Sesaat Raven menegakkan wajahnya, ia tak sengaja melihat Luna yang sedang memperhatikannya dengan begitu dalam, perempuan itu terlihat seperti ingin menanyakan sesuatu kepadanya dan mungkin terhalang oleh ego dengan hubungannya dulu. Padahal posisinya sekarang hanya sebatas atasan dan karyawan.
"Ada apa, Lun?" suara Raven yang terkenal deep menyadarkan perempuan itu dari keterdiamannya, dan di saat yang bersamaan Luna pun mengubah posisinya yang jauh lebih sadar jika tatapannya tadi mungkin diketahui oleh mantan kekasihnya.
"Ehm …." Luna menggaruk tengkuknya demi mencari posisi nyaman ketika Raven yang terus mengarahkan pandangan kepadanya.
"Kamu ingin mengatakan sesuatu kepada saya? Katakan saja, jangan sungkan."
Perempuan itu mengangkat wajahnya yang tadinya bimbang antara menanyakan kepada Raven perihal perempuan yang mengaku calon istrinya atau tidak. Bukan tanpa alasan mengapa Luna cukup bingung karena ia takut dengan jawabannya nanti, jika semisal Raven membenarkan perempuan itu adalah calon istrinya. Apa hatinya kuat menerima itu semua? Luna terus bermonolog di dalam hati, namun dengan perlahan ia mulai meneguhkan hati daripada menebak-nebak hal yang belum tentu benar.
"Saya hanya ingin tahu siapa perempuan yang bersama Pak Raven, perempuan yang dekat dan mendatangi Bapak saat kita tak sengaja bertemu di kafe?" tanya Luna dengan lantang. Cara bicaranya sangat berbeda ketika ia melihat Raven dan Camelia di café kala itu, mungkin karena terbawa emosi sehingga membuatnya tak sadar berbicara sedikit tak sopan kepada atasannya sendiri.
Kini giliran Raven yang terdiam, ia terlupa tidak memberitahu Luna sesaat perempuan itu bertemu dengan Camelia beberapa waktu yang lalu.
"Nggak usah formal," cetus Raven mengeluarkan suara, dengan jawaban yang sama sekali tidak diharapkan oleh Luna, bahkan membuat perempuan itu mengernyitkan wajahnya sekilas.
"Maksud kamu, Rav?"
Raven menyimpan berkas laporan pemasaran yang sudah dibacanya ke atas meja, walaupun tidak semua namun ia yakin dengan kinerja Luna dan tim dari divisi pemasaran yang memang sangat bagus tidak pernah mengecewakan.
"Jika berbicara dengan saya jangan terlalu formal, cukup gunakan bahasa yang informal saja tapi sopan, kecuali jika di depan karyawan lain," ucap Raven memberitahu.
Raven tidak pernah menyembunyikan hubungannya dengan Luna ketika keduanya masih menjalin hubungan dan saling mencintai, sehingga banyak karyawan yang tahu dengan jalinan cinta keduanya.
"Dan kamu bisa jelasin siapa perempuan itu." Luna langsung menimpali dengan bahasa yang diinginkan oleh Raven, karena sudah begitu penasaran sehingga tidak sabar dengan jawaban Raven. Walaupun di lain sisi ia takut jika perempuan itu memang calon istri mantan kekasihnya.
"Ya," balas Raven singkat dengan anggukkan kepala.
"Kamu serius, Rav? Kamu nggak bohong, kan?" Wajah Luna sudah mulai pias, bahkan dengan jantungnya yang tiba-tiba saja berdetak tak normal dengan pernyataan Raven barusan.
"Saya serius dan saya nggak berbohong. Nenek saya memang berniat menjodohkan saya dengannya sejak dulu, dan Camelia merupakan cucu dari sahabat nenek saya."
Luna semakin menohak dan kali ini terasa jika jantungnya seperti berhenti berdetak tatkala melihat wajah Raven yang tampak biasa saja, tak ada keraguan sama sekali. Apa laki-laki itu sudah tak memiliki perasaan lagi kepadanya, atau karena begitu sakit hati dengan perlakuannya satu tahun yang lalu sehingga mudah melupakan seseorang yang pernah ada di dalam hatinya dulu. Tanpa Luna tahu jika hati Raven lebih dulu jatuh kepada Camelia dibandingkan dirinya yang hanya menjalin hubungan selama satu tahun saja. Namun, Raven pun tidak menampik jika kehadiran Luna mampu memberikan pengaruh besar baginya, bahkan dengan rasa sukanya yang mampu terhenti kepada Camelia karena kehadiran perempuan itu.
"K-kamu terima dengan perjodohan itu, Rav?" Suaranya kali ini terdengar sedikit bergetar, dan membuat Raven tertarik dengan pembahasan ini. Ia bisa melihat dengan jelas kecemburuan yang terpancar dari raut wajah Luna. Namun, rasa sakit hati yang dirasakannya tidak bisa membuatnya untuk menolak keinginan dari sang nenek, dan mungkin ini bisa menjadi pembelajaran bagi perempuan itu agar tidak menyia-nyiakan seseorang yang tulus mencintainya.
"Kenapa nggak? Saya single dan usia saya pun memang sudah pantas untuk menikah. Nenek Hanna pun sangat mengharapkan keturunan untuk meneruskan semua perusahaan yang berjalan di atas kendalinya," jawab Raven dengan santai. Ia tahu jika jawabannya mungkin akan membuat Luna sakit hati atau mungkin memantik emosinya.
"Gitu ya, aku kira kamu masih menyimpan perasaan sama aku, Rav, karena aku pun masih sangat sayang sama kamu, aku menyesel dengan apa yang telah kulakuakn ke kamu," ungkap Luna yang mengalihkan wajahnya ke arah lain agar tidak saling bertemu dengan Raven.
Perempuan itu tak pernah berniat untuk mengungkapkan perasaannya lagi kepada Raven dan dibiarkan begitu saja untuk menjadi kenangan indah dalam hidupnya. Tetapi karena keadaannya yang mendesak mau tidak mau ia harus menyatakannya lagi, berharap agar Raven tidak menerima perjodohan untuk menikah dengan perempuan itu.
Dan ucapan dari Luna tadi membuatnya tertohak, ada rasa tak tega ketika perempuan yang sudah menyakitinya masih menyimpan perasaan kepadanya. Namun, di lain sisi dirinya pun merasa heran, bukankah Luna sudah dijodohkan dengan teman masa kecilnya dulu dan akan lanjut ke jenjang pernikahan.
"Kenapa bisa kamu masih menyimpan perasaan kepada saya, Lun? Kamu sendiri lho yang memutuskan hubungan ketika saya masih sangat mencintai kamu. Apa saat itu kamu memikirkan perasaan saya?" Raven menyorotkan tatapan dingin ke arahnya.
"Lebih baik kamu lupakan saya dan buang jauh-jauh perasaan suka kamu ke saya, karena walau bagaimanapun kita nggak akan mungkin bersama, dan fokus kepada laki-laki pilihan kamu," cetus Raven yang mengalihkan pandangan ke arah jam mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebentar lagi ia akan memimpin rapat, namun masih disibukkan degan Luna dan hubungannya dulu yang membuat pikirannya tak fokus.
Laki-laki itu beranjak bangun dan berjalan mendekat ke arah Luna, ketika perempuan itu masih terdiam mematung mencerna ucapannya. Lagi dan lagi Raven harus berada di posisi iba melihatnya, namun ia tidak memiliki cara lain dan tidak mungkin memaksa Luna untuk mencintainya terus menerus atau bahkan ia kembali menjalin hubungan dengannya.
Raven membuang pandangan dan kembali melangkah pergi. Kali ini pun Luna akan ikut berpartisipasi dalam rapat.
"Tapi, rasanya aku belum bisa untuk melupakan kamu, Rav." Satu kalimat yang dilontarkan oleh Luna menghentikan langkah pelan Raven.
Perempuan itu sudah menghadap ke arahnya ketika Raven pun membalikkan tubuh. "Aku masih cinta sama kamu, dan aku sangat menyesal karena telah menyakiti kamu." Nada suaranya sudah terdengar sendu.
Raven lagi-lagi tergelak dan mengerutkan dahinya karena tambah bingung, bukankah perempuan itu akan menikah dengan laki-laki pilihannya. Tapi, melihat wajah dan keadaan dari Luna tampaknya hubungannya sudah kandas.
"Lalu, kemana calon suami kamu, Lun? Bukankah kamu akan segera menikah?"
Luna terlihat gelagapan dengan pertanyaan Raven, terlihat dari bibirnya yang terus bergerak dan pandangannya yang ke sana kemari seperti mencoba menghindar.
"Aku ingin cerita banyak ke kamu perihal itu, Rav, tapi aku sadar karena bagi kamu pastinya itu udah nggak penting. Apalagi mungkin kamu masih sakit hati sama aku."
Raven benar-benar tidak tahu dengan permasalahan yang terjadi antara perempuan itu dengan calon suaminya. Setelah hubungannya kandas, ia sudah berusaha melupakan kenangan bersama Luna, dan tentunya tidak peduli dengan perjodohan perempuan itu dengan laki-laki pilihannya.
Suara getaran ponsel milik Luna menghentikan pembicaraan kedua orang ini, perempuan itu segera menjawab panggilan dari seseorang yang sepertinya sangat penting.
"Halo Pak," sapa Luna terlebih dahulu kepada seseorang yang meneleponnya yang tak lain adalah kepala divisi.
"Ah … baik, Pak, saya akan segera ke sana sekarang, saya pun sudah menyerahkan berkas tersebut kepada Pak Raven dan sekarang masih berada di ruangannya. Beliau sudah membacanya dan nggak ada kesalahan sedikit pun dengan hasil kerja kita," balas Luna memelankan suaranya ketika menyebut nama atasannya itu, karena Raven yang masih betah menatap ke arahnya.
Tak berselang lama Luna menyudahi obrolannya dengan kepala divisi, posisinya sama-sama akan meninggalkan ruangan menuju ruang meeting yang berada di lantai delapan. Namun, ia merasa canggung dengan tatapan Raven yang tidak pernah berubah.
"Silakan kamu keluar lebih dulu," pinta Raven yang mengalah dan membiarkan Luna meninggalkan ruangannya, ia tidak mungkin berjalan bersama menuju ruang meeting. Ia tidak ingin para karyawannya beranggapan jika ia dengan Luna sudah kembali menjalin hubungan.
To be continued…