Jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB, ketika mobil yang dikemudikan oleh perempuan berparas cantik dengan rambut panjang yang sengaja digerai itu sudah tiba di perusahaan kakeknya. Siapa lagi kalau bukan Kenes Camelia Kirana yang masih penasaran dengan jawaban Raven kepada kakeknya, laki-laki itu selalu memberikan teka-teki yang membiarkannya mencari tahu sendiri, padahal tinggal diucapkan saja oleh mulutnya tidak usah membuat orang penasaran. Setelah pekerjaannya selesai di kafe bersama tantenya. Perempuan itu memutuskan untuk kembali ke tempat yang beberapa jam yang lalu didatangi, sebelum bertemu dengan laki-laki menyebalkan itu dan mengajaknya untuk makan siang bersama. Ia berharap agar Kakek Rasya berada di ruangannya dan tidak terlalu sibuk, apalagi sampai memberikan perintah agar tidak diganggu, jika mengingat pesan dari Pak Raffi yang mengatakan jika kakeknya memang berada di ruangan.
Derap langkah kaki perempuan yang memiliki tubuh tinggi semampai layaknya seorang model tersebut memantik pandangan dari orang-orang yang tengah melintas, ada yang memberikan senyuman hangat dan berakhir hormat kepadanya, karena sebagian para karyawan di perusahaan kakek Rasya sudah tahu dengan sosok Camelia yang merupakan cucu dari atasannya, yang tentu saja harus dihormati seperti kepada Kakek Rasya. Dan hal inilah yang sangat diinginkan oleh Camelia jika sampai kakek Rasya memberikan jabatan CEO di perusahaan impiannya. Perempuan itu akan melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan tentunya dikenal sebagai CEO muda yang berpengaruh untuk lebih memajukan perusahaan sang kakek, bahkan sampai detik ini ia terus berusaha untuk mendapatkan jabatan yang diinginkan oleh setiap orang, walaupun harus menikah dengan laki-laki yang sama sekali tak termasuk dalam kriteria calon suami idamannya.
Sesampainya di ruangan sang kakek dengan menaiki lift khusus yang hanya diperuntukkan untuk staf-staf tinggi di perusahaan, dengan tangan yang sudah hampir menempel di pintu ruangan untuk mengetuk. Namun, terhenti ketika terdengar suara obrolan dari dalam yang sepertinya kakek Rasya sedang berbicara dengan seseorang via telepon. Tidak aneh memang namun mendengar nama yang disebut oleh kakeknya mengingatkannya pada seseorang yang spesial dalam hidupnya dulu. Camelia merasa jika di dunia ini yang memiliki nama 'Mahesa' hanya mantannya saja, padahal di Jakarta pun banyak yang memiliki nama yang sama. Namun, entah mengapa ia masih teringat dengan mantannya itu yang memang sulit untuk dilupakan setelah apa yang dilakukan kepadanya, padahal tidak seharusnya ia mengingat Mahesa secara terus menerus dan mengharapkannya lagi.
Tanpa mengetuk pintu, Camelia masuk begitu saja ketika kakek Rasya menyudahi obrolannya dengan salah satu klien yang akan bekerja sama dalam waktu dekat dengan perusahaannya. Perempuan itu langsung menyiratkan senyuman ketika pintu terbuka dan ditatap oleh laki-laki dengan rambut yang sebagian beruban, namun selalu berpakain modis seperti laki-laki yang masih muda. Seorang laki-laki yang sangat dicintainya melebihi rasa cintanya dulu kepada Mahesa. Seolah sudah tahu dengan kedatangan cucunya ini, kakek Rasya tampak biasa dan beralih duduk di atas sofa, karena sebelumnya sekretarisnya sudah mengatakan dengan kedatangan cucunya pagi tadi sebelum terhenti ketika ia sedang mengobrol dengan Raven.
"Ada apa, Mel, kata Pak Raffi kamu ingin ketemu Kakek sejak pagi? Ada hal penting yang ingin kamu tanyakan?" tanya Kakek Rasya yang terlihat lebih bersahabat dengannya. Sikapnya jauh berbeda ketika keduanya sarapan pagi tadi.
Tanpa permisi, perempuan itu sudah mendudukkan bokongnya di atas sofa di samping sang kakek. Karena tidak ingin berlama-lama dan jiwa penasarannya yang begitu tinggi, Camelia sudah membuka mulutnya untuk berucap.
"Gimana dengan jawaban Raven perihal perjodohan itu, Kek? Dia nerima atau menolak?" Camelia langsung mengungkapkan tujuan datang ke sini hanya karena ingin menanyakan perihal itu.
Sekian detik dan berubah menjadi menit menunggu jawaban dari sang kakek yang tak kunjung membalas, entah apa yang membuat laki-laki itu terdiam dan seperti mempermainkan cucunya yang sudah memasang wajah penasaran, bisa dibilang sikapnya hampir sama dengan Raven yang selalu suka membuat orang menunggu.
"Kek! Apa jawabnnya?" Desak Camelia sembari menyenggol tangan laki-laki itu.
"Emangnya Raven nggak kasih tahu kamu, Mel," balasnya sembari beranjak bangun dan membuka ponsel, membaca pesan dari orang-orang penting yang dikirim via email.
"Nggak! Dan dia minta aku buat tanya ke Kakek, dia nolak aku ya? Karena aku nggak sesuai dengan standar calon istrinya," ungkap Camelia apa adanya sampai membuat Kakek Rasya tersenyum dengan statement cucunya itu yang tidak benar. Padahal sesaat Kakek Rasya melihat raut wajah Raven, tidak ada keberatan sama sekali laki-laki itu menerima Camelia untuk menjadi istrinya.
Rasya sadar jika Camelia memang masih belum seratus persen berubah, walaupun cucunya itu cantik, pintar dan juga bertalenta, namun kelemahan Camelia yang selalu bersikap sembrono, pergi dengan teman-temannya yang entah melakukan hal apa, kadang bersikap kekanak-kanakan, dan tentu saja sering membohonginya. Bahkan sekarang saja, ia masih belum yakin untuk menempatkan cucunya di perusahaan yang beban kerjanya jauh lebih besar dibanding menempatkannya di coffee shop milik Mely, putrinya.
"Tuh cowok rese banget sih, sok ganteng. Disangkanya aku nggak laku gara-gara nunggu dia doang, padahalkan banyak cowok yang naksir sama aku dan tentunya mau jadi suami aku. Seharusnya dia beruntung bisa nikah sama aku," gerutu Camelia sembari mencemberutkan wajah yang sudah frustrasi. Hampir saja ia kecepolosan mengatakan kalimat andalannya yang selama ini dilontarkan kepada Raven. Jika bukan karena ingin harta dari kakeknya, ia pun tidak ingin menikah dengan laki-laki dingin sedingin bongkahan batu es di kutub utara itu. Mungkin setelah ia menikah nanti, akan begitu sulit baginya untuk mendekati Raven atau melakukan hubungan-hubungan fisik dengannya, karena sikap Raven yang terlalu kaku dan selera Raven yang amat tinggi.
"Dia terima perjodohan ini kok, Mel. Raven laki-laki baik dan bertanggung jawab, Kakek hanya akan merestui jika kamu menikah dengannya, tapi tidak dengan laki-laki lain," cetus Kakek Rasya telak membungkam pikiran Camelia yang tidak-tidak kepada Raven.
Camelia begitu tersontak ketika kakek Rasya mengatakan jika Raven menerima perjodohan ini tanpa ada alasan apa pun. Bahkan tanpa sadar perempuan itu membuka mulutnya sedikit menganga di hadapan kakeknya antara percaya atau tidak. Namun, mengingat dengan ucapan dari Raven siang tadi, seolah jika laki-laki itu sudah memberikan tanda jika memang menerimanya. Mungkin otaknya saja yang lemot belum mencerna dengan baik.
Tiba-tiba saja wajah Camelia mendadak memerah seperti udang rebus yang baru saja diangkat, antara bahagia dan bingung setelah menjadi istri Raven, dirinya harus melakukan apa. Dan hal itu terlihat jelas oleh sang kakek yang masih memperhatikannya.
"Kakek serius?" Perempuan itu masih bertanya dengan dahi yang berkerut, mungkin saja telinganya sedang bermasalah.
"Serius, bahkan Raven meminta jika pernikahannya harus dilakukan dalam waktu dekat, sekitar satu bulanan. Mengingat kesibukan Raven yang akan ditugaskan ke luar kota dan luar negeri."
Camelia masih menampilkan wajah yang sama. Terkejut dan tak percaya. "Lalu, Kakek setuju?" Pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan malah keluar dari mulutnya begitu saja, seolah jika perempuan itu keberatan dengan adanya pernikahan ini.
"Ya setujulah, Mel, lebih cepat lebih baik, supaya kamu segera mengubah sikap dan tentunya penurut jika sudah memiliki suami, nggak membangkang seperti kepada Kakekmu ini yang sering sekali kamu bohongi," tukas Kakek Rasya yang langsung menjawab dan mengungkapkan fakta yang ada.
Entah bagaimana ia harus menggambarkan keadaan dan wajahnya sekarang, bukankah dirinya yang sangat mengharapkan Raven menyetujui pernikahan ini, agar bisa mendapatkan harta dan juga jabatan CEO. Namun, setelah Raven mengiakan, sekarang malah dirinya yang bingung. Sejujurnya Camelia memang belum siap menikah dan hidup dalam ikatan pernikahan dengan seseorang di dalam satu rumah yang sama nanti. Jiwa bebasnya masih tinggi, tidak ingin dikekang. Namun tentu saja setelah menikah dirinya harus menuruti perintah dari Raven. Apalagi tahu bagaimana sikap Raven yang sebenarnya, pastinya laki-laki itu akan banyak melarangnya melakukan hal apa pun yang dianggapnya negatif, termasuk berkumpul dengan teman-temannya untuk clubbing. Perempuan itu tidak bisa membayangkan nanti akan terkurung di rumahnya sendiri. Belum sah menjadi istri dari Raven, tapi Camelia sudah berpikiran ke mana-mana.
To be continued…