Keesokan harinya, mereka semua kembali disibukan dengan membantu warga sekitar. Sudah sebulan ekspedisi mereka berlangsung, namun tak kunjung diketahui apa sebenarnya penyebab dari penyakit ini.
"Ekspedisi kali ini membuat pikiran ku menjadi kacau!" Theo berucap seorang diri di tenda sambil memijit kepalanya.
"Apa sebenarnya tujuan kepala mengirim kita kemari? Ada apa di Desa Bari selain penyakit sialan ini?"
Theo mengacak rambutnya menandakan dirinya sedang sangat frustasi. Kekhawatiran tertular penyakit, tugas yang tidak bisa ditinggalkan, serta tanggung jawab yang harus dipenuhi.
"Apa aku harus menyelinap ke Desa Uma untuk mengetahui semuanya? Jangan! John bisa menghabisiku bila dia tahu."
"Theo check!" Walky talky milik Theo berbunyi, menandakan pesan dari John.
"I'm coming." Dengan malas Theo keluar dati tenda dan menemui John.
Terlihat John dan Bianca sedang mengurus para pasien yang sudah mulai pulih. Tidak ada tambahan pasien yang terinfeksi di Desa Bari selama satu minggu terakhir.
"Theo!" John berteriak memanggil Theo.
"Bagaimana kondisinya sekarang?"
"Sudah aman, tinggal menunggu sepuluh orang lagi dan virus di Desa Bari dinyatakan lenyap." Bianca terlihat senang dan lega.
"Bagus lah, ngomong-ngomong John. Bisakah kita berbicara, setelah kau menyelesaikan pekerjaanmu."
"Tentu, apa yang mau kau bicarakan?"
"Nanti saja, selesaikan dulu semuanya."
"Bianca, ada seseorang yang ingin menemui mu. Sepertinya dia berasal dari kota," ucap Jennifer.
"Siapa?"
Jennifer mengedikan bahunya singkat. Bianca keluar dan menemui orang yang Jennifer maksud.
"Dimana orang yang ingin menemuiku?" Tanya Bianca kepada salah satu perawat.
"Ahh, tadi dia sudah pergi Dokter. Tapi dia menitipkan ini untukmu." Perawat itu menyerahkan sebuah file untuk Bianca.
"Baiklah, terima kasih." Bianca melihat file itu sekilas lalu kembali ke dalam tenda.
"Sudah bertemu?" Tanya Jennifer yang sedang makan.
"Tidak, kata perawat dia sudah pergi tadi."
"Apa itu?" Tanya Theo yang juga sedang melahap makanannya.
"Sebuah file, entah file tentang apa." Bianca membuka file itu. Didalamnya berisi sebuah flashdisk berwarna merah jambu, warna favorite Bianca.
"Flashdisk? Ohh mungkin ini dari teman dokterku. Dokter yang memberitahuku tentang masalah di sini." Bianca tersenyum girang menatap haru flashdisk tersebut.
"Omong-omong siapa nama temanmu itu?" Tanya John.
"Kenapa kau bertanya? Aku dengar kau sudah memiliki istri." Bianca tersenyum jahil ke arah John, sementara Theo perlahan bangkit dan diam-diam keluar dari tenda.
"Apakah Theo yang memberi tahumu tentang hal itu?" Tanya John.
"Yups!" Bianca tersenyum senang kala John menahan marahnya.
"Theo, tunggu saja kau!"
"John." Panggil Jennifer dengan tatapan kosong.
"Hmm?"
"Kau punya istri?"
"Maaf Jennifer, aku tidak memberitahumu tentang ini sebelumnya. Aku sudah menikah dua tahun lalu."
"Oh, aku kira kau jalang. Ahh lajang maksudku." Jennifer kemudian keluar dari tenda dan merapikan alat makannya.
"Apakah dia marah?" Tanya John kepada Bianca.
"Dia itu sahabatmu, dan kau tidak memberitahu Mrs. Nessy tentang pernikahan mu. Wajar saja jika dia marah."
"Apa Theo memberi tahu semuanya?"
"Entah, dia hanya bilang kau sudah menikah bersama dengan Senoritamu?" Bianca terkekeh tat kala melihat wajah John yang memerah.
"Apa dia seindah itu sampai kau malu hanya dengan membayangkannya, hmm?"
"Ya, dia indah. Senorita ku adalah karya seni yang nilainya tak terhingga. Karya seni yang dibuat oleh dewa hanya untukku seorang. Senoritaku adalah malaikatku." John berucap sambil tersenyum membayangkan Senorita nya.
"Sudah ya, aku akan kembali ke perkemahan tentara untuk melihat para kadet." John lalu keluar dan meninggalkan Bianca.
"Aku penasaran dengan wanita yang Mr. Miller panggil dengan My Senorita."
****
"Apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya John saat sudah bertemu dengan Theo.
"Desa Uma."
"Iya, kenapa?"
"Apa yang ada di sana?"
"Aku juga tidak yakin dengan desa itu. Satu hal yang pasti, ada suatu hal yang membuat ku tertarik tentang desa itu."
"Tunjukan pada ku John. Kepalaku sudah sakit akibat misteri dari virus terkutuk ini!" Theo memegang tangan John dengan tatapan melas. Buru-buru John menghempas kan tangan Theo.
"Virus terkutuk?"
"Ya, virus ini terkutuk karena sudah membuat kepalaku sakit." John bernapas lega.
"Aku pikir kau tahu tentang asal muasal virus ini. Kau begitu penasaran dengan Desa Uma, kan? Besok kita akan pergi kesana dan menggali informasi mengenai desa itu."
"Lalu siapa yang akan berjaga di sini?"
"Jennifer, Bianca dan para kadet. Aku yakin mereka bisa menjaga desa ini dengan baik."
"Baiklah, kita berangkat besok."
Mereka berdua diam, menatap ke arah bukit yang ditutupi awan. Sebentar lagi matahari akan terbenam.
"Kau memberi tahu Bianca tentang pernikahanku?"
Theo menegak salivanya kasar. Takut jika John akan membunuhnya detik itu juga.
"I-iya, Dokter Bianca bertanya makanya aku jawab saja."
"Tak apa, biar kan dia tahu tentang hal itu. Omong-omong, Jennifer marah padaku."
"Ya itu karena kau menyembunyikan berita yang sangat penting! Kau tahu jika Jennifer menyukaimu sejak kita menjadi kadet. Dia menjadi sahabatmu agar bisa dekat dengan mu! Dasar panglima tidak peka!" Theo berteriak di depan wajah John.
"Aku pikir dia sudah move on. Sangat tidak mungkin menyukai orang yang sama dalam waktu lima tahun." John terkekeh dan menggelengkan kepalanya.
"Ada, orang di hadapanmu bahkan menyukai istrimu sudah lebih dari delapan tahun. Ada lawan?" Theo menegakan kepalanya dan tersenyum miring di hadapan John.
"Diam kau gila!"
"Kau yang gila!"
"Kau juga gila!"
"Dasar gila!"
Tak mau berdebat lebih lanjut lagi, John menarik Theo ke perkemahan. Mengacak rambut pria itu gemas.
"Bianca, apa kau tahu dimana tempat untuk menyembah kan tumbal?" Tanya John yang masih menarik kepala Theo.
"Apa kau ingin menyerahkan nya kepada dewa? Aku yakin dewa tidak akan menerima persembahanmu." Bianca tertawa kecil.
"Apa maksudmu, dokter? Kau meremehkan ku, huh?" Theo melepaskan diri dari John dan mendekat ke arah Bianca.
"Menjauh dariku atau kau akan ku suntik!" Bianca memundurkan langkahnya.
"Theo! John! Ini bukan saatnya untuk bercanda!" Jennifer masuk dengan seragam tentara lengkap.
"Mrs. Nessy mau kemana kau malam-malam begini dengan baju tentara?" Tanya Bianca.
"Ada masalah, Jennifer?"
"Kita harus menyerang sekarang! Pasukan musuh sudah ada di depan gerbang!" Jennifer berucap dengan sorot mata tajam.
"Musuh? Apa maksud mu Mrs. Nessy? Siapa musuhnya?"
"John! Siapkan shotgun dan meriam sekarang! Kita habisi para babi-babi jelek itu!"
"Mr. Miller apa yang Mrs. Nessy katakan?" Bianca tambah panik sedangkan John tampak tenang.
"John! Bergerak lebih cepat! Tembak para babi jelek itu!"
"Mr. Miller!" Final, Bianca berteriak sangat keras sambil memukul dada bidang John.
"Tenang, Bianca. Jennifer hanya mengigau. Ini sudah sering terjadi di perkemahan kami. Dia sangat suka berperang sehingga dirinya terus bermimpi tentang itu."
"Baiklah, ayo Jennifer Nessy kita lanjutkan perang di tempat tidur. Aku akan membawamu ke surga yang sesungguhnya, oke?" Theo mengangkat Jennifer yang masih meracau kacau, lalu meninggalkan Bianca dan John.
"Jadi Mrs. Nessy hanya bermimpi? Syukur lah." Bianca menghela napas lega.
"Apa yang kau takutkan?"
"Siapa yang tidak takut perang? Aku hanya dokter tapi kau panglima tentara yang sudah biasa berdiri di hadapan malaikat maut! Aku tidak mau bertemu dengan dirinya dalam waktu dekat!"
John tersenyum lalu tertawa kecil menatap Bianca yang menurutnya sangat imut.
"Apa yang kau lihat? Mau aku congkel matamu itu, huh?" Bianca menunjuk mata bulat John.
"Tidak, Bianca. Bagaimana pun aku akan melindungi kalian semua. Jangan khawatir. Tidur lah sekarang."
"Apakah Mr. Miller sungguh memiliki istri? Dia membuat jantungku berdebar kencang!" Dengan segera Bianca manaiki ranjangnya dan berusaha untuk tidur.