"Maksud Kak Raven apaan sih ngomong kek gitu segala di depan kak Camelia, aku nggak paham apa yang Kakak ucapkan sampai membuat kegaduhan di hari pertama aku ketemu dia," ucap perempuan itu yang menyusul kepergian kakaknya yang berada di ruang kerja. Ia membutuhkan penjelasan kepada Raven perihal pertengkaran tadi yang disebabkan olehnya. Ia merasa tidak enak kepada kakak iparnya sendiri yang pastinya sudah berpikiran ke mana-mana.
Perempuan itu adalah Yuna, adik perempuan Raven yang menempuh pendidikan di Amerika, karena perempuan itu tidak bisa hadir saat pernikahan kakaknya, maka baru sekaranglah bagi Yuna bisa bertemu dengan kakak dan kakak iparnya. Namun, di hari pertamanya kembali ke Indonesia, ia pun dibuat tak mengerti atas sikap kakanya sendiri. Padahal ia sudah sangat bahagia bertemu dengan Camelia.
Raven yang tengah difokuskan pada pekerjaan yang belum selesai di kantor, menghentikan gerakan tangannya di atas keyboard, mengembuskan napasnya pelan sembari menatap ke arah Yuna yang sudah memasang wajah ketidakmengertian meminta penjelasan. Sementara laki-laki itu malah tersenyum lebar, tidak menjadikan pertengkaran tadi masalah yang besar.
Raven sadar jika kekacauan tadi akibat ulahnya dan harus melibatkan Yuna yang tidak tahu apa pun, namun ia hanya ingin melihat raut kecemburuan dari perempuan yang sudah menjadi istrinya itu. Jika seorang cemburu bukankah tandanya memiliki perasaan, dan ia melihat semua itu di dalam raut wajah Camelia tadi yang sempat geram dengan perlakuannya kepada Yuna, seolah kepada kekasihnya sendiri.
Melihat kakaknya yang tersenyum begitu membuat Yuna malah tambah bertanya-tanya, memangnya apa yang sedang direncanakan oleh kakaknya, dan kenapa juga laki-laki itu tak memberitahunya terlebih dahulu.
"Kak Rav tolong jelasih dong, kenapa Kakak malah senyum-senyum gitu sih. Aku nggak mau kalau kak Mel berpikiran yang nggak-nggak sama aku, dan dia kira kalau aku selingkuhan kakak lagi," ucap ketus Yuna yang tidak mengerti dengan sikap kakaknya sekarang. Bagi Raven semua itu bukanlah masalah besar, namun berbeda dengan Yuna yang merasa tidak enak.
Raven beranjak dari kursi kerjanya dan berjalan mendekat ke arah Yuna, menatap lekat wajah adik perempuan tersayangnya itu. Ia merasa bersalah karena melibatkan Yuna dalam rencananya ini.
"Maafkan Kakak sebelumnya, Yun, karena Kakak kamu harus merasa nggak enak sama kakak ipar kamu sendiri, dan Kakak pun terpaksa melibatkanmu ke dalam kepura-puraan ini," tutur Raven yang mulai mengungkapkan.
Yuna mengerutkan dahi dengan keadaan bibir yang sedikit terbuka, kata-kata kepura-kepuraan membuatnya tambah bertanya-tanya.
"Maksudnya, Kak?"
"Kakak emang sengaja ngelakuin itu, hanya ingin membuat kakak ipar kamu cemburu, Yun," balas Raven setelah beberapa saat terdiam.
Raven menyilangkan kedua tangan di dada dan mengalihkam pandangan sebentar ke arah lain, mungkin sikapnya ini seperti anak kecil yang tengah merajuk.
"Cemburu? Emangnya Kakak dan kak Mel nggak tahu dengan perasaan masing-masing sampai sekarang? Kalian udah suami istri lho."
Yuna paling tidak bisa menunggu kalau seseorang menghentikan pembicaraan begitu saja, dirinya sudah dibuat pensaran dan tidak ingin ditambah penasaran lagi.
"Kita dijodohin dan nggak tahu dengan perasaan masing-masing, Yun. Kamu memang udah tahu dengan perasaan Kakak sama dia seperti apa? Masih ada hati untuknya, tapi sampai sekarang Kakak nggak pernah tahu apakah kak Mel suka atau nggak sama Kakak, karena dari dulu perempuan itu selalu nolak dengan perjodohan ini," balas Raven dengan penuh kejujuran.
Laki-laki sempat memunggungi Yuna dan kembali menghadap ke arah adiknya, ketika Yuna yang masih mencerna setiap kalimat yang dilontarkan oleh kakaknya.
"Maka dari itu Kakak ingin melihat ekspresi dia kalau Kakak dekat dengan perempuan lain, apakah cemburu atau sebaliknya," cetusnya kembali bernada sendu.
"Ya, aku tahu, Kak, tapi apakah ini semua nggak berlebihan, aku takut kalau kak Mel benci aku dan berpikiran yang nggak-nggak nanti." Sudah terlihat raut wajah ketakutan dari Yuna.
Raven menyentuh bahu adiknya sembari mengangkat ujung bibirnya tipis. "Kamu tenang aja, Yun, sandiwara ini nggak akan lama kok, setelah Kakak mendapatkan hak dan kewajiban Kakak sebagai suaminya," tutur Raven.
"Kakak dengan kak Mel belum melakukan hubungan suami istri setelah dua minggu menikah?" tanya perempuan itu dengan kedua alis yang berkerut.
Raven tersenyum kecut dan menganggukkan kepalanya.
"Ya," jawab Raven dengan pasrah.
"Tapi kenapa, Kak? Kakak nggak minta? Kakak punya hak untuk meminta lho." Yuna terus mencecar pertanyaan yang membuatnya cukup tersontak.
"Karena Kakak belum tahu dengan perasaan kak Mel, dan hal itu yang membuat Kakak enggan untuk meminta hak Kakak sebagai suami. Kakak melakukan sandiwara ini, hanya ingin tahu dengan perasaan perempuan itu, Yun."
Yuna benar-benar sudah mengerti dengan tujuan kakaknya bersikap seperti ini. Ada rasa kasihan yang melanda perempuan itu, padahal sudah sejak dulu kakaknya meyukai Camelia, namun sampai sekarang, setelah keduanya menikah, ia tidak tahu dengan perasaan istrinya sendiri.
Yuna mencoba untuk memberikan dukungan kepada Raven, sulit memang ketika berada di posisi seperti ini, dari dulu perasaannya tidak berubah kepada perempuan itu, meskipun ia pernah mencintai perempuan lain, namun tetap kembali kepada Camelia.
***
Camelia yang baru saja selesai membersihkan tubuh dengan memakai baju tidur lengkap, sementara tangannya sibuk meng-hairdryer rambutnya yang basah, terpaksa harus menghentikan langkah kakinya ketika saling berhadapan dengan Raven yang baru saja selesai mengobrol dengan Yuna.
Kekesalan yang masih menggebu di dalam batin perempuan itu belum bisa hilang sebelum Raven menjelaskan semuanya. Ia masih belum percaya jika Raven memiliki selingkuhan, ia mengenal baik laki-laki itu, tidak mudah untuk menjalin hubungan dengan perempuan lain, apalagi posisinya sudah menikah.
"Lo bisa jelasin ke gue maksud pelukan lo dengan perempuan tadi, Rav?" tanya Camelia dengan wajah kesal, bahkan giginya terus dihentakkan menggambarkan keadaannya sekarang.
Raven mencoba bersikap biasa saja, tidak terkecoh dengan emosi dari istrinya, malahan ia suka melihat Camelia yang tengah marah begitu, terlihat jelas kecemburuan.
"Kamu bisa ubah cara bicara kamu yang seperti itu, Mel, sebelum kita menikah saya nggak mempermasalahkan dengan kata-kata nggak formal kamu. Tapi, sekarang kita udah nikah dan rasanya nggak pantas kamu bicara kepada suami kamu sendiri dengan sebutan 'lo, gue' saya nggak suka mendegarnya," tutur Raven yang melengoskan pembahasan ke arah lain. Ia pun memang berniat ingin mengubah kebiasaan Camelia yang selalu bicara tidak formal kepadanya, agar jauh lebih baik lagi.
"Kenapa lo ngatur hidup gue sih, Rav. Lo harusnya terima gue apa adanya dong!" sentak perempuan itu yang kurang suka dengan permintaan Raven.
"Karena saya suami kamu, wajar dong kalau saya melarang."
Camelia tersenyum kecut. "Suami? Suami yang baru dua minggu menikah, tapi udah bawa perempuan lain ke rumah ini, sampe pelukannya erat banget. Ternyata lo mudah kepincut sama perempuan lain, ya, gue kira kalau lo bener-bener cowok dingin yang nggak mudah dideketin. Tapi, ternyata dugaan gue salah selama ini. Lo berani nyentuh perempuan lain, tapi lo nggak berani nyentuh istri lo sendiri!" pungkas Camelia yang tersulut emosi dan terpaksa mengutarakan apa yang mengganjal di dalam hatinya. Selama dua minggu menikah dengan Raven, laki-laki itu belum pernah menyentuh tubuhnya sama sekali. Padahal ia sudah berusaha menggoda Raven, tapi pria itu seperti tidak tergoda.
"Apa di mata lo tubuh gue itu nggak seksi dan menggoda, ya, sampai lo nggak ada hasrat buat nyentuh gue."
Camelia terus menerus melontarkan kekesalannya, ia sangat cemburu ketika Raven belum memberikan nafkah batin kepadanya.
To be continued…