harus aku lakukan?" Tanya Theo dengan tatapan kosong.
"Duduk lah di sini dan tunggu hasilnya. Setelah ini kau kembali lah ke desa, aku akan membantu professor Bald di sini."
"Bukan itu, apa yang harus aku lakukan setelah meminum air yang ada di waduk?" Tanya Theo masih sama dengan tatapan kosong.
"Apa maksudmu?"
"Aku meminum airnya Bianca! Aku tidak ingin mati!" Ucap Theo sambil memelas ke arah Bianca.
"Bagaimana ini?" Lanjutnya lagi.
Bianca tertawa melihat tingkah Theo yang pusing meratapi dirinya. Theo terus saja memijit kepalanya tanpa henti.
"Ahh, sial! Sial! Sial! Sial! Kenapa aku harus mendapat tugas berbahaya seperti ini? Bagaimana jika aku mati? Aku belum menemukan ibu dari anakku, tuhan...." Racau Theo tanpa henti. Padahal misi berperangnya juga sama berisiko dengan misinya kali ini.
"Tenang lah, Mr. Yamashita. Selagi kau bisa berdiri di sini itu artinya kau masih sehat dan belum terjangkit virus. Mulai sekarang tolong pastikan tidak ada lagi yang mengkonsumsi atau menggunakan air di waduk tersebut. Chill," ucap Bianca.
"Chill? Chill kau bilang, huh? Enak saja! Aku akan berhenti menjadi tentara dan menikmati hidup ku sebagai orang biasa saja! Dan aku akan menemukan pendamping hidup ku!"
"Kau yakin, Theo?" Tanya seorang pria yang tinggi dengan setelan jas hitam licin. Di belakang pria tersebut ada seorang pria lagi yang juga memakai jas hitam licin dengan kaca mata.
"Morgan! Sudah lama tidak bertemu!" Pekik Theo lalu segera memeluk Morgan begitu juga dengan Morgan.
"Dia merubah mood nya dalam sekejap? Pria aneh," kata Bianca dalam hati.
"Selamat siang, Mr. Yamashita," sapa orang di belakang Morgan yang tak lain adalah Malik, adik Morgan.
"Hai, Malik! Apa kabarmu?" Tanya Theo.
"Saya baik, tuan." Dengan anggunnya Malik membalas Theo.
"Siapa wanita ini? Sangat cantik, kekasihmu?" Tanya Morgan sambil menatap Bianca intens.
"Morgan?"
"Bukan, dia adalah salah satu dokter yang membantu kami melakukan peyelidikan. Kenalkan, dia Morgan teman ku semasa kadet dulu."
"Senang bertemu denganmu."
"Senang bertemu denganmu."
"Baiklah Theo, aku harus pergi terlebih dahulu. Ada urusan yang harus aku selesaikan."
"Tentu," kata Theo lalu berjabat tangan sebelum akhirnya Morgan pergi dari sana.
"Kak, apa dia dokter yang kau maksud?" Tanya Malik sambil melangkah cepat, berusaha mengimbangi langkah kakaknya.
"Lihat saja nanti, antara dia atau bukan." Morgan tersenyum miring lalu menghilang seiring dengan tertutupnya pintu lift.
****
"Maria, ini darah dari salah satu kadet yang terinveksi," ucap John lalu masuk ke ruangan khusus Maria.
"Letakkan di sana." Maria menjawab tanpa menoleh dan masih fokus dengan cairan yang ada di hadapannya.
"Apa itu?" Tanya John.
"Ini air yang aku teliti bersama Bianca. Benar katanya, virus ini sudah bereplikasi di dalam air yang ada di waduk. Segera peringatkan semua orang agar tidak meminum air itu sebelum ada korban lain!" Perintah Maria.
"Baiklah!" Dengan segera John berlari keluar dan mengumpulkan para kadet.
"Yes sir!"
"DENGAR PARA KADET! AKU TIDAK AKAN MENGULANGI PERKATAAN KU INI! JANGAN MEMINUM ATAU MENGKONSUMSI MAKANAN ATAU MINUMAN YANG BERADA DI SEKITAR WADUK! MASAK MASAKAN DENGAN AIR YANG SUDAH DI SEDIAKAN OLEH PEMERINTAH! LINDUNGI LAH REKAN-REKAN KALIAN!" Teriak John dengan lantang .
"YES SIR!"
"Baiklah, kalian bisa melanjutkan pekerjaan kalian!"
Para kadet kembali bekerja dan melanjutkan tugas mereka. Semua terlihat bersemangat di bawah teriknya matahari dan dalam cuaca panas. Namun, ada satu anak yang terlihat tidak bahagia. Dirinya hanya murung dan memeluk lututnya di balik batu besar.
"Janneth, are you okay?" Tanya seorang laki-laki.
"Ezra, apa yang harus aku lakukan? Teman ku sedang dalam bahaya," ucap gadis yang bernama Janneth.
"Lucy akan baik-baik saja, percaya kan ini semua kepada Dr. Bianca. Ayo kita lanjutkan pekerjaan kita."
Laki-laki itu mengulurkan tangannya untuk membantu gadis itu. Gadis itu hanya menatap tangan laki-laki itu tanpa berniat menyentuh tangannya sedikit pun.
"Kau tidak bisa hanya diam, Janneth. Kau harus mewujudkan mimpimu. Ayo, kita harus berusaha keras!" Perintah laki-laki itu.
"Terimakasih, Ezra."
"Tentu, itu gunanya teman bukan?"
"Mereka mengingatkan ku pada masa kadet dulu. Aku, Theo, dan Jennifer." John tersenyum sambil menggelengkan kepalanya lalu masuk kembali ke dalam ruangan khusus Maria.
"Darah ini mengandung virus yang baru. Virus yang sama namun dengan kemampuan yang lebih bagus dari virus sebelumnya," ucap Maria.
"Apa alasan virus ini selalu bertambah kuat?"
"Mungkin karena suhu dan faktor lainnya. Aku juga belum paham, tapi ada satu hal..." Maria menghentikan perkataannya.
"Ada apa Maria?" John mengerutkan dahinya dan menatap Maria.
"Sudah lah lupakan! Sekarang aku harus cepat-cepat meneliti virus ini lagi. Aku akan pergi ke kota besok bersama Theo. Kau jagalah para kadet jangan sampai mereka terancam bahaya," ucap Maria. Maria lalu membalikan badannya dan menghadap John.
"Tentu saja jaga dirimu sendiri juga. Sepertinya aku akan lama tinggal di kota, karena di sini sangat susah meneliti virusnya. Jangan lupa kau selesaikan urusanmu dengan Desa Kali. Balaskan dendammu yang terpendam, sayang ku." Maria menangkup pipi John.
"Terimakasih karena sudah mengkhawatir kan aku. Kau juga, jagalah dirimu di sana, jangan mengkhawatirkan aku. Mengerti? Aku bisa menjaga diriku sendiri, aku ini panglima tentara yang paling di takuti." Mereka berdua tertawa bahagia lalu memeluk satu sama lain.
Di balik pintu ruangan Maria, ada seseorang yang terlihat tidak senang dengan kejadian tersebut. Dia mengepalkan tangannya dan menatap benci ke arah Maria.
"Lihat saja, huh! Aku akan membuat kalian berdua hancur!" Ucap orang itu lalu pergi.