Jam 9.30 a.m.
Mereka baru saja sampai di tempat ekspedisi. Theo mengendarai mobil Jeep nya pelan, sementara itu John dan Jennifer memerhatikan keadaan sekitar yang sungguh memprihatinkan.
Perkampungan kumuh, tidak ada celah diantara bangunan, kurangnya pasokan air bersih, sampah yang menumpuk dimana-mana, para pemabuk yang berlalu lalang bebas di jalanan, dan rumah yang telah usang.
"Wow, lebih parah dari kota ekspedisi kemarin." Jennifer lompat dari mobil Jeep lalu menyapu pandangan ke seluruh sudut perkampungan itu.
"Kita akan memperbaiki kota ini." John berucap dengan percaya diri.
"Let's go!" Dengan antusias ketiga orang itu berjalan menyusuri gang kecil yang sangat sempit. Para kadet ditugaskan untuk mendirikan tenda di lapangan terbuka dan mengirimkan signal berupa laser dengan lambang militer setelah selesai.
Ketiga orang itu terus berjalan perlahan, kondisi Kota sangat sepi. Tak ada orang berlalu lalang disepanjang gang sempit itu.
Grusuk!
Ketiga orang itu menoleh ke belakang dan terkejut karena ada seorang anak laki-laki yang tersungkur di tanah. Anak itu mencoba menahan tangisnya.
"Hei, anak kecil! Siapa kau?" Tanya Jennifer. Anak kecil itu mulai meneteskan air mata akibat gertakan Jennifer.
"Jennifer, C'mon! Itu bukan cara memulai pembicaraan dengan anak kecil. Lihat aku sekarang." Theo mendekat ke arah anak kecil itu lalu membantunya berdiri sebelum berbicara.
"Hei, anak manis." Theo berbicara dengan senyuman manisnya.
"Halo."
"Siapa kau? Dan dimana rumahmu?" Tanya Theo lembut.
"Aku tinggal di sana, aku kemari untuk pulang tapi tak sengaja terpeleset."
"Kevin!" Teriak seorang wanita dengan jas serba putih.
Anak yang berada di gendongan Theo menangis lebih histeris dari sebelumnya.
"Kemari kau anak nakal! Sudah ku bilang untuk tidak menjauh dari ku!" Teriak wanita itu.
"Sepertinya dia bukan ibu dari anak ini. Apa dia ibumu, Nak?" Tanya John dan anak itu menggeleng.
"Kalau begitu..."
"Ayo kabur!" Theo, John, dan Jennifer segera kabur dari perempuan yang sudah bersusah payah mengejar mereka. Theo mengeratkan gendongannya agar anak kecil itu tak terjatuh. John dan Jennifer bersusah payah menyingkirkan semua halangan yang ada di depan mereka.
"Hei kalian! Mau kalian bawa kemana anak itu?" Teriak wanita masih berlari.
"Intinya aku akan menyelamatkanmu anak manis," bisik Theo.
"Hei kalian! Kembalikan anak itu! Dasar penculik!" Wanita itu melepas sandalnya dan melempar tepat ke arah kepala John. John tersungkur dan membuat ketiga orang itu mendadak berhenti.
"Huh, huh. Lepaskan Kevin sebelum aku menghubungi polisi!" Teriak Wanita itu dengan balok kayu yang entah dimana ia dapatkan.
"Sebelum kami memastikan dia aman bersama mu, kami tidak akan menyerahkan anak ini!" Theo tetap setia memeluk Kevin yang menangis.
"Turunkan dia sekarang!" Wanita itu melayangkan balok kayu asal. Theo dan Jennifer berusaha menghindar dari balok kayu yang wanita itu pegang.
"Hei! Kau bisa melukai anak ini!" Jennifer menahan tangan wanita itu kuat, melempar balok kayu mengenai satu kaca hingga pecah.
"Aku tidak akan menyerahkan anak ini kepadamu! Dia bilang kau bukan ibunya!"
"Tentu saja aku bukan ibunya! Aku dokter yang ditugaskan kemari untuk menyembuhkan wabah penyakit kota ini! Dan Kevin adalah salah satu pasien ku yang berhasil sembuh!"
"Serahkan dia padaku sekarang! Jangan bawa pergi dia! Keluarganya sedang menunggu di klinik!"
"Siapa namamu, Nona?" John mendekat perlahan ke arah wanita itu.
"Bianca! Dokter Bianca!"
"Kalian perlu uang, huh? Ini! Ambil semua kartu milikku! Tolong sisakan satu untuk ku agar aku bisa bertahan hidup!" Wanita yang menyebut dirinya Bianca itu melempar semua kartu bank nya kepada Theo.
"Sekarang turunkan Kevin!"
Theo menatap John, menanyakan keputusan John. John mengangguk yang artinya dia percaya dengan wanita itu. Theo menurunkan Kevin lalu membiarkan Kevin mendekat ke arah Dokter Bianca.
"Kevin kau baik-baik saja?" Dokter Bianca berlutut lalu mengusap wajah Kevin yang berkeringat. Kevin memeluk erat Dokter Bianca. Dokter Bianca tersenyum lalu menggendong Kevin untuk pergi dari sana.
"Hei, Dokter tunggu sebentar." John mencegah Bianca pergi.
"Ada perlu apa lagi? Uang itu kurang? Percayalah saat ini hanya itu yang aku miliki. Kalian bisa menghubungiku jika uang itu kurang. Ambil ini, ini kartu namaku." Bianca menyerahkan kartu namanya kepada John lalu meninggalkan mereka bertiga.
"Apa yang dokter itu pikirkan? Dia pikir kita tidak punya uang? Huh!" Jennifer mengambil kartu itu dan memasukan ke dalam kantung kecil. Dia akan mengembalikan kartu itu besok, ketika mereka bertemu kembali.
Swush!
Signal dengan lambang militer bercahaya di langit yang terang. Pertanda para kadet telah menyelesaikan semua perintah yang diberikan.
"Ayo kita kembali."
John, Theo, dan Jennifer kembali ke mobil Jeep mereka lalu pergi ke perkemahan.
****
"Selamat malam Mr. Miller dan Miss Jennifer. Makan malam telah siap!" Ucap seorang kadet. Jennifer menganggukan kepalanya, segera setelah itu kadet yang bertugas memberi laporan segera keluar setelah melakukan hormat.
"John, kau tidak makan?" Jennifer bertanya saat dirinya akan keluar dari tenda.
"Duluan saja, aku masih ingin istirahat." Jennifer keluar tanpa bertanya lagi.
John melihat kartu nama Bianca di tangannya. Ternyata wanita itu seusia dengannya, 27 tahun. Bianca mengingatkan John tentang wanita yang selama ini bersinggah di hatinya. Seorang wanita yang disebutnya 'Senorita' miliknya.
"Walau aku menyebutnya My Senorita, dia bukan seutuhnya milikku."
John bangkit dan menyimpan kartu nama Bianca di tasnya. Menghampiri Theo yang sedang merokok lalu duduk di sebelah Theo lalu menyalakan pematik.
"What's wrong, John? Dari tadi aku lihat dirimu selalu murung. Teringat akan Senorita mu?" Theo terkekeh saat John menoyor kepalanya.
"Diam!" John menghisap rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.
"Bagaimana kabarnya? Kau masih menghubunginya?"
"Tentu saja, dia istriku bodoh. Bagaimana mungkin kita tidak melakukan komunikasi apa-apa."
"Kau dan istrimu sama-sama pemalu, kalian berdua tidak pernah bercakap satu sama lain ketika bertatap muka. Tapi kalian saling merindukan ketika jauh. Sudah berapa lama kau tidak melihat wajah Senorita mu?"
"Dua tahun, dua tahun lamanya aku dan dia hanya bercakap singkat di ruang obrolan. Aku merindukan wajahnya yang memerah."
John tersenyum malu saat mengingat wajah Senorita nya, yaitu istrinya sendiri. Dua tahun lamanya tak berjumpa satu sama lain, menumpuk rindu yang kian meninggi.
"Tapi jika kalian bertemu, apa yang akan kalian lakukan?" Theo bertanya sambil menatap langit yang penuh dengan bintang.
"Entah, mungkin sama saja seperti sebelumnya. Hanya menatap dan tersenyum. Hah, aku ingin terbuka dengannya tapi aku malu. Aku ingin dia mengenal diriku dan aku ingin mengenal dirinya lebih jauh. Aku ingin tahu, seperti apa senorita ku itu saat tidur, saat marah, saat senang, saat sedih, saat bahagia. Aku ingin senorita ku merengek manja padaku di pagi hari, menelphoneku menanyakan kabar, dan memelukku saat kita bertemu nanti."
John merebahkan tubuhnya di atas rumput. Semilir angin menerpa wajah keduanya.
"Senorita mu spesial, tidak ada yang lebih sempurna darinya. Tolong jaga dia, atau aku akan merebutnya dari mu. Camkan itu!" Theo menatap John dengan tenang, namun dengan aura mencekam.
"Memangnya kau bisa? Jika kau bisa, rebut saja." John tertawa santai lalu menarik Theo agar rebahan di sebelahnya.
"Theo, kita berdua saling mencintai, hanya saja kita terlalu larut dalam karir masing-masing sehingga tidak memiliki waktu berdua. Aku dan dia satu, menyatu dalam ikatan suci yang disebut pernikahan. Kami berdua sudah diikat oleh janji suci yang tak bisa dirusak oleh siapa pun."
"Kalian memang rumit. Aku tak yakin akan bertahan bersama Senoritamu itu dalam waktu lama."
"Benarkan? Hanya aku yang dapat meluluhkan hati mungil dan tubuhnya. Sshhh..." John meringis saat mengingat bagaimana gilanya malam pertama pernikahan mereka.
"Sial! Kau jangan membahas itu di depanku! Setidaknya hargai lah aku yang sedang berusaha mencari pasangan!" Theo berdecak lalu menghantam dada John.
"Awww, That's hurt." John terkekeh sambil memegang dadanya yang sakit.
"Hei pria gila! Ayo tidur!" Jennifer berteriak ke arah dua lelaki itu.
"Jennifer kemarilah! Lihat bintang indah ini!" Theo berteriak memanggil Jennifer.
"Wow, benar-benar indah." Jennifer berlari dan merebahkan dirinya di atas rumput dengan lengan John sebagai alas kepalanya.
"Besok kita akan mulai ekspedisinya. Sekarang nikmati dulu masa istirahat kita."
Jennifer membalikan badannya dan memeluk John erat. Mereka terlelap dengan beralaskan rumput dan AC alami.
Matahari perlahan mulai menampakan dirinya. Jennifer menggeliat dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang John.
"Bangunkan mereka cepat!" Bisik seorang kadet kepada temannya.
"M-Mr Mi-Miller. Wake up. Ini sudah siang."
"Ngghhh..." Theo melenguh dan langsung menyipitkan matanya.
"Hei, kuda! Ayo bangun!" Theo memukul John dan menggoyangkan tubuh Jennifer.
Hari ini telah resmi menjadi hari dimana ekspedisi dan masalah yang terjadi di masa depan dimulai. John akan bekerja keras mulai hari ini.