"Rav, lo nggak mau kasih tahu gue? Gimana kalau nanti gue mati penasaran dan lo tersangka sebagai penyebab utama kematian gue. Lo pasti akan masuk penjara," cetus Camelia yang menghentikan langkah kaki Raven ketika akan memasuki mobilnya untuk segera bergegas pergi setelah perutnya terisi ditraktir oleh perempuan itu.
Tatapan Camelia sama sekali tak beralih dari Raven, jelas terlihat jika sekarang perempuan itu benar-benar sangat pensaran, karena sejak tadi Raven seperti menghentikan obrolan sepihak mengenai perjodohan, apalagi setelah laki-laki itu mengatakan kalimat seolah menerima perjodohan ini. Untuk jawaban yang pasti Camelia memang belum tahu.
"Kamu tanya kepada kakek Rasya, ribet banget sih jadi orang," balas Raven dengan malas dan malah membuat Camelia semakin penasaran dan tak sabar ingin segera bertemu dengan kakeknya.
Laki-laki itu melangkah pergi begitu saja. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan Camelia dengan tangan yang sudah menyentuh handle pintu mobil untuk dibuka. Raven kembali menoleh ke arahnya yang masih diam mematung. Ia terlupa untuk mengatakan sesuatu atas kebaikan Camelia siang ini.
"Thank's karena udah traktir saya makan siang, dan satu lagi tolong ubah sikap dan kelakuan kamu jika ingin dilirik oleh saya," sahut Raven yang kali ini benar-benar masuk ke dalam mobil. Sementara perempuan itu masih terlihat membeliakkan mata dan mencerna kata-kata dilirik yang diungkapkan oleh laki-laki itu.
"Dilirik, maksudnya? Gue harus berubah kalau pengen dicintai sama dia gitu? Tapi, siapa juga yang pengen dicintai Raven, toh gue mau nikah sama dia karena jabatan CEO dan harta dari kakek gue doang." Camelia terus mendumel sendiri ketika mobil yang ditumpangi Raven sudah melaju meninggalkan restoran. Padahal ia ingin meminta penjelasan darinya. Entah kenapa Raven sering sekali meninggalkan kata-kata yang membuatnya bertanya-tanya, dan harus berpikir keras untuk mencernanya.
"Ah … gue harus tetap meminta penjelasan sama dia nanti setelah tiba di kafe, gue nggak paham dengan maksud perkataannya. Kenapa dia ngerasa kalau gue mau dilirik sama dia," celetuk Camelia yang masih merasa kesal dan mengganjal atas ucapan Raven.
Siang ini perempuan itu akan kembali ke coffee shop yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kediaman rumahnya, sebelum melanjutkan pendidikannya di Australia, Camelia memang pernah mendirikan bisnis start up bersama tante Mely, bahkan sampai sekarang kafe tersebut masih berdiri dan tambah ramai pengunjung yang datang, walaupun tetap tujuan utama perempuan itu ingin menjadi CEO di salah satu perusahaan kakeknya, ia ingin dipandang sebagai seseorang yang hebat dan ditatap takjub oleh para karyawan jika ia berjalan menuju ruang kerjanya sembari diberikan hormat seperti di drama-drama Korea yang pernah ditontonnya. Tanpa berpikir panjang dan tak tahan karena terik matahari yang terlalu menyengat kulitnya, perempuan itu berjalan terburu-buru memasuki mobilnya menuju kafe tante Mely.
Sesampainya di kafe, Camelia benar-benar menghubungi Raven untuk meminta penjelasan dari laki-laki itu atas ucapannya, ia tidak ingin dicap menikahi Raven karena menyukainya. Padahal sebelumnya ia sudah mengatakan jika pernikahan ini hanya karena harta bukan karena cinta. Tidak ada cinta bagi laki-laki itu, walaupun ia tak menampik Raven sangat tampan namun tidak sesuai dengan kriteria laki-laki idealnya.
"Ayo jawab, Rav, sebelum lo pergi kenapa tadi lo bilang kalau gue pengen dilirik lo, gue harus mengubah sikap segala?" Perempuan itu terus mencecar pertanyaan kepada Raven ketika ponsel yang sudah menempel di pipi dekat telinganya. Tanpa tahu jika posisi laki-laki itu sedang menyiapkan diri untuk memimpin presentasi siang ini dengan para karyawannya. Anehnya Raven seperti tersihir dengan panggilan dari perempuan itu yang seharusnya diabaikan namun malah diterima, sehingga terjadi lagi perdebatan yang membuat kepalanya pusing. Mungkin untuk mencari hiburan sehingga membuatnya mau menjawab panggilan Camelia.
"Eh, Rav, denger ya. Tujuan gue mau nikah sama lo itu cuma pengen dapat jabatan CEO yang kakek Rasya janjikan ke gue, dan selebihnya nggak ada rasa sedikitpun gue ke lo, tapi dengan ucapan lo tadi seolah-seolah kalau gue pengen banget dilirik sama lo." Camelia kembali mengungkapkan rasa keberatannya lagi agar Raven memahami maksudnya itu.
Namun, laki-laki itu hanya menanggapinya dengan senyuman yang berakhir dengan kekehan kecil.
"Udah kamu bicaranya? Saya sibuk dan sebentar lagi mau meeting. Tapi, bagus sih kamu telepon saya di waktu yang tepat, ketika saya akan dipusingkan untuk mempersiapkan bahan presentasi. Itung-itung mencari hiburan," kekeh Raven.
"What?!" Camelia menjelak seketika mendengar suara kekehan dari Raven yang jelas terdengar di telinganya, berarti laki-laki itu tak menganggap kekesalannya tadi dan hanya menganggap sebagai gurauan semata. Padahal ia sudah capek-capek mengeluarkan intonasi suaranya.
"Maksud lo apaan!" Ketika Camelia berucap, Raven sudah terlebih dahulu mematikan ponselnya sehingga tak mendengar sentakan dari perempuan itu.
Raven sadar jika hubungannya dengan Camelia begitu dekat, bahkan hampir setiap hari dirinya harus bertemu dan beradu argumen dengan perempuan itu yang selalu mengganggunya. Setelah puas mentertawakan subjek yang tidak ada didekatnya, Raven menyimpan ponselnya ke atas meja. Jujur saja panggilan Camelia barusan memberikan energi positif kepadanya, dan perihal dengan ucapannya tadi saat di restoran, ia mengatakannya dalam keadaan sadar dan tidak ada yang disembunyikan. Harapan agar Camelia berubah dan membuatnya kembali jatuh cinta, karena sampai detik ini, perasaannya kepada perempuan itu masih ada di dalam hati, meski harus terhalang dengan sikap dan kelakuannya yang tidak sesuai dengan harapannya. Kedatangan Luna di dalam hidupnya setelah berpisah dengan Camelia pun hanya singgah sebentar, apalagi perempuan itu pernah menyakiti dan meninggalkannya, rasanya tidak mungkin untuk kembali menaruh hati kepadanya, di saat ia dan Camelia sudah dijodohkan untuk membangun kehidupan bersama nanti.
Lamunan Raven terhenti sejenak ketika mendengar suara ketukan pintu yang membuyarkannya. Laki-laki itu menoleh ke arah pintu.
"Masuk," balasnya yang mulai bergegas untuk meninggalkan ruangannya menuju ruangan rapat, dan ia kira jika seseorang yang datang adalah Rafa, sekretarisnya namun salah seorang yang dihindarinya di kantor. Raven cukup tercengang dengan kehadiran Luna, namun ia harus bersikap profesional karena rapat kali ini pun melibatkan Luna. Bisa dibilang jika Luna memiliki jabatan penting di perusahaannya dan kinerja perempuan itu sangat baik.
"Maaf, jika kedatangan saya mengganggu Pak Raven," sahut Luna yang berbicara begitu formal dan berjalan ke arahnya.
Setelah keduanya tak memiliki hubungan selain seorang atasan dan karyawan, Luna memang akan bersikap lebih formal sekarang. Tidak seperti dulu yang berbicara tanpa ada jarak antara dirinya dengan Raven, kecuali jika di depan karyawan lain. Bagi perempuan berusia 28 tahun itu teramat sulit melupakan sosok Raven dalam hidupnya, terlebih ketika posisinya masih bekerja di sini, sering bertemu dan saling berinteraksi.
Laluna Faradita, adalah mantan kekasih Raven, keduanya menjalin hubungan selama satu tahun, sebelum Luna memutuskan hubungan dengannya ketika perempuan itu akan dijodohkan dengan teman masa kecilnya dulu. Namun, sampai sekarang Raven tidak pernah tahu dengan keberlanjutan hubungan Luna dengan temannya itu, ia tidak ingin tahu. Luna pun menjabat sebagai Head of Marketing di salah satu divisi pemasaran produk yang dipimpin olehnya. Sehingga mau tidak mau membuat jarak hubungan Raven dengannya kembali dekat, karena tentu saja Raven membutuhkan sosok Luna jika akan memasarkan beberapa produk di perusahaanya.
"Ada apa?" tanya Raven yang menghentikan tatapan perempuan itu kepadanya.
Luna tersadar dan menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga demi menghilangkan rasa gugup yang terus menderanya. Luna tidak menampik jika nama atasannya itu masih ada di dalam hatinya sampai sekarang, dan ia sangat menyesal ketika harus menyudahi jalinan cinta akibat kebodohannya sendiri, sampai harus menyakiti Raven.
"Ehm … saya hanya ingin menyerahkan laporan yang sudah saya, team leader dan anggota lainnya kerjakan, Pak."
Luna meletakkan berkas tersebut ke atas meja, ketika Raven yang sedang melihatnya. Luna pun ikut memperhatikan wajah Raven, ia teringat dengan perempuan yang bersama Raven saat di kafe waktu itu, rasa keingintahuannya amat tinggi dengan sosok siapa perempuan itu, sampai mengaku sebagai calon istri dari Raven segala. Apakah itu benar? Atau hanya permainan Raven ketika ia masih merasa sakit hati kepadanya dan berpura-pura sudah memiliki calon istri agar membuatnya cemburu?
To be continued…