Hari ini, Camelia sudah berjanji untuk bertemu dengan sahabatnya yang bernama Renjana di kafe milik perempuan itu. Bisa dikatakan hanya Renjana-lah satu-satunya teman yang masih bertahan sampai sekarang karena pertemanannya dengan perempuan itu sudah terjalin sejak lama, dari sekolah menengah pertama sampai menengah atas. Meskipun tidak berada di kampus yang sama, namun keduanya masih tetap berkomunikasi dengan baik. Renjana tidak meninggalkan Camelia seperti teman-temannya yang lain. Entah, ia pun tidak tahu mengapa teman-temannya dulu yang sangat dekat dengannya namun kini malah menghilang pergi tanpa kabar. Namun, dari masalah yang sudah berlalu, Camelia sadar jika memiliki satu sahabat lebih baik dibanding ribuan teman, karena terbukti Renjana yang selalu ada ketika keadaannya yang tengah kalut atau bahagia.
Hari ini keadaannya sudah mulai pulih, ia bisa beraktivitas kembali, walaupun kakek Rasya belum memberikan jabatan di perusahaannya, tetapi perempuan itu lebih banyak membantu bisnis tante Mely dan menjadi digital marketing di beberapa bisnis yang sedang dijalankan oleh perempuan itu. Bisa dikatakan jika Camelia sangat handal di dunia perdigitalan dan pemasaran, bahkan mampu bekerja sama dengan klien yang mau berinvestasi di beberapa restoran milik tante Mely.
Perempuan itu mengembuskan napasnya pelan sembari mengubah posisi duduk lebih menyandar di punggung kursi sembari menunggu Renjana yang masih sibuk dengan pekerjaannya, lagi pula ia tidak ingin mengganggu perempuan itu, karena kedatangannya ke sini pun hanya ingin sekedar curhat saja kepada Jana, panggilan Camelia kepada perempuan itu.
Sesekali Camelia mengedarkan pandangan ke arah ponsel yang tergeletak di atas meja, sembari mengembuskan napasnya pelan, secangkir espresso yang sejak tadi pun hanya didiamkan saja. Pikirannya tidak sedang bersahabat dengan lidah, sehingga membuatnya enggan untuk menyesap kopi tersebut yang sudah mulai dingin, ditambah dengan beberapa pesan dan panggilan dari Mahesa yang diacuhkan begitu saja.
"Sorry ya, lo pasti lama nunggu gue," sahut perempuan itu yang baru saja datang dan membuyarkan keterdiaman Camelia sesaat.
Renjana duduk berhadapan dengan sahabatnya, dan tatapannya pun langsung diarahkan ke arah Camelia yang tampak tak bersemangat, bahkan dengan kopi favoritnya yang seperti belum disentuh sama sekali.
Renjana menyentuh punggung tangan perempuan itu untuk memastikan keadaan Camelia, apakah masih sakit atau benar-benar sembuh.
"Lo kenapa, Mel, keknya nggak semangat gitu sih, bentar lagi 'kan lo mau nikah?"
Sekarang giliran Renjana yang merasa bingung dengan sikap sahabatnya itu, setelah kabar bahwa Camelia akan dijodohkan dengan Raven, perempuan itu tidak mengatakan apa pun. Entah keberatan menikah dengan laki-laki yang tak dicintai atau laki-laki yang bukan tipe idelanya. Hanya mengatakan jika ia akan menikah dengan kakak tingkat saat SMA yang dua tahun lebih tua darinya.
Camelia berusaha tersenyum tipis di hadapan Renjana. Apa dirinya harus bahagia atau sebaliknya.
"Lo nggak mau nikah sama Raven?"
Karena belum mendapatkan jawaban dari Camelia membuat Renjana menimpal lagi.
"Nggak kok."
"Alah bohong lo, gue tahu hidup lo dengan Raven itu sangat berbanding terbalik, Mel, beda banget 360 derajat. Lo yang suka kebebasan dan nggak suka dikekang, sementara laki-laki itu sejak dulu terkenal dingin dan nggak suka kebebasan. Gue nggak bisa membayangkan kalau nanti lo dan dia nikah, hidup bersama dengan dua sifat yang sangat berbeda," ungkap Renjana yang terus nyerocos.
"Pasti hal itu, kan, yang membuat lo nekukkin wajah kaya gini."
Sebelumnya, Camelia memang pernah berpikir seperti itu, ia takut jika kehidupannya nanti terkekang oleh Raven, ia sangat tahu sikap dan sifat dari laki-laki itu yang berbeda dengan teman laki-lakinya dulu. Namun, dengan perlahan ia mulai menghilangkan pikiran seperti itu, malahan ia ingin membuatnya jatuh cinta lebih dulu.
"Lo batalin aja kalau hati lo nggak sreg, daripada lo nyesel nanti dan sulit juga minta cerai ke dia. Perempuan itu susah kalau gugat cerai," cetus Renjana yang mulai memikirkan nasib sahabatnya nanti. Bukan tanpa alasan juga, karena ia sangat tahu dengan sifat Camelia yang cukup bar-bar yang jauh berbeda dengan Raven, dan ia pun yakin kalau sahabatnya ini bukanlah tipe ideal Raven.
"Nggak bisa, Jan." Camelia langsung menimpal.
"Why? Lo ada rasa sama Raven?"
Perempuan itu hanya mendesah pelan. lagi dan lagi jika ditanya mengenai perasaan kepada laki-laki itu, ia belum bisa mendeskripsikan perasaannya sekarang. Tidak bisa dikatakan jika dirinya belum memiliki perasaan kepadanya, namun tidak bisa dikatakan pula jika ia sudah mulai ada rasa kepadanya, karena begitu sulit untuk digambarkan dan dirinya pun bingung dengan keadaannya sendiri.
Sejak awal ia meminta Raven menyetujui pernikahan ini agar dirinya bisa mendapatkan posisi sebagai CEO di salah satu perusahaan kakek Rasya, namun setelah berulang-ulang kali berpikir dengan tujuan pernikahannya yang salah, keinginan tersebut mulai hilang jika menjadikan pernikahan yang sakral hanya menginginkan jabatan semata, karena ia yakin jika kakek Rasya pasti akan memberikan jabatan tersebut kepadanya suatu saat.
"Belum sih, tapi nggak tahu nanti kalau gue yang bakalan jatuh cinta duluan sama dia," balas Camelia setelah beberapa detik terdiam.
"Terus apa yang membuat muka lo mesem gini, Mel. Gue, kan, nggak paham?"
Dengan perlahan, Camelia menaikkan sudut bibirnya sebuah senyuman tercipta dengan jelas di wajahnya.
"Gue lagi berpikir membuat Raven jatuh cinta ke gue, Jan, entah dengan cara apa pun itu. Lo tahu sendiri dia kaya gimana orangnya, dan jujur itu merupakan tantangan bagi gue untuk membuatnya jatuh cinta. Gue sadar laki-laki dingin dan irit bicara sepertinya mungkin sulit ditaklukkan, tapi gue pengen dia yang jatuh cinta lebih dulu ke gue, bukan gue yang jatuh cinta lebih dulu ke dia," ungkap Camelia yang pada akhirnya melontarkan apa yang sedang dipikirkannya sejak tadi.
Ranjana tampak tertohak mendengarnya, padahal sejak tadi ia berpikir jika sahabatnya itu tidak menginginkan pernikahan ini terjadi atau menikah dengan Raven. Namun, ternyata dugaannya salah, Camelia ingin membuat calon suaminya jatuh cinta kepadanya lebih dulu.
Renjana malah melebarkan bibir dan tertawa puas.
"Lo kenapa tertawa gitu, Jan? Ada yang lucu?"
"Ya,"
"Perasaan gue lagi nggak ngelucu deh."
"Ya emang, tapi gue pengen ketawa aja dengan curhatan hati lo, Mel. Gue kira muka lo dari tadi ditekuk gini karena nggak mau nikah sama Raven, karena lo berdua, kan, beda banget, dari karakter atau apa pun itu. Tapi, ternyata lo berpikir ingin membuatnya jatuh cinta," ulang secara detail Renjana perihal ucapan Camelia tadi.
"Hehe … ya gue baru kepikiran sih, soalnya di balik sikap Raven yang nyebelin dan dingin, ternyata dia peduli, perhatian, dan—"
"Dan itu yang membuat lo mulai jatuh cinta lebih dulu," timpal Renjana yang memotong perkataan Camelia yang belum selesai. Renjana sudah bisa menebak jika sahabatnya ini sudah mulai membuka hati kepada laki-laki itu, karena terlihat dari raut wajahnya.
"Gue nggak jatuh cinta sama dia kok," Camelia mengelak dengan perasaan itu.
"Gue bilang mulai jatuh cinta, bukan sedang, Mel, buktinya lo ngerasa suka dengan perhatian yang diberikan oleh Raven kepada lo."
Kali ini Camelia tidak bisa mengelak dengan perasaannya, setelah mendapatkan perhatian saat dirinya tengah sakit dua hari yang lalu, ia melihat sosok Raven yang sangat berbeda dalam memperlakukannya. Sikap dingin yang dibalut dengan perhatian, apa begitu mudah baginya untuk jatuh cinta kepada laki-laki itu?
To be continued…