John berkeliling kota Favela seorang diri, ingin mengenal lebih jauh tentang kota ini.
"Mereka terlihat bahagia sekali," gumam John yang melihat anak kecil sedang bermain sepak bola.
"Paman!" Teriak seorang anak kecil.
John memperhatikan sekelilingnya dulu. Tak ada seorang pun yang layak disebut paman selain dirinya.
"Kau memanggilku?" John menunjuk dirinya sendiri.
"Tentu saja! Memangnya ada orang lain selain kau yang patut disebut paman?"
John membelalakan matanya. Berani sekali anak kecil ini berteriak dan memarahi dirinya. John lalu mendekat ke arah sekumpulan anak kecil itu.
"Kenapa kalian memanggil ku wahai anak kecil?" John bertanya dengan wajah angkuhnya.
"Paman, maukah paman menjadi penjaga gawang?" Tanya seorang anak kecil yang sepertinya masih berusia lima tahun.
"Aku? Tentu." John menyanggupi ajakan anak itu.
"Baiklah, paman akan menjaga gawang sendirian dan kami semua akan menyerang paman dalam waktu bersamaan. Bersiap lah wahai paman, huh." Anak itu memberikan John smirk yang cukup mengintimidasi.
"Woah woah tunggu sebentar. Akhh!" John merintih saat satu persatu bola rotan yang ditendang oleh anak-anak mengenai dirinya.
"Lihat, paman itu lemah!"
"Dasar lemah! Dasar lemah! Dasar lemah! Dasar lemah!" Ejek para anak.
"Hei, anak-anak. Kemari lah, ayo kita makan siang." Teriak ibu-ibu dari kejauhan.
"Ayo paman, sebaiknya paman ikut kami!"
John membiarkan tangannya ditarik oleh anak-anak itu dan mengikuti mereka. Ada sebuah bangunan megah nan indah tepat di hadapannya. Sebuah bangunan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
"It's beautifull."
Gedung dengan tembok ber cat putih berdiri kokoh di bawah bukit besar. Dilengkapi dengan jendela besar dan dihiasi dengan lukisan-lukisan indah. Pilar-pilar besar masih setia menopang tubuh gedung itu. Lentera berwarna-warni terpasang di setiap sisi gedung. Namun, dari banyaknya hal megah dan menarik yang ada di gedung itu, ada satu yang menyita fokus John.
Sebuah pintu besar dan terkunci. Di pintu itu terdapat lukisan pedang biru tua bersimbah darah biru. John sangat penasaran sehingga mendekat kesana. John mendekat sambil memperhatikan sekitar. Hawa mencekam menyelimuti dirinya. Bulu kuduk John mulai merinding dan tubuhnya tiba-tiba saja mengeluarkan keringat dingin.
"Hei!"
"Hah? Huh.. huh.."
John terkesiap karena ada seorang nenek tua dengan badan bungkuk menegur dirinya. Nenek tua itu memakai jubah hitam yang menutupi kepalanya.
"Apa yang kau lakukan di sini, Tuan? Ayo kita makan bersama," kata nenek itu lalu berjalan pelan sambil menopang tubuhnya dengan tongkat di depan John.
"Ba-baiklah." John mengikuti nenek tua itu.
"Apakah Tuan penasaran dengan pintu besar itu?" Tanya nenek itu tanpa menoleh dan terus berjalan tertatih.
"Sedikit."
"Dari mana asal Tuan?"
"Namaku John Miller, aku berasal dari Rio de Janeiro. Aku datang kesini untuk melaksanakan ekspedisi bersama dengan teman-temanku."
"Desa Bari, huh?" Nenek itu bertanya sambil tersenyum miring.
"Benar, Desa Bari adalah tempat kami melakukan ekspedisi."
"Selamatkan lah orang-orang di sana jika kalian mampu. Jangan memaksakan diri melawan virus mematikan itu. Itu sudah menjadi kehendak dewa."
John terkejut dengan penuturan nenek itu. Terdengar serius namun juga lucu. Jelas-jelas dewa tidak akan membuat manusia kesusahan karena virus mematikan itu.
"Apa maksud Nyonya?" John bertanya sambil terkekeh pelan.
"Lupakan saja, mari ikut makan bersama kami."
John lalu duduk bersila melingkar bersama para warga. Mereka terlihat bahagia, senyuman merekah di wajah mereka.
"Nyonya Samanta! Siapa Tuan muda tampan itu?" Tanya salah satu wanita.
"Dia merupakan salah satu tentara yang datang ke Desa Bari. Apakah aku salah?" Jawab seorang pria sambil tertawa.
"Tidak, kau benar, Tuan. Aku John Miller dari Rio de Janeiro. Aku melakukan ekspedisi bersama dengan temanku." John tersenyum ke arah semua orang.
"Tuhan, lihat lah senyuman makhluk ciptaan mu yang satu ini. Membuat hatiku... Meleleh. Uhh..." Wanita tadi menepuk keningnya berlagak seolah-olah akan pingsan.
"Maria! Hentikan sandiwara mu dan cepat sajikan makanan untuk kami!" Teriak seorang anak kecil.
"Maria?" Batin John.
"Baiklah Umar, makanan mu akan segera ku sajikan." Wanita yang bernama Maria itu memutar bola matanya lalu segera menyajikan makanan.
Makanan yang warga di sana makan sangat cukup untuk dibilang bergizi. Roti, sayur, daging, buah, dan susu. John sampai terheran melihat satu persatu makanan yang keluar dan tak ada henti-hentinya.
Berbeda dengan di Desa Bari, Desa yang kotor dan usang. Tanah di desa itu teramat kering sehingga sepertinya tidak mungkin untuk bercocok tanam.
"Makan lah Tuan tampan." Maria mengedipkan matanya.
****
"John! Dari mana saja kau?" Tanya Theo yang sedang membantu Bianca mengurus pasien yang meninggal. Theo memakai penutup mulut sehingga membuat suaranya terdengar tidak jelas.
"Apa yang kalian lakukan? Ada apa dengan orang-orang ini?" John mendekat dan mengambil penutup mulut yang diberikan oleh salah satu kadet.
"Mr. Miller. Kami sedari tadi sudah berusaha untuk merawat para pasien yang terinfeksi. Namun virus sangat cepat menyebar ke seluruh tubuh warga dan menghancurkan sistem jaringan yang ada di dalam tubuh pasien yang terinveksi." Bianca juga sama dengan Theo, memakai masker sehingga suara Bianca terdengar tidak jelas.
"Berapa pasien yang telah meninggal?"
"Lebih dari lima puluh pasien meninggal dalam waktu dua puluh menit. Mereka ada yang berasal dari luar desa dan murni dari Desa Bari." Jennifer menjawab dengan tangannya yang terus bergerak untuk mencatat.
"Cepat lakukan tindakan! Kita harus mencegah kematian warga secepatnya agar tidak mengurangi populasi!"
Para tenaga medis beserta para kadet langsung melakukan tugasnya. Para kadet dengan segera menimbun mayat yang sudah kaku agar virus tidak menyebar lagi. Tenaga medis segera memberikan semua orang vitamin untuk memperlambat pertumbuhan virus di dalam tubuh.
Hari menjelang malam, tenaga medis dan para kadet yang sudah kewalahan akhirnya dapat beristirahat dengan tenang.
"Apa sebenarnya yang terjadi selama aku pergi?" John berdiri di hadapan Bianca, Jennifer, dan Theo.
"Awalnya, kami seperti biasa melakukan pengecekan rutin untuk memantau sudah sejauh mana pasien dapat sembuh. Tapi tiba-tiba, dari kamar isolasi bagian timur terdengar teriakan dari pasien yang sekamar dengan pasien yang sudah meninggal. Sejak itu, banyak pasien yang meninggal."
"Jennifer, berapa banyak warga yang masih tersisa saat ini?"
"Warga yang tersisa hanya kurang dari seratus. Aku sudah menyuruh kadet memindahkan pasien yang terinfeksi agar ditempatkan di ruangan yang berbeda."
"Apa itu sudah termasuk anak-anak dan bayi?"
"Tidak, itu hanya pasien tua dan dewasa."
John berpikir sebentar. Apa mungkin yang diucapkan nenek tua tadi itu benar? Bahwa virus ini diturunkan oleh dewa yang berada di dalam pintu besar tadi? Tidak mungkin, Dewa tidak akan memberikan hal yang akan membuat ciptaannya kesulitan. John terus berpikir.
"Ngomong-ngomong John, dari mana saja kau? Dari pagi hingga sore aku baru melihat mu." Tanya Theo.
"Aku menuruni gunung dan pergi ke desa yang ada di bagian tengah bukit, bermain bersama anak-anak dan sempat dijamu juga di sana."
"Kau bersenang-senang sementara kami di sini kewalahan menghadapi para pasien? Panglima macam apa kau ini!" Theo berdecak kesal dan berkacak pinggang.
"Tujuan ku kesana bukan untuk itu, aku mendengar dari kepala desa bahwa di sana ada misteri tersembunyi. Aku tertarik dengan hal itu."
"Lalu, apa yang kau temukan di sana?"
"Sesuatu yang indah, yang tak pernah kalian temui sebelumnya." John membusungkan tubuhnya ke depan.
"Desa Uma, desa tersubur di kota Favela." Ucap Bianca.
"Bagaimana kau tahu jika itu Desa Uma? Kau pernah bilang jika kau tidak tahu apa-apa tentang desa ini."
"Aku pernah dengar dari Kevin yang bilang bahwa banyak anak kecil yang bahagia ada di sana."
"Ya aku juga merasakannya. Kondisi di desa itu dan di sini sangat berbeda. Bahkan, dari segi makanan sehari-hari, di sana bisa terbilang sangat baik."
"Wah, aku penasaran tentang Desa itu."
****
"Ada seorang wanita yang memilki nama yang sama dengan My Senorita." John dan Theo sedang berada di luar tenda. Menghisap rokok dan meminum beer.
"Siapa wanita itu? Apakah mirip dengannya?" Theo menghisap rokoknya lalu menghembuskan nya ke atas.
"Tidak, My Senorita lebih cantik dari pada dia. Kecantikan Senorita ku melebihi bidadari kahyangan." John terkekeh, mengingat wajah Senorita nya.
"Ingat John, jika sekali saja kau membuatnya menangis, maka aku tak akan segan merebut Senorita darimu. Akan ku buat dirinya berpaling darimu."
"Apakah kau menyukai Senorita ku, huh? Mr. Yamashita?"
"Logika saja, tidak ada yang bisa berpaling dari kecantikan yang dimilikinya. Senorita mu lebih dari sempurna."
"Kau benar! Dia sempurna!" John menyesap minuman kalengnya dan tersenyum miring.