Chereads / Seduction Romance / Chapter 33 - Kebodohan Camelia Karena Cemburu

Chapter 33 - Kebodohan Camelia Karena Cemburu

"Gimana saya mau tergoda, setiap hari kamu selalu memakai pakaian tertutup di dalam kamar dan di depan saya, padahal posisinya hanya ada kita berdua. Lalu, gimana saya mau nyentuh tubuh kamu, apakah saya harus memaksa dengan kekerasan melucuti baju kamu gitu aja!" timpal Raven membungkam kekesalan Camelia sejak tadi yang sudah berpikir jika Raven benar-benar tidak ingin menyentuh tubuhnya, dan malah tergoda oleh perempuan lain.

Camelia tidak pernah menyangka jika selama ini Raven diam-diam memperhatikannya, dan ia menyadari memang belum seratus persen berani menampilkan tubuhnya di hadapan suaminya sendiri. Sangat jauh berbeda ketika ia tinggal di Australia dulu, memakai pakaian terbuka pun rasanya tidak risih, atau bahkan saling mengecup bibir dengan Mahesa, ia tidak merasa malu sama sekali. Namun, entah mengapa berbeda setelah ia menikah dan menjadi istri Raven. Padahal laki-laki itu sudah sangat berhak untuk meminta haknya, atau melihat keadaan tubuhnya tanpa harus ia merasa malu.

Camelia tetaplah Camelia, meskipun ia merasa bersalah namun ia tidak ingin disalahkan, terlebih saat Raven membawa perempuan ke rumah ini dan mengira jika laki-laki itu selingkuh.

"Ya, kenapa lo nggak bilang, Rav? Seharusnya lo bilang sejak awal kalau keberatan dengan pakaian yang gue pake saat di kamar dan membuat lo nggak tergoda, kalau lo minta, kan, ya gue juga nggak akan menolak, dan pastinya akan memakai pakaian haram yang buat lo tergoda," kelit Camelia mencoba menyelamatkan diri dan tak ingin disalahkan, karena ia merasa Raven pun salah bukan hanya dirinya saja.

Raven tersenyum tipis dengan kelitan perempuan itu, rencana yang dibuatnya benar-benar membuahkan hasil yang tak terduga. Ia tidak menyangka jika respon Camelia sangat luar biasa cemburu kepada adiknya sendiri.

Laki-laki itu masih menampilkan raut wajah yang sama sembari mendekatkan jarak tubuhnya dengan Camelia, lalu bersedekap dada. Ditatapnya wajah istrinya itu dari jarak dekat, ia bisa melihat dengan jelas jika Camelia benar-benar sudah terbakar api cemburu. Sementara perempuan yang sedang ditatapnya hanya melengoskan pandangan ke arah lain sampai harus menahan napas, ia merasa tak nyaman saat Raven menatapnya seperti itu, bukan karena tidak ingin ditatap oleh suami sendiri, melainkan karena jantungnya yang berdegup kencang.

Dan sekarang Raven malah mencondongkan wajahnya, memperhatikan kulit wajah Camelia yang sudah merona seperti udang rebus yang baru diangkat.

"Kamu cemburu dengan perempuan tadi, Mel? Bukannya pernikahan kita ini nggak didasarkan oleh cinta, ya. Seharusnya kamu biasa aja dong kalau nggak ada rasa sama saya." Raven semakin serius menggoda istrinya, hanya ingin tahu seberapa yakinkah ia melihat jika perasaan cinta sudah tumbuh di hati perempuan itu.

"Gue bukan cemburu, ya. Tapi, perempuan mana sih yang nggak sebel kalau liat suaminya bawa perempuan lain, padahal pernikahannya aja baru dua minggu! Dan gue masih nggak percaya kalau lo bisa ngelakuin hal kaya gitu selingkuh di depan mata gue sendiri!" sentak Camelia dengan mata membulat.

Sebenarnya perempuan itupun masih belum percaya seratus persen jika Raven selingkuh, jauh sekali dengan sikapnya yang sangat menghargai perempuan, dan jika semisal benar selingkuh tidak mungkin juga laki-laki itu dengan berani membawa selingkuhannya ke rumah ini, seharusnya di tempat lain tanpa diketahuinya, malah sengaja ingin membuatnya cemburu.

Raven yang masih tersenyum lebar memberikan tanda tanya di benak Camelia, karena sejak dari tadi laki-laki itu tak berekspresi apa pun, hanya tersenyum yang membuatnya tambah kesal. Dan anehnya Raven seolah menganggap hal ini biasa saja bukan masalah besar. Perselingkuhan di dalam rumah tangga bukanlah hal sepele.

"Kenapa sih lo senyum-senyum gitu dari tadi, Rav? Kaya nggak bersalah tahu gak! Lo, nggak tahu perasaan gue kaya gimana, lo nggak tertarik sama tubuh gue, tapi lo malah bawa perempuan lain ke rumah ini!" sentak Camelia yang tak bisa menahan emosinya, terlebih melihat Raven yang tampak biasa saja.

Raven berusaha menyudahi senyumannya yang membuat Camelia tambah marah. Lalu, menyentuh kepala istrinya dan mengusapnya dengan penuh kelembutan, sampai amarah yang bergejolak di wajah Camelia pun mulai melemah dengan sikap Raven. Bahkan, tidak ada jarak yang mengikis tubuh keduanya, ada satu kenikmatan yang dirasakan olehnya sekarang, yaitu sentuhan laki-laki yang sudah menjadi suaminya sekarang.

"Makasih ya."

Hanya dua kata itulah yang keluar dari mulut Raven, setelah Camelia menunggu ucapannya.

"Makasih buat apaan," timpalnya langsung.

"Karena kamu udah percaya kalau saya nggak mungkin melakukan hal gila itu."

Camelia sedikit menurunkan pandangan dan bahunya, melepaskan sentuhan tangan Raven di kepalanya, meskipun ia tengah menikmati usapan telapak tangan Raven laki-laki itu.

"Maksud lo apaan sih, Rav. Jangan berbelit-belit dong, gue nggak paham."

Raven menjauhkan tubuhnya dari Camelia sembari mengembuskan napasnya dengan pelan, mungkin sudah saatnya juga ia berterus terang, tidak baik berlama-lama membuat istrinya marah dan berpikiran yang tidak-tidak, terlebih kepada adiknya, Yuna.

"Saya nggak berselingkuh kok, dan perempuan yang bersama saya tadi adalah Yuna, adik kandung saya, semua itu hanya pura-pura saja," tutur Raven menjawab keresahan yang dirasakan oleh Camelia sejak tadi, dan jujur dirinya merasa bersalah karena telah melibatkan Yuna dan Camelia.

Perempuan itu langsung menjelak dan membuka mulutnya sedikit menganga. Pipinya terasa tertampar dengan jawaban Raven barusan. Ada rasa bahagia ketika apa yang dicemburukannya tidak terbukti, namun di lain sisi, ia pun tidak ingin Raven berpikir jika ia mulai mencintainya, dan membuatnya malu sendiri dengan kecemburuannya itu.

"J-jadi lo nggak selingkuh? Dan perempuan itu adik perempuan lo?"

Raven langsung mengangguk menjawab kerisauan istrinya dengan sudut bibir terangkat.

"Terus kenapa lo lakuin hal itu ke gue, Rav? Sampe gue berpikir yang nggak-nggak sama adik lo. Lo kenapa pura-pura segala!" Camelia mencecar alasan mengapa Raven melakukannya.

Nada bicara perempuan itu sudah mulai berbeda, ada rasa takut yang menyeruak di raut wajahnya sekarang, terlebih kepada adik iparnya sendiri.

"Karena saya ingin buat kamu cemburu, dan ternyata terbukti kamu cemburu dengan begitu mudah saat saya bersama perempuan. Satu hal lagi, kamu bisa paham dan tahu alasan kenapa saya nggak menyentuh kamu setelah kita menikah selama dua minggu. Karena saya pikir kamu belum siap atau kamu belum menerima pernikahan ini, meskupun kamu yang meminta saya untuk menerima perjodohan ini."

Camelia benar-benar tidak bisa bicara apa-apa, hanya untuk menggerakkan lidahnya saja pun terasa sulit, karena apa yang diucapkan oleh Revan memang benar, ia masih belum berani untuk melakukannya dengan Raven. Bahkan dirinya sendiri yang telah menghancurkan rencana awalnya yang ingin membuat Revan jatuh cinta lebih dulu dengan godaannya nanti. Namun, semuanya terbalik karena dirinyalah yang terlihat cemburu saat laki-laki itu bersama perempuan lain, kecemburuan tersebut membuktikan jika ia yang sudah memiliki perasaan kepadanya.

Perempuan itu hanya dapat merutuk kebodohannya dalam hati sembari menghindar dari tatapan Raven yang menginterogasinya.

"Lo jahat, Rav!" gumamnya sembari memanyunkan bibir dan memukul pelan dada bidang suaminya.

"Gue ngerasa nggak enak sama adik lo karena udah berpikiran yang nggak-nggak, gue kira dia selingkuhan lo," rancau Camelia menyalahkan sikap Raven.

Berbeda dengan istrinya yang sudah didera perasaan bersalah, Raven malah terlihat santai.

"Kalian bisa bicara nanti saat makan malam dengan kekacauan tadi akibat ulah saya. Tenang aja, Yuna baik kok."

Raven melengos pergi begitu saja dengan senyuman tipis yang masih menghiasi wajahnya saat melewati tubuh istrinya tanpa merasa bersalah. Laki-laki itu ingin membersihkan tubuhnya lebih dulu sebelum makan malam nanti dan membahas perihal ini. Sedangkan Camelia masih terlihat kesal dengan perbuatan Raven, dan mengingat sikapnya tadi yang tidak terlalu sopan kepada adik iparnya sendiri, meskipun ia tidak melabrak Yuna atau berbicara kasar kepadanya. Namun, tetap saja ia merasa tidak enak.

To be continued…