Chereads / Seduction Romance / Chapter 25 - Tersulut Emosi Dengan Keadaan

Chapter 25 - Tersulut Emosi Dengan Keadaan

Hanya membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam dari perusahaan sampai tiba di kawasan apartemen Camelia. Jalanan hari ini di kota Jakarta tidak terlalu macet membuat Raven bisa mengemudikan mobilnya dengan cepat, sesuai dengan perkiraan dan ucapannya via telepon tadi jika dirinya akan tiba dalam waktu tiga puluh menit.

Laki-laki itu turun dari mobil dan melangkah cepat menuju unit kamar Camelia. Perasaannya kembali sudah campur aduk, apalagi dengan pesan yang ia kirim sebelum mengemudi belum mendapatkan balasan dari Camelia, padahal sejak tadi perempuan itu sedang online. Entah apa yang terjadi padanya, untuk saat ini Raven tidak bisa berpikir jernih, mengingat suara perempuan itu yang sangat berbeda seperti menahan sesuatu yang menyakitkan sehingga bayang-bayang hal yang tak diinginkan menguasai pikirannya.

Camelia benar-benar tak mengunci pintunya yang sedikit terbuka, membuat Raven lebih mudah untuk masuk ke dalam ruangan yang terlihat sepi, hanya terdengar suara perempuan itu tengah mual-mual seperti ingin memuntahkan sesuatu di dalam toilet.

"Mel ….!" Panggil Raven yang berjalan ke arah toilet.

"Hueek …." Terdengar suara dari dalam yang membuat Raven tambah dibuat cemas.

"Huek …."

"Mel, kamu kenapa?" tanya Raven yang mengetuk pintu dengan perasaan gusar, karena Camelia tidak menjawab dan masih berkutat dengan keadaannya.

Sekian detik belum ada balasan dari dalam membuat Raven tambah mengkhawatirkan keadaan perempuan itu.

"Mel, buka pintunya!" teriak laki-laki itu yang kembali mengetuk cukup keras.

"CAMELIA!" gertak Raven yang sudah mulai kesal.

"G-gue nggak apa-apa kok, Rav, nanti gue keluar bentar lagi." Terdengar jawaban darinya setelah beberapa saat tak menjawab pertanyaan Raven, ketika wajah laki-laki itu yang sudah berubah.

Raven yang benar-benar mengkhawatirkannya terus berusaha mengetuk agar Camelia segera membuka pintunya. "Tolong buka pintunya, Mel, saya khawatir dengan keadaan kamu, apa kamu sedang mengajak bercanda kepada saya!" teriaknya kembali yang sudah terlihat putus asa. Tidak mengerti dengan keadaannya sekarang, kenapa dirinya terlalu berlebihan sekali.

Beberapa saat kemudian, pintu toilet pun terbuka sampai Raven harus memundurkan kakinya ketika perempuan itu melangkah keluar, dan terlihat wajahnya yang sudah pucat dengan cipratan air yang menempel.

"Kamu kenapa, Mel." Raven mendekatkan jarak tubuhnya dengan Camelia, emosinya tidak terkontrol setelah melihat wajah perempuan itu yang tidak baik-baik saja, lemas dengan bibir yang pucat. Rasanya ingin sekali menyentuh wajahnya yang kurang bertenaga dengan punggung tangannya. Namun, Raven berusaha untuk tidak melakukan, karena ia yakin pasti Camelia akan merasa aneh dengan sikapnya, terlebih dengan kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikannya sejak tadi.

"G-gue nggak apa-apa kok, Rav." Camelia berusaha untuk mengalihkan wajahnya ke arah lain menghindar dari tatapan Raven yang terlihat berbeda. Kecemasan yang tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.

"Kamu nggak usah berbohong, Mel, tadi saya denger kamu seperti mual-mual. Ada apa sebenarnya?"

"Iya, aku cuma mual-mual aja dan nggak enak badan."

Raven berusaha menahan nada bicaranya yang cukup tinggi dan mungkin akan mempengaruhi perempuan itu yang takut dengannya nanti.

"Ya udah sekarang kamu istirahat."

Dengan sigap Raven membantu Camelia berjalan secara perlahan menuju tempat tidurnya, kali ini Raven benar-benar memperlakukannya dengan sangat berbeda, lebih lembut dan sangat perhatian dibanding biasanya. Apa karena sekarang ia dalam keadaan sakit sampai sikap laki-laki itupun berubah. Selain itu, Raven pun membantunya untuk menyandarkan tubuh di punggung ranjang, lalu menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuh Camelia.

Raven masih setia duduk di tepi ranjang dengan tangan yang masih menyatu dengan tangan Camelia. Keduanya tampak saling pandang dari jarak dekat, hembusan napas yang dikeluarkan oleh perempuan itu terdengar jelas di telinga Raven. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dibanding ketika dirinya jatuh cinta kepada Luna, apa sebegitu besarnya perasaan Raven kepada Camelia yang tidak pernah hilang sejak dulu.

Tersadar jika tangannya masih saling bersentuhan, Raven menurunkan pandangannya lalu dengan perlahan melepaskan pagutan tangan tersebut. Ada rona kekecewaan yang tercipta di wajah Camelia ketika laki-laki itu melepaskan tangannya. Entah, mengapa dirinya terlihat kecewa, bukankah perasaan suka kepadanya tidak ada.

"Apa yang kamu makan pagi tadi sampai buat kamu mual-mual begini?" tanya Raven yang menahan telapak tangannya agar tidak menyentuh wajah perempuan itu. Padahal batinnya ingin sekali melakukan.

"Ehm … gue cuma makan sandwich sama yogurt doang kok, Rav. Nggak makan yang aneh-aneh, tapi entah kenapa tiba-tiba mual gini sampai harus pulang lebih dulu dari pertemuan penting tadi," balas Camelia dengan penuh kejujuran, dirinya pun tidak mengerti dengan kondisi tubuhnya yang drop secara tiba-tiba.

Dan tatapan berbeda pun disoroti Raven kepadanya, padahal ia sudah berkata jujur namun entah apakah laki-laki itu akan percaya atau tidak, mengingat jika Raven selalu tahu apa pun yang dilakukannya dan selalu curiga dengan hubungannya bersama Mahesa.

"Gue serius, Rav, gue nggak ngelakuin apa pun. Pagi tadi gue cuma ketemu klien yang akan bekerja sama dalam waktu dekat sama gue," tukas Camelia yang seolah tahu dengan apa yang dipikirkan Raven.

"Saya nggak lagi curigain kamu kok," timpal Raven singkat.

"Tapi, muka lo yang berbicara seolah gue kek gini karena udah ngelakuin sesuatu yang lo benci." Camelia mulai tersulut emosi karena aura wajah yang ditampilkan oleh laki-laki itu terlihat masih curiga kepadanya.

"Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu, Mel, pikiran kamu terlalu jauh."

"Karena lo selalu tahu apa pun yang gue lakuin, lo selalu curiga, apalagi saat gue tinggal di Australia, lo seperti nyuruh seseorang untuk memantau kehidupan dan pergaulan gue di sana!"

"Apa lo pikir dengan keadaan gue sekarang yang lagi mual-mual pengen muntah tapi nggak ngeluarin apa pun karena sedang hamil," pungkas Camelia yang membuat kedua kelopak mata Raven melebar. Padahal ia sama sekali tidak pernah berpikir sejauh itu, yang sedang dipikirkannya sekarang jika Camelia tengah masuk angin, hanya itu saja, kata-kata hamil tidak pernah terbesit di dalam benaknya.

Raven mengembuskan napasnya sedikit kasar, meskipun keadaan perempuan itu sedang sakit namun nada bicaranya tidak menggambarkan jika sedang tidak baik-baik saja.

"Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan, Mel! Saya nggak ada hak untuk curiga terlalu berlebihan begitu sama kamu!"

"Saya memang memantau dengan kehidupan kamu dulu, tapi untuk mencurigai sesuatu hal di luar batas dengan apa yang kamu katakan tadi, bukanlah hak saya!" tukas Raven yang merasa tidak suka dengan kalimat yang dilontarkannya. "Bahkan di otak saya nggak pernah terbesit kalau sekarang kamu lagi hamil, saya percaya sama kamu kok, kamu nggak mungkin melakukan hal seperti itu, apalagi kamu adalah perempuan pilihan dari nenek saya."

Camelia langsung terdiam seketika dengan jawaban Raven barusan, ia merasa cukup menyesal karena terlalu berlebihan dalam menyikapi wajah laki-laki itu yang salah diartikan sampai memantik emosinya. Mungkin hal ini didorong dengan sikap Raven yang masih enggan untuk menerima karena masa lalunya.

To be continued…