Chereads / Tentara dan Dokternya / Chapter 10 - Jika bukan, lalu apa?

Chapter 10 - Jika bukan, lalu apa?

RIO DE JANEIRO

"Silahkan nikmati teh nya kak," ucap seorang pria dengan setelan jas licin. Duduk menyilang kan kaki di kursi kebesarannya.

"Kak, aksi mu sukses besar. Kau sudah menghasilkan banyak uang dari bisnis ini. So proud of you, hahaha." Seorang pria dengan setelan yang sama ikut tertawa bahagia.

Kantor dengan desain interior yang sangat nyaman. Banyak orang berpesta di dalam sana. Minuman keras, penari telanjang, dan juga pelayan seksi tak terkecuali terlihat di dalam gedung itu.

"Aksi kita waktu itu sangat menyenangkan! Aku bisa menikmati pesta ini!"

"Benar, kak! Kita harus merayakannya sekarang! Kekayaan kita sebentar lagi akan bertambah banyak!"

"Kita bisa mendapatkan uang dari sana. Uang yang tak terhitung jumlahnya."

Ketiga orang itu kembali tertawa bahagia. Pria yang memiliki wajah licik dan smirk khas mafia. Berotak pintar dalam bisnis ilegal.

Morgan Freeman, seorang penyelundup obat-obatan terlarang terkenal di negara Rio de Janeiro. Buronan tentara dan polisi selama bertahun-tahun. Ahli dalam menyamarkan identitasnya. Membunuh lebih dari seratus warga sipil dengan cara yang tak terduga. Tujuannya adalah membentuk pengikut-pengikut baru bagi kepercayaannya.

Morgan beraksi bersama dua saudaranya. Magat Freeman dan Malik Freeman. Mereka bertiga sama-sama licik dan pandai mengelabui orang-orang.

"Jangan memanggil ku tuan, kita adalah saudara. Panggil saja dengan nama."

"Itu hanya candaan Malik, mana mungkin aku benar-benar memanggilmu dengan sebutan tuan," Kata Magat.

"Baiklah."

Ketiga orang itu kembali tertawa. Tawaan jahat yang membuat semua orang yang mendengarnya merasa muak.

"Selanjutnya, kemana tujuanmu, Kak Morgan?" Magat.

"Kota terbesar di Brazil, dan merupakan wilayah metropolitan terbesar ke-7 di dunia. Di sana kita akan membuat kekacauan besar." Morgan tersenyum miring, menyesap rokoknya lalu menghembuskan asapnya ke udara.

"Kota Sao Paulo benar?"

"Yups, Sao Paulo."

"Bagaimana dengan tentara sialan itu?"

"Tentu saja akan ikut hancur bersama dengan kota Sao Paulo. Tidak lupa juga dengan wanita yang selama ini menjadi incaranku."

"Aku dengar, dia saat ini sedang bersama tentara itu," ucap Malik.

"Benarkah? Bagus lah, sekalian saja kita hancurkan mereka berdua. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Bisakah kita berangkat sekarang?" Magat tidak bisa menahan dirinya lagi.

"Tenang Magat, dalam membuat kekacauan kau tahu apa yang paling penting? Persiapan. Jangan terburu-buru dan lakukan saja semuanya dengan tenang, like a river." Ucap Morgan.

****

"Bianca, aku sudah mendapatkan sampel virus. Sekarang aku akan ke laboratorium untuk mengecek virus ini," ucap Maria yang sudah bersiap dengan ranselnya dipundak.

"Baiklah Maria, berhati-hati lah. Dengan siapa kau berangkat?"

"Bersama Theo, dia juga akan mengantar istri kepala desa ke kota untuk belanja bahan makanan. "

Setelah memeluk Bianca, Maria langsung berangkat bersama Theo dengan mobil Jeep kesayangannya.

"Dimana istri kepala desa?" Tanya Maria.

"Dia pergi bersama kadet, aku akan mengantarmu dan menemanimu. Ini perintah John, suami mu." Jawab Theo.

"Apa John akan merindukanku?" Tanya Maria kepada Theo.

"Kenapa? Apa kau mulai mengkhawatirkan perasaannya padamu?" Tanya Theo terkekeh.

"Tenang saja, John akan selalu merindukanmu walau kau dalam dekapannya sekalipun. Kau adalah satu-satunya orang yang ia cintai."

"Benarkah?" Maria menatap Theo dengan mata berbinar.

"Ya, hampir setiap hari selama dua tahun dia selalu bilang bahwa dia merindukanmu. Setiap malam dia akan pergi keluar dan melihat bintang. Bintang itu adalah kau, Maria. Tapi, apa kau sudah mulai jatuh cinta pada John?"

"Ya, sejak aku berpisah dengannya. Memang aku yang menolak perjodohan ini karena aku tidak ingin menikah di usia ku yang masih tergolong sangat muda. Tapi aku juga yang akhirnya menderita akibat ulah ku. Itulah sebabnya aku tidak berani berkomunikasi dengannya."

"Kau menyesalinya, huh? Dasar perempuan! Mementingkan gengsi terlebih dahulu. Membuat pria mengejarnya hingga lelah, tapi saat si pria sudah menyerah selalu merasa seperti orang yang paling tersakiti. Berpikir bahwa perjuangan si pria belum cukup. Aku heran dengan para wanita," ucap Theo sambil menggelengkan kepalanya.

"Kami, para wanita juga bingung dengan para laki-laki! Selalu berpikir jika para perempuan harus selalu berada di rumah! Mencuci baju, membersihkan rumah, merawat anak, dan memasak! Sebenarnya kalian mencari istri atau pembantu? Dasar laki-laki!"

"Apa John memperlakukanmu seperti itu?" Tanya Theo dengan nada serius.

"Tidak, John sangat memanjakanku. Tapi aku yang tidak tahu diri, malah menolak laki-laki baik. John sangat baik, bahkan selama awal pernikahan kami John tidak membiarkanku menyentuh satu pun pekerjaan rumah. Dia yang melakukan semuanya seorang diri."

"Berarti kau bahagia bersama John, right?"

"Sepertinya akan bahagia, karena waktu bersama dengannya sangat singkat. Dia harus melakukan ekspedisi dan juga mengurus kemiliteran. Begitu juga aku yang dua tahun lalu masih sibuk dengan skripsi ku."

Dua jam perjalanan akhirnya Theo dan Maria telah sampai di laboratorium yang terletak di pusat kota. Maria masuk dengan Theo yang mengekor dibelakangnya.

"Wah, jadi ini tempat kerjamu? Sangat mewah," ucap Theo yang kagum melihat megahnya laboratorium itu.

"Tentu gedungnya harus besar, di sini banyak hal sedang di teliti. Mulai dari kloning, penyelidikan fosil, bayi tabung, bakteri dan virus, dan masih banyak lagi. Kau bisa bertemu dengan Dokter dan ilmuwan yang hebat di sini."

"Kau dikelilingi oleh orang yang hebat. Bahkan jodohmu juga merupakan orang hebat."

"Ayo kau juga ikut masuk ke dalam laboratorium."

Maria masuk ke dalam sebuah ruangan. Ruangan itu dibatasi oleh sebuah dinding, Maria memakai jas laboratoriumnya dan memakai masker serta penutup rambut.

"Pakai ini," ujar Maria dan menyerahkan perlengkapan untuk Theo. Maria dan Theo lantas masuk ke ruangan yang dibatasi tersebut.

Di ruangan tersebut terdapat banyak alat-alat yang tidak Theo pahami. Ruangannya sangat dingin dan bersih. Tabung penelitian, mikroskop, suntikan, berbagai cairan dan banyak benda aneh yang lain. Maria meletakan virus itu di sebuah cairan lalu mengamatinya menggunakan mikroskop.

"Apa yang kau lihat, Maria?" Tanya Theo.

"Kemari dan lihatlah virus ini." Maria menyuruh Theo untuk ikut melihat virus.

"Nghh, sangat sulit meneliti virus yang satu ini. Mereka bereplikasi dengan cepat. Tapi... Tunggu..." Maria kembali memerhatikan virus tersebut.

"Ada apa? Apa yang kau temukan?"

"Ini bukan virus, Theo! Makhluk apa ini?" Maria terus memperhatikan virus itu.

"Bukan virus, apa maksudmu? Mana coba ku lihat. Wah, jadi ini tidak termasuk virus?"

"Entah lah, tapi aku rasa ini bukan virus. Kita harus segera memberitahu Bianca tentang ini. Ayo kita kembali ke kota Favela!" Teriak Maria lalu menarik Theo keluar dari ruangan itu. Sebelum itu, Maria tidak lupa merapikan kembali virus-virus yang diteliti serta alat-alat penelitian.

"Baiklah Maria, tapi setidaknya bisakah kita makan sebentar? Aku belum makan siang, aku sangat lemas saat ini." Mohon Theo.

"Maaf Theo, aku lupa. Aku juga belum makan jadi aku akan mengajakmu pergi ke sebuah restoran terkenal di dekat sini. Ayo."

Theo dan Maria naik ke atas Jeep.

"Aku biasanya makan di restoran itu seorang diri karena rekanku tidak pernah istirahat siang. Mereka hanya senang berada di ruangan penelitian dan meneliti virus. Aku selalu sendiri setiap jam makan siang tiba."

"Tapi hari ini kau pergi bersamaku. Kau tidak akan kesepian lagi, Maria."

Akhirnya mereka telah sampai di restoran yang Maria maksud. Restoran bernuansa panas dengan lampu yang remang-remang. Restoran yang khusus menjual makanan khas Brazil.

"Apa yang kau ingin kan, Theo?" Tanya Maria sambil melihat-lihat buku menu begitu juga dengan Theo.

"Aku ingin Vatapa dengan toping Tuna."

"Baiklah, kalau begitu aku ingin... Acaraje saja. Bagaimana jika kita memesan Coxinha juga?"

"Oh, ide bagus!"

Maria mengangkat tangannya ke seorang pelayan dan menyebutkan pesanannya.

"Suasana di sini sangat damai. Bau khas restoran makin membuatnya terasa seperti sedang berada di restoran," ujar Theo dan memejamkan matanya menikmati aroma masakan yang menyebar di seluruh penjuru restoran.

"Kau pikir kita tidak sedang berada di restoran? Ada-ada saja." Maria menggelengkan kepalanya.

Tak berselang lama, pesanan mereka pun datang. Theo terlihat bersemangat melihat pesanannya yang akhirnya sampai.

"Selamat makan!"

"Selamat makan!"