"Raven ….!" Panggil Camelia dari arah belakang ketika laki-laki itu bergegas meninggalkan ruangan kakek Rasya dengan langkah tergesa-gesa.
Namun, langkah kakinya terhenti, berdiri dan terdiam tanpa menoleh ke arah belakang karena sudah sangat hafal dengan suara perempuan yang membuat hari-harinya selalu tak tenang, bahkan membawanya ke dalam permasalahan yang rumit mengenai pernikahan. Ya siapa lagi kalau bukan Camelia.
Suara sepatu high heels yang terpasang di kedua kaki perempuan itu, saling menyentak di atas lantai terdengar jelas di telinga Raven yang masih berada dalam posisi yang sama.
"Lo lagi ngapain di sini?" tanya perempuan itu dengan kedua mata yang membeliak ke arahnya. "Kata pak Raffi ada hal penting yang lo bicarakan kepada kakek gue. Apa tentang perjodohan lagi? Apa lo udah memutuskan menerima atau menolak menikah sama gue?" Camelia mencecar beberapa pertanyaan, tanpa melihat raut wajah Raven yang seolah ogah untuk menatap ke arahnya, apalagi membalas pertanyaan darinya.
"Ayo Rav, katakan! Lo nggak budeg kan!" senggolnya karena Raven yang memilih untuk diam.
Dengan gaya cool mengubah posisi menghadap ke arah perempuan itu sekarang. Bahkan harus mencondongkan wajah ke arah perempuan yang pernah mengisi hatinya dulu, sampai Camelia pun harus menghindar karena posisi keduanya sekarang saling berhadapan. Ia merasakan hal berbeda ketika jarak wajahnya yang begitu dekat dengan Raven.
Camelia menelan saliva tatkala merasa kagum dengan wajah dari Raven yang memang sangat tampan dan berkarisma, menggambarkan seorang pimpinan yang diinginkan oleh banyak orang. Sosok yang sempurna untuk dijadikan pasangan hidup bagi perempuan yang mengidolakannya, namun sikapnya yang menyebalkan menganggap jika dirinya adalah perempuan yang tidak baik, dan tidak pantas untuk menjadi ibu dari anak-anaknya nanti, membuatnya merutuk dan tidak ingin benar-benar memberikan hati kepada Raven jika pernikahan ini benar terjadi.
"Kalau kamu penasaran dengan keputusan saya, kamu tanya langsung kepada kakek Rasya, saya harap kamu nggak syok dan jantungan nanti setelah tahu keputusan saya, yang seharusnya satu minggu malah satu hari," balas Raven yang kembali ke posisi semula sembari tersenyum puas mengerjai Camelia, dan ternyata Raven masih punya hati untuk menjawab pertanyaannya.
Wajah perempuan itu sudah mulai pias karena jawaban dari Raven tampak meragukan, dan ia berpikir jika laki-laki itu memang menolak pernikahan ini sehingga langsung memberikan keputusannya kepada sang kakek bukan kepadanya. Camelia terus menampilkan wajah datar, jika Raven menolak, itu artinya ia tidak akan pernah diangkat menjadi CEO di perusahaan ini dan mendapatkan harta dari kakeknya. Jika benar itu adanya, rasanya tidak perlu bertanya kepada kakek Rasya jika jawabannya akan menyakitkan, lebih baik pura-pura tidak tahu saja.
Seolah sudah tahu dengan raut wajah Camelia yang seperti menahan kekecewaaan, Raven hanya bisa tersenyum.
"Sudahlah, kalau gitu saya permisi," sahut Raven yang akan bergegas pergi.
"Rav tunggu!" Camelia berhasil menghentikan gerakan langkah kaki laki-laki itu kembali, dengan memegang pergelangan tangan Raven. Ia harus meminta penjelasan lebih detail, karena hatinya sudah dibuat tak nyaman.
"Ada apa lagi, Mel." Raven merasa sedikit iba sesaat melihat raut wajah Camelia yang masih datar, namun di lain sisi dirinya pun malah ingin mentertawakannya.
"Gue traktir makan siang deh dan gue berharap lo nggak nolak ajakan gue yang ini," cetus Camelia yang berusaha untuk tersenyum, walau terasa berat.
Raven merasa heran dengan sikap perempuan itu yang terlihat berbeda, padahal baru saja ia merautkan wajah penuh tekanan dan kekecewaaan. Lalu, sekarang malah mengajaknya untuk makan siang, padahal ia sama sekali tidak tahu dengan keputusannya. Tetapi, dengan ucapannya tadi seolah jika perempuan itu mengira dirinya benar-benar menolak perjodohan tersebut.
Laki-laki itu melepaskan pegangan tangan Camelia di lengannya.
"Kamu serius? Tumben banget?" Raven masih belum percaya dengan niat baik perempuan itu sekarang, atau mungkin ini salah satu cara dilakukan olehnya agar ia luluh dan mau mengiakan keinginannya, meski Camelia belum tahu yang sebenarnya.
Tampaknya Camelia harus mengubah perlahan raut wajahnya yang mungkin tidak meyakinkan Raven, bagaimanapun caranya ia harus membuat laki-laki itu luluh dan mau menikah dengannya, hanya Raven yang bisa menolongnya sekarang.
"Tentu dong, masa gue bohong sih. Lagian gue nggak bakalan bangkrut mentraktir seorang CEO di Perusahaan Stuff Corp. Gimana? Lo mau, kan?"
Tidak ada alasan bagi Raven untuk menolak ajakan dari perempuan itu, bahkan dengan cara inilah ia bisa terus menggoda Camelia dengan wajah pias yang membuatnya bisa terus tersenyum, kapan lagi ia bisa menikmati wajah ketakutan dan kekecewaan dari seorang Kenes Camelia Kirana.
Raven mengganggukkan kepalanya membuat mata hazel Camelia berbinar-binar dengan persetujuan dari laki-laki itu. Kini keduanya sudah melangkah pergi menuju mobil masing-masing yang terparkir di halaman kantor, sampai perempuan itu terlupa dengan tujuannya datang ke perusahaan ini untuk apa, yaitu untuk bertemu kakek Rasya, namun malah fokus pada Raven.
***
Beberapa hidangan yang tersaji di atas meja menyapa indera penciuman Camelia yang tengah sibuk memainkan ponselnya, bau harum dari bumbu carbonara yang berada di atas pasta membuat perempuan itu mengalihkan pandangan sebentar dari layar ponsel ke arah makanan tersebut, dan menghentikan gerakan jari-jarinya yang tengah berkirim pesan dengan beberapa teman kuliahnya saat di Australia. Bahkan ajakan teman-temannya itu membuat Camelia melemah antara iya atau tidak. Sementara itu, Raven sedang berada di toilet, setelah keduanya tiba di kafe yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan perusahaan kakek Rasya, laki-laki itu berpamitan untuk pergi ke toilet lebih dulu.
Sebuah senyuman hangat tercipta di wajah pelayan perempuan yang diperkirakan usianya masih muda, mungkin masih di bawah Camelia yang akan bergegas pergi setelah melakukan tugasnya dengan baik. Dengan senang hati Camelia pun membalas senyuman manis dari perempuan itu.
Kini Camelia sendiri dengan gerakan mata yang celingukkan mencari keberadaan Raven yang belum datang. Sementara itu ponselnya berdering kencang, bergegas segera menjawab panggilan yang tak lain dari Mona, teman kuliahnya. Perempuan itu merasa bingung karena pastinya teman-temannya akan mengajaknya pergi clubbing malam ini dan tidak tahu cara menolak secara halus. Sebenarnya ia sangat ingin pergi untuk menjernihkan pikirannya agar lebih tenang. Namun, untuk saat ini ia harus menahan demi mendapatkan kepercayaan Raven, agar laki-laki itu mengubah keputusannya jika benar menolak.
"Kenapa kamu nggak angkat teleponnya? Mungkin penting," sahut Raven yang baru saja tiba dan langsung mendudukkan tubuhnya di atas kursi saling berhadapan dengan Camelia yang masih memasang wajah datar.
Raven kembali menatap dan memperhatikan wajah perempuan itu. "Setidaknya kalau nggak mau jawab, lebih baik reject. Berisik tahu nggak, di tempat umum lagi." Raven menyadarkan keberadaannya yang memang sedang berada di tempat umum, sedangkan perempuan itu kurang sadar karena pikirannya yang terlalu ke mana-mana.
Camelia menggaruk dan memilih opsi yang diberikan oleh Raven, mereject panggilan dari Mona dan menyimpan ponselnya ke atas meja. Ia merasa bersalah namun pastinya perempuan itu hanya akan mengajaknya untuk pergi clubbing malam ini. Sementara Raven mulai mencurigai sesuatu dari gelagat perempuan itu yang tak berers, karena sesekali menoleh kembali ke arah ponselnya yang terus menyala, beberapa pesan dan panggilan masuk namun seperti berat untuk menjawab karena keberadaan dirinya di sini.
Raven tidak ingin peduli, karena posisinya bukan siapa-siapa bagi perempuan itu. Namun, karena jiwa penasaran yang tinggi dan sebentar lagi ia akan menjadi suaminya membuat laki-laki itu dengan berani mengambil ponsel Camelia, membaca pesan dari teman-temannya yang membuatnya cukup geram. Sedangkan Camelia hanya bisa terdiam ketika ponselnya berada di dalam genggaman Raven, bahkan dengan wajah laki-laki itu yang sudah berubah.
Kini kedua pandangan kembali bertemu dengan sorot tajam dari bola mata Raven yang terus diarahkan kepada Camelia.
"Saya memang bukan siapa-siapa kamu, Mel, dan nggak berhak juga bagi saya untuk melarang apa pun kegiatan yang ingin kamu lakukan. Itu hak kamu, tapi mungkin kamu bisa mulai berubah dari mulai sekarang agar saya tidak melemah dan menyesali dengan keputusan yang sudah saya ambil!" tutur Raven dengan suara deep yang dikeluarkannya, dan menyimpan kembali ponsel perempuan itu ketika keadaannya yang masih tertohak. Otaknya belum cukup mencerna dengan baik maksud kalimat Raven tadi. Namun, sedikitnya ia bisa melihat ketidaksukaan dari laki-laki itu.
"M-maksud lo, Rav?"
To be continued…