Raven tampak kecewa ketika sedang mengobrol dengan Yuna via ponsel pagi ini sebelum dirinya bergegas berangkat ke kantor, bukan tanpa alasan mengapa laki-laki itu mengubah raut wajahnya seketika dengan pemberitahuan dari adiknya yang harus batal pulang dalam waktu dekat, karena ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan yaitu mengenai sidang tesis program magister, yang direncanakan akan dilaksanakan tiga minggu lagi sehingga perempuan itu akan kembali ke tanah air, dan bisa menghadiri pernikahan kakak satu-satunya. Namun, tiba-tiba saja jadwal tersebut dimajukan, membuat Yuna tak bisa menghadiri pernikahan Raven.
Jujur saja tidak hanya Raven yang kecewa, perempuan berusia 27 tahun itupun juga merasakan hal yang sama ketika tidak bisa hadir di saat kakaknya akan menikah. Padahal sudah sejak dulu ia membayangkan melihat kakaknya menikah dan tidak pernah menyangka jika sang kakak akan menikah dengan Camelia, perempuan yang sedari dulu sudah dijodohkan. Namun, ia tidak tahu dengan perasaan kakaknya kepada perempuan itu, apakah cinta atau tidak. Perempuan yang mungkin bisa dikatakan jauh dengan standar tipe ideal kakaknya. Yuna yang tahu dengan sikap dingin Raven yang tidak berubah sampai sekarang, sangat sulit untuk jatuh cinta, apalagi kepada perempuan yang tidak sesuai dengan kriterianya. Raven memang menutup rapat mengenai perasaannya sejak SMA kepada Camelia, bahkan kepada Yuna sendiri, sehingga perempuan itu tidak tahu jika sudah sejak dulu memiliki perasaan suka kepada Camelia.
"Ya sudah, sidang yang akan kamu lakukan pun sangat penting, Yun. Kakak hanya bisa berdoa agar dilancarkan prosesnya dan kamu segera kembali ke Indonesia, meskipun nanti kamu datang setelah kakak menikah. Kakak tetap bangga sama kamu kok dan nenek pun sama," cetus Raven yang membalas, setelah beberapa saat terdiam karena sedikit kecewa. Namun, ia tidak ingin terdengar kecewa saat berbicara dengan adiknya, meski sangat ingin sekali dihadiri oleh perempuan itu yang sudah lama tak bertemu.
Laki-laki itu menyudahi obrolannya dengan Yuna, setelah hampir dua puluh menit mengobrol yang di awali dengan kebercandaan, sampai akhirnya perempuan itu mengatakan tidak bisa pulang dalam waktu dekat dan membuat Raven kecewa seketika. Ia tidak bisa memaksa karena urusan adiknya pun sangat penting.
Raven menyimpan ponselnya ke atas nakas, lalu mengusap wajahnya di depan cermin sembari mengeluarkan napasnya yang terdengar berat. Sebelumnya ia sudah bahagia Yuna akan kembali, namun dengan kabar barusan, dirinya pun tetap bangga dengan perjuangan adiknya untuk lulus cepat menyelesaikan pendidikan magisternya. Raven tak segera beranjak, padahal neneknya sudah menunggu di ruang makan untuk sarapan bersama. Akan tetapi pandangannya masih menatap ke arah ponsel, ada keinginan untuk menghubungi Camelia menanyakan kabar perempuan itu sekarang, apakah sudah baikan. Jujur, ia merasa cukup khawatir dengan keadaannya semalam dan merasa bersalah karena telah membuatnya kesal. Padahal ia hanya berniat untuk bercanda, namun malah ditanggapinya serius.
Hembusan napas yang keluar dari hidungnya menandakkan keadaan Raven yang memang tengah mencemaskan seseorang, hal itu justru jauh berbeda dengan penampilannya yang sudah rapi mengenakan setelan jas lengkap berwarna abu-abu dengan kemeja hitam di dalamnya. Raven yang tampak berpikir sejenak, namun kakinya memilih untuk melangkah keluar menemui nenek Hanna.
Namun, saat tiba di ruang makan, laki-laki itu tak melihat neneknya yang tidak ada di tempat. Hanya ada pelayan yang sedang menyiapkan makanan ke atas meja.
"Nenek di mana, Bi?" tanya Raven dengan sopannya sembari mendudukkan bokongnya beradu di atas kursi, ketika perempuan itu tengah menyiapkan sarapan untuknya.
"Ehm … tadi sih pergi keluar, Den, mungkin ke taman yang ada di belakang. Udah kebiasaan nenek Hanna setiap pagi, kan, untuk mengunjungi taman sebelum beraktivitas," balas perempuan yang sudah tak muda lagi itu sembari tersenyum ketika membalas pertanyaan cucu majikannya. Perempuan itupun sudah lama bekerja dan mengabdi dengan keluarga Raven, menganggap Raven seperti anaknya sendiri.
Tidak heran memang di waktu luangnya, nenek Hanna sering menghabiskan waktunya di taman belakang yang dipenuhi dengan tumbuhan hijau, dan berbagai macam bunga favoritnya, karena sejak dulu perempuan itu memang terkenal sangat suka dengan berbagai jenis tumbuhan yang mempercantik halaman rumahnya.
Ketika hidangan makanan sudah tersaji di depannya, Raven lebih memilih beranjak bangun untuk menyusul perempuan itu, ingin mengatakan perihal Yuna yang tak bisa pulang ke Indonesia di hari pernikahannya.
Raven masih berdiri dengan kedua tangan bersilang di dada, kedua matanya menatap ke arah perempuan yang sedang sibuk menyiram tanaman hias yang tampak begitu indah, selain itu banyak bunga berwarna-warnia yang tumbuh dengan sehat di sekitaran taman. Ketika Raven yang masih betah berdiri dengan lengkungan bibir menghiasi wajahnya, bukan tanpa sebab mengapa Raven merautkan wajah seperti itu, karena melihat neneknya yang tampak sehat di usianya yang sudah memasuki usia enam puluhan. Dan tanpa sadar jika perempuan itu sudah melihat keberadaan cucunya yang berseri di pagi hari. Entah apa yang membuat Raven berekspresi seperti itu, mungkin karena sebentar lagi akan menikah, mengubah status menjadi seorang suami.
"Kamu nggak ada niatan untuk bantuin Nenek, Rav?" Suara serak-serak basah dari Nenek Hanna membuyarkan lamunan dari laki-laki itu.
Dengan derap langkah pelan, Raven mendekat ke arah neneknya
"Ok," balasnya dengan penuh senyuman ketika akan mengambil gembor dari tangannya. Namun, perempuan itu lebih dulu menghindar karena ucapannya tadi hanya bentuk gurauan saja.
"Nggak usah, Rav, tadi Nenek cuma bercanda aja kok, karena ngeliat kamu yang berdiri sembari senyum-senyum gitu? Kamu bahagia karena sebentar lagi akan menikah?"
Raven melengoskan wajahnya sekilas dengan senyuman yang tidak hilang dari wajahnya sejak tadi, meskipun di dalam hatinya ia masih sedikit kecewa dengan ketidakhadiran Yuna di pernikahannya nanti. Namun, mampu disembunyikan saat melihat neneknya yang bahagia.
"Nenek bisa aja, justru aku bahagia karena melihat Nenek yang sehat di usia sekarang."
"Oh ya gimana dengan persiapan pernikahan kamu nanti, Rav?"
"Hampir 90 persen udah siap semuanya kok, Nek. Niatnya hari ini aku akan pergi ke butik, tapi karena Camelia sedang sakit mungkin besok aja," balas Raven.
"Camelia sakit?" Nenek Hanna terlihat menjelak mendengar kabar jika calon cucu menantunya sedang sakit.
Raven membalas dengan anggukkan kepala.
"Sejak kapan? Dan kamu udah jenguk?"
"Dari kemarin, Nek, dan aku yang antar dia pulang ke rumah dari apartemennya. Hari ini kalau pekerjaan nggak terlalu banyak, aku mau jenguk ke rumah kakek Rasya."
Perempuan itu terlihat mengkhawatirkan keadaan Camelia. Entah sebegitu sayangnya Nenek Hanna kepadanya, dan membuat mood baiknya pagi ini mulai buyar memikirkan perempuan itu.
"Kamu tahu gak dia sakit apa, Rav?"
Raven mengembuskan napasnya pelan. "Meriang dan mual-mula aja kok, Nek. Nggak sakit serius banget, aku paksa dia ke dokter tapi nggak mau. Ya udah minum obat yang beli di apotek aja."
Sejak awal Raven memang tidak mengerti dengan sikap neneknya yang terlihat begitu menyayangi Camelia, bahkan perempuan itu yang tetap memaksa agar dirinya menikah dengannya. Entah apa yang dilihat oleh Nenek Hanna di dalam diri Camelia, seperti seseorang yang sangat spesial sekali.
To be continued…