Chereads / Tentara dan Dokternya / Chapter 9 - Desa aneh

Chapter 9 - Desa aneh

"Aku mengusir warga ku yang terjangkit virus."

"Kenapa?" Tanya Maria.

"Karena aku tidak ingin membuat semua warga di desa ini ikut terjangkit. Sekitar sepuluh orang yang aku usir," kepala desa itu menjawab dengan santai. Merasa sangat yakin jika yang dilakukannya itu benar.

"Tapi harusnya kau melapor ke pusat tentang kejadian ini, Tuan."

"Tidak perlu, lagi pula aku bisa mengurus segalanya sendiri. Pantang bagiku untuk meminta bantuan orang lain."

"Tapi kau harus tetap melapor kepada pemerintah, Tuan. Agar kelak desamu bisa berkembang," kata John.

"Sudah lah, Tuan. Apa yang ingin kau selesaikan di sini sekarang? Jika tidak ada yang ingin kau sampaikan, aku harus pergi. Bukan kau saja yang harus aku urus!" Mendadak kepala desa itu marah.

"Baiklah, santai saja untuk sekarang. Aku ingin bertanya, bagaimana awal mula atau gejala yang terlihat pada orang yang terjangkit?" Tanya Maria.

"Aku melihat mereka kesakitan dan lemas. Aku langsung menyuruh mereka pergi ke Desa Bari, agar mereka dirawat."

"Apa kau memberikan mereka transportasi?" Tanya John.

"Tentu tidak, lagi pula transportasi apa yang harus ku gunakan untuk menuruni lereng terjal? Yang ada supir, transportasi, dan warga ku jatuh. Itu akan menambah kerugian saja."

"Selain gejala tadi, aku ingin bertanya. Apa yang mereka lakukan atau makan sebelum kau melihat mereka dengan gejala seperti tadi?" Tanya Maria. Menyiapkan pulpen dan mencatat semuanya yang dikatakan oleh kepala desa.

"Aku tidak pernah memperhatikan apa yang mereka makan selain makanan yang disediakan di rumahku. Aku sudah memperingati mereka untuk tidak memakan makanan selain yang disediakan di rumah ini. Tapi mereka tetap saja tidak menurut dan memakan sayur yang ada di dekat rumah dukun." Kepala desa itu terlihat terkejut dengan perkataannya sendiri. Seperti ada hal yang ia sembunyikan dari John dan juga Maria.

"Lupakan tentang dukun, di desa kami tidak ada dukun! Sekarang, silahkan kalian kembali ke Desa Bari."

"Baiklah, terima kasih karena telah menjamu kami. Kami mohon permisi," kata John lalu pergi dengan Maria.

****

Bianca dan Theo masih sibuk mengurus pasien yang berasal dari Desa Kali. Penanganan harus cepat, jika tidak maka virus akan kembali menyebar ke seluruh desa dan akan menimbulkan pasien baru lagi.

"Dokter, semua pasien telah aku bawa ke ruang isolasi. Ruang isolasi hanya tersisa tiga, karena sisanya sudah dipakai untuk membuat rumah penduduk," ucap Theo.

"Tak apa, setidaknya mereka di isolasi saja dulu. Tidak ada yang menyangka jika akan datang pasien baru lagi."

Theo mengangguk dan meninggalkan Bianca di tendanya. Bianca sedang meracik obat dari resep yang Maria berikan. Maria sudah sempat meneliti sedikit tentang virus itu.

Setelah beberapa lama, keadaan sudah dapat di kontrol kembali.

Beda dari yang sebelumnya, gejala lain yang terjadi pada pasien lebih parah. Seperti lemas hingga tak bisa jalan, dan gemetar hebat serta kata-katanya tidak bisa dipahami.

Bianca dan Theo sudah bisa bersantai sebentar. Mereka masih tetap waspada, memantau dari luar jendela kamar isolasi.

"Kau tahu John kemana?" Tanya Theo.

"Mr. Miller pergi ke Desa Kali bersama temanku. Omong-omong, apa kalian mengenal teman ku sebelumnya?"

"Siapa temanmu?"

"Maria, Maria Shendi."

"Jadi, Maria adalah sahabat Dokter yang kau ceritakan itu? Wahh, dia adalah sahabatku selama masa kadet. Kami berdua sering menghabiskan waktu bersama."

"Jika Mr. Yamashita adalah teman Maria, maka Mr. Miller juga berteman dengannya. Pantas saja Mr. Miller terlihat sangat akrab bersamanya." Entah kenapa Bianca tersenyum riang.

"Ada apa Dokter?" Tanya Theo yang menyadari perubahan raut wajah Bianca.

"Tidak apa-apa, aku mengingat kejadian lucu tadi pagi," bohong Bianca.

"Apa itu? Ceritakan juga padaku," mohon Theo. Theo menarik kursinya untuk mendekat ke arah Bianca.

"Tapi Mr. Yamashita, aku sudah melupakan kejadian tadi. Aku tidak akan memberitahumu," jawab Bianca.

"Tidak!! Kau sangat jahat!!" Theo menjatuhkan kepalanya, menunduk ke bawah.

Bianca tertawa kecil melihat tingkah lucu Theo. Bianca bertanya-tanya, berapa sebenarnya umur pria yang ada di hadapannya ini.

"Berapa usiamu, Mr. Yamashita?"

"Aku? Dua puluh dua tahun tahun ini. Kau?"

"Aku sudah hampir mencapai masa paruh ketigaku. Dua puluh delapan tahun."

"Wah, usia kita ternyata terlampau jauh. Itu artinya, kau dan John seumuran? Sedangkan kau dan Maria juga terlampau jauh?" Theo membelalakan matanya. Tersenyum kagum dengan teori usia yang menurut Theo sangat menarik.

"Benar Mr. Yamashita. Usiaku dan Maria sangat jauh. Dia sebenarnya juniorku di rumah sakit. Aku lupa bagaimana kami bisa menjadi sahabat."

Bianca dan Theo terus bercakap-cakap sebentar. Hingga matahari mulai turun dan langit kian menggelap.

"Kau mandilah dan istirahatlah terlebih dahulu. Nanti aku akan menemuimu, My senorita." John tersenyum manis di depan Maria.

"Baiklah, kau juga istirahat saja dulu." Maria membalas senyuman John.

John membalik tubuhnya dan melangkah keluar tenda. Sampai di pintu tenda, John berhenti dan berbalik menatap Maria yang sedang berdiri menatap juga ke arahnya.

John kembali lagi mendekatkan dirinya ke arah Maria. Menggapai tengkuk wanitanya, mengecup lembut bibir Maria. Perlahan, kecupan tadi menjadi sebuah ciuman mesra.

"Aku cukup kan kali ini, kita lanjutkan lain kali." John mengacak rambut Maria singkat, membuat Maria tersipu malu. Lalu keluar dari tenda Maria.

"She's crazy." John tersenyum, melompat menampar daun yang tinggi.

"John, astaga!!! Maria tenangkan dirimu!!" Maria terus menasihati dirinya agar tidak terlalu larut dalam perasaannya.

Mereka berdua sama-sama tersenyum girang, menahan malu dan senang secara bersamaan. Maria berteriak tanpa suara di tendanya, sementara John pergi ke atas bukit dimana biasanya ia menghayal tentang Senorita nya.

John membaringkan tubuhnya, menatap ke atas langit melihat bintang. Memejamkan matanya dan membayangkan adegan tadi.

"Hei, Mr. Miller!" Theo datang dan menepuk kepala John pelan.

"Oh, hei Theo." John tersenyum ke arah Theo sebentar, lalu kembali menatap angkasa.

"Kau pasti sudah bertemu dengannya," terka Theo.

"Yes. Jadi, kau sudah tahu jika Senoritaku datang? Lalu kenapa kau tidak memberi tahuku?" Wajah yang awalnya senang mendadak kesal. Theo panik.

"Dengar John! Bukan keinginanku untuk menyembunyikannya darimu! Senoritamu itu yang bilang ingin menemuimu nanti!" Sargah Theo menahan lengan John yang hampir saja memukulnya.

"Jika aku memberitahumu, mungkin kau tidak akan sebahagia ini. Ini kejutan John, Maria menyiapkan kejutan untukmu!" Bisik Theo seakan menghipnotis John.

John menahan emosinya, benar apa yang Theo katakan. Baiklah, hari ini dia akan memaafkan Theo.

"Kau tadi ke Desa Kali? Apa yang kau dapatkan di sana?" Tanya Theo.

"Keanehan," jawab John.

"Keanehan apa lagi? Tapi sepertinya keanehan ini, menjurus ke hal yang buruk," terka Theo sekali lagi. John mengangguk.

"Kepala desa desa itu sangat aneh. Dia seperti memanfaatkan tenaga rakyatnya untuk kepentingannya sendiri. Bahkan kau tahu? Desa itu terletak di dalam rumah kepala desanya yang begitu besar, seperti ada dunia lain di dalamnya. Sudah ku sarankan untuk melapor ke pemerintah tentang kasus virus ini, tapi dia malah menolak. Pantang baginya untuk meminta bantuan pemerintah, katanya." John terus berucap dengan nada kesal.

"Lain kali ingat, ajak aku saja kesana. Biar aku habisi kepala desa itu langsung di depan rakyatnya." Theo yang mendengar saja sudah geram, apalagi John yang harus menghadapi kepala desa gila itu.

"Tadi kau sedang ke kota membeli bahan makanan. Makanya aku ajak Maria."

"Maria? Jadi kalian sudah bepergian berdua? Apa akhirnya kalian berbulan madu setelah lama tertunda?" Theo terus menjatuhi John dengan pertanyaan demi pertanyaan.

"Bulan madu apanya? Kami di sana tersulut emosi, tapi itulah yang membuat kami menjadi lebih dekat."

John dan Theo diam sejenak.

"Aku tadi... Mencium Maria." John tersipu. Begitu juga Theo yang kaget dengan pemberitahuan mengejutkan John.

"Lalu? Lalu? Apa Maria menolak?" Tanya Theo bersemangat.

"Dia terlihat, menikmatinya."

"Astaga!! John!! Kau dasar mesum!!" Teriak Theo.

"Apa salahnya mesum dengan istri sendiri?"

"Kau!! Ternyata kalian liar!! John!!" Theo terus memekik dan memukul lengan kekar John tanpa henti.

Perutnya seakan sedang dihinggapi ribuan kupu-kupu. Theo sangat senang jika mendengar kisah romantis seseorang. Mungkin karena kisah asmara nya sejak kecil tidak pernah berjalan sesuai dengan keinginannya.

"Cukup Theo! Kau sampai menangis."

"Apa boleh buat? Kalian sangat menggemaskan." Theo menggulingkan badannya di atas rerumputan sambil terus tertawa mengejek John.

Laki-laki manis itu terus berteriak dan tertawa girang.