Camelia membanting dengan keras ponselnya ke atas nakas setelah membaca pesan dari Mahesa. Sebenarnya bukan kalimat yang memantik emosi sampai ia merasa kesal begitu, namun keinginan dari laki-laki itu yang mengajak balikan dan menjalani hubungan seperti dulu lagi. Rasanya tidak mungkin bagi Camelia kembali kepada Mahesa setelah apa yang dilakukan oleh laki-laki itu sampai membuatnya kecewa. Hanya tinggal menunggu beberapa hari lagi pesta pernikahan akan digelar, mengubah statusnya dari single menjadi istri dari Raven, dan entah mengapa ia sudah membayangkan setelah menjadi istri dari laki-laki dingin itu. Mungkin kehidupannya akan monoton, karena sifat dingin Raven yang tidak disukainya.
Keadaannya sudah terasa baikan dan sejak tadi perempuan itu tidak beranjak turun dari tempat tidur, karena merasa betah berada di kamar yang sudah lama tidak ditempatinya. Sesekali perempuan itu mengembuskan napasnya secara perlahan sembari melirik kembali ke arah ponsel, bersamaan dengan suara ketukan pintu yang membuyarkan tatapannya sejenak.
"Mel ….!" Suara cempreng has dari tante Mely terdengar begitu memekkakan telinga, padahal posisi perempuan itu berada di luar.
"Iya Tan, masuk aja nggak dikunci kok?" Dengan suara pelan Camelia menjawab sembari mengubah posisi duduknya yang sejak tadi menyandar di punggung ranjang, dan sekarang duduk di tepi ranjang karena niatnya memang ingin mengambil ponsel.
Pintu terbuka menampilkan tantenya yang tengah tersenyum ke arahnya, membuat Camelia mengerutkan dahi dan bertanya-tanya dengan sikap tantenya ini.
"Ada apa, Tan?" tanya Camelia yang penasaran. "Kok senyum-senyum gitu sih?"
"Ada calon suami kamu tuh di luar, lagi ngobrol sama calon kakeknya," cetus Tante Mely yang memberitahu dengan nada menggoda.
Camelia langsung dibuat terperanjat. "Maksudnya Raven, Tan?" Dengan wajah polos yang ditampilkan.
"Ya iyalah dia, memangnya siapa lagi calon suami kamu, Mel. Kalau kamu punya yang lain bisa dong kasih ke Tante yang masih jomlo ini," ungkap Mely bercanda.
Camelia pun ikut tersenyum mendengar bercandaan dari tantenya, jujur ia pun merasa kasihan kepada Tante Mely, di usianya yang sudah tidak muda lagi, memasuki usia 45 tahun, namun sampai sekarang belum mendapatkan pendamping hidup. Bukannya tidak ingin perempuan itu menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga yang diinginkan oleh banyak orang. Namun, Tante Mely masih takut jika hanya ada laki-laki yang memanfaatkannya saja, karena sebelumnya ia pernah menjadi korban laki-laki seperti itu, tidak serius saat menjalani hubungan apalagi menikah. Padahal ia sudah sangat ingin menikah dan memiliki anak.
"Kalau aku punya kenalan nanti, aku bakal kenalin ke Tante deh."
"Tapi, jangan yang berondong juga dong, Mel, kalau bisa seusia atau perbedaan usianya nggak jauh beda dari Tante deh," pinta perempuan itu dengan penuh harap.
Camelia yang sudah beranjak dari duduknya ikut tersenyum dengan permintaan Tante Mely. "Ya, ya. Aku nggak janji sih, Tan, tapi semoga aja nanti aku bisa memperkenalkan Tante ke rekan kerjaku."
Perempuan itu berjalan dengan langkah gontai masuk ke toilet karena ingin membersihkan wajahnya terlebih dahulu sebelum bertemu Raven. Sejak pagi ia hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar, memainkan ponsel, dan tidur sebentar, tidak banyak yang dilakukan karena memang kondisi tubuhnya yang kurang fit.
Beberapa saat kemudian, di ruang tamu, ketika Raven tampak begitu akrab berbincang dengan kakek Rasya, melirikkan ekor matanya seketika tatkala kedatangan Camelia yang sudah berdiri di belakangg sofa, dengan pakaian sederhana hanya memakai kaus besar berwarna abu-abu dan rambut panjangnya yang tergerai sedikit berantakan. Kedua pandangan bertemu dan perempuan itu merasa sedikit canggung sesaat Raven terus menatapnya dengan pandangan yang berbeda.
Lalu, disusul oleh kakek Rasya yang menoleh ke belakang tepat ke arahnya.
"Oh kamu udah datang, Mel, ya sudah kalian lanjutkan ngobrol berdua ya, Kakek tinggal dulu," sahut laki-laki yang sudah tak muda lagi itu beranjak bangun dari duduknya.
"Ehm … Kakek mau ke mana?" Camelia tampak keberatan saat kakek Rasya yang akan pergi. Entah kenapa setelah berpandangan dengan Raven beberapa detik tadi membuatnya cukup kikuk.
"Ya masa Kakek mengganggu obrolan kalian berdua sih yang mungkin aja akan membahas perihal pernikahan dan setelah menjadi pasangan suami istri nanti. Kakek nggak mau jadi pengganggu," ujar Kakek Rasya membalas diselingi dengan senyuman hasnya. Sementara Raven pun hanya ikut tersenyum, terlihat malu-malu ketika akan mengobrol berdua dengan calon istrinya, mungkin benar apa yang dikatakan oleh Kakek Rasya, dirinya dengan Camelia akan membahas perihal itu.
Camelia tidak bisa menyanggah ataupun melarang kakeknya untuk pergi, lagi pula apa yang dikatakan oleh kakeknya memang benar.
Kini, perempuan itu sudah duduk saling berhadapan dengan Raven. Camelia tampak cuek dengan pakaian yang dikenakan, dan wajahnya yang tidak dipoles sedikitpun oleh make up sehingga terlihat sedikit pucat.
"Ada apa lo datang ke sini?" tanya Camelia dengan nada ketus dan aura wajah yang jutek.
"Galak banget sih, orang sakit kok galaknya minta ampun," timpal Raven yang memilih untuk menarik ujung bibirnya ke atas, sebuah senyuman atas pertanyaan Camelia yang terdengar ketus.
"Ya, tumbenan banget lo datang ke rumah Kakek Rasya, nggak biasanya."
"Saya cuma mau menjenguk kamu yang lagi sakit, itu aja kok. Kalau kamu nggak sakit pun nggak mungkin saya datang ke sini," balas Raven telak dan membungkam Camelia. Perempuan itu seperti melupakan kebaikan Raven semalam yang mengantarnya pulang.
Camelia mengedarkan pandangannya ke beberapa bingkisan yang berada di atas meja, ada parsel buah dan parsel kue juga.
"Gue nggak apa-apa kok, lo nggak usah khawatirin gue sampe bawa bingkisan buah dan cake segala," pungkas Camelia sembari menjatuhkan pandangannya.
"Nenek yang khawatirin kamu, bukan saya. Beliau yang meminta saya untuk membawa bingkisan tersebut untuk kamu," tutur Raven yang membuat Camelia langsung menegakkan wajah kembali ke arahnya. Ia tidak menyangka jika nenek Hanna begitu perhatian kepadanya, sampai repot-repot membawakan makanan segala.
"Lo serius bilang kalau gue sakit ke nenek Hanna?" tanya Camelia yang masih belum percaya.
"Ya, setelah saya bilang kalau kamu lagi sakit, Nenek sangat khawatir banget dan meminta saya untuk segera menjenguk calon cucu menantunya."
Camelia merasa tidak enak karena harus membuat perempuan itu mengkhawatirkannya, padahal ia tidak sedang sakit parah, hanya sakit biasa dan keadaannya sekarang pun sudah baikan.
"Lo seharusnya nggak bilang, Rav, lagian sakit yang gue derita sekarang bukan penyakit parah yang harus dikhawatirin segitunya banget."
"Saya nggak mau berbohong, bukankah hari ini kita harus pergi ke butik bersama? Karena kamu sakit, ya sudah saya tunda, dan disitulah nenek Hanna bertanya. Saya pun nggak mengerti mengapa nenek begitu sayang sama kamu, perhatian segala," cetus laki-laki itu dengan nada yang kurang suka.
Camelia sedikit tertohak mendengar penuturan Raven.
"Ya gue nggak tahu, Rav, atau mungkin nenek Hanna pengen banget punya cucu perempuan, maka dari itu beliau ngebet banget pengen jodohin lo ama gue," pungkas Camelia sembari tersenyum lebar. Sementara Raven hanya dibuat terdiam, alasan yang tidak masuk akal, karena dirinya pun memiliki seorang adik perempuan yang mungkin tidak diketahui oleh perempuan itu.
Beberapa detik, Raven tampak lekat memperhatikan wajah Camelia yang sedikit pucat, ingin rasanya mengusap wajah perempuan itu dengan telapak tangannya. Namun, ia berusaha menahan agar tak melakukan hal yang membuat perempuan itu bertanya-tanya nanti. Ia masih harus belajar menerima akan perasaannya kepada Camelia, dan sampai sekarang saja ia tidak tahu dengan perasaan perempuan itu kepadanya, hal itulah yang membuatnya harus menahan diri untuk terus bersikap dingin dan sok tak peduli.
To be continued…