"Kukuruyuk"
Suara ayamku, setiap pagi terdengar seperti sebuah perintah bagiku.
Telinga mendengar, namun mata masih begitu berat, walau sudah beberapa hari ini namun mungkin belum terbiasa.
"Krincing...krincing" ponsel tulalitkupun ikut membangunkanku suaranya seperti koin yang berjatuhan, utuk membuatku lebih bersemangat, jika aku segara bangun maka akan lebih cepat aku memperoleh uang.
Sebagian helaian rambut menutupi mataku, menutup pandangan walau mata sesekali terbuka.
Bantal yang sedikit menghitam tanpa sarung pembungkusnya selalu setia menemani tidurku. Umurnya mungkin lebih tua dariku.
Rambut yang terurai panjang, berkilau terkena sinar lampu kamarku.
Dinginnya pagi ini yang masih terlihat gelap, kulihat dari sela-sela jendelaku membuat selimut menempel ditubuh dan tak luput kaki ini yang terlalu peka dengan udara pagi. Bagian selimut bawah dekat kaki yang berlubang membuat kaki yang mengetahui keberadaannya segera bersembunyi mencari tempat ternyaman.
Seketika gendang telingaku bergetar kencang mendengar suara ibuku yang terus memanggil namaku.
"Dennn... Dennaaa...!" Panggil ibu dengan suara lantang.
Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara.
Yang pertama adalah kakakku namanya Karin selisih kami 7 tahun dia sudah menikah. perayaan diselenggarakan oleh pihak suami, kini kakakku sudah tinggal jauh bersama suaminya. Saat hari besar kadang ia berkunjung ke rumah.
Yang kedua aku, aku masih duduk dibangku sma.
Dan yang ketiga adikku, Lusi ia masih kelas 3 SD. Di sekolah ia juga pendiam sama sepertiku tapi dirumah ia sering jahil kepadaku.
"Dennnaa!" Jerit ibu dari dapur dengan nada sedikit goyang.
Suara ibu mengalahkan bunyi ayam dan alarm ponselku.
Mungkin ia lelah, ia masak sejak subuh dan baru akan selesai, ia bangun saat kami masih tertidur.
Karena sebelum memasak ibu harus bekerja di tempat yang tak jauh dari rumah kami. Tugas ibu adalah membantu memotong ayam, membersihkan bulu ayam yang nantinya akan dijajakan di pasar.
Pulang dari sana ibu baru bisa memasak.
Bapak bekerja menggarap sawah tetangganya dengan hasil dibagi dua.
Pukul 6.30 bapak baru akan berangkat ke sawah, oleh sebab itu ibu masak untuk bekal bapak dan kami berangkat sekolah.
"Iyaaaaa..." jawabku dengan sedikit lemas. Rasanya malas sekali tapi jika tak kulakukan mungkin besok bisa saja kami tak makan karena perlu tambahan dari hasil kerja lainnya untuk memenuhi kebutuhan hari selanjutnya.
Kami juga harus menabung walau setiap ada uang hanya 500 rupiah saja yang masuk ketabungan yang terbuat dari bambu.
Tabungan bambu buatan ayah, tak perlu membeli untuk menghemat pengeluaran.
Kadang kami hanya makan nasi ditaburi garam akan lebih enak jika ada kerupuk namun terkadang tidak ada.
Apa yang kami dapat hari ini, kami bagi dengan ayam-ayam kami untuk makan esok hari.
Bila ada nasi sisa ya itu yang dimakan tapi jika tak ada kami harus beli pakan ayamnya.
Walau begini kami masih bisa bersyukur. Tuhan masih memberi kami kesehatan, kekuatan untuk terus berusaha itu sudah lebih dari cukup.
Kami selalu makan bersama dengan beralas tikar agar tidak kotor oleh tanah.
Lantai kami masih tanah, untuk makan saja susah tentu kami tak terlalu memikirkan keindahan rumah yang terpenting adalah rumah kami tidak bocor dan tetap bersih rapi dengan desain alami dari bambu.
Dinding kami terbuat dari bambu yang dianyam. Rumah ini adalah peninggalan kakek nenek. Terlalu banyak kenangan di rumah ini. Disamping rumah kami ada sungai kecil yang ditumbuhi tanaman liar.
Tak jarang ular sering masuk ke rumah kami.
Aku mencoba duduk, menyadarkan diriku, merasakan tubuh yang terasa lelah namun semakin kuat karena aku mulai tersadar, dan mulai hilang lelahnya. Mata yang tadinya lengket seperti ada sesuatu yang mengikat kuat kelopak ini seketika dapat terbuka. Kutengok jam mungilku diatas lemari kecil yang sudah lapuh dibagian pintunya.
Waktu telah menunjukkan pukul 05.12. Kukibaskan selimut yang sedari tadi menutupi kakiku. Kuikat kembali rambut yang terurai panjang sampai pinggangku,
Bergelombang tak karuan karena tidurku.
Kutata kembali kamarku, kuikat kelambu yang terlihat banyak lubang dibagian sisi-sisinya namun masih memberi kami kenyamanan. Sedikit mengurangi banyaknya nyamuk yang sering menyiksa kami.
Kulihat adikku tidur dipojok kamar dengan tubuh merangkul guling kesukaannya.
"Lusi..lus" kubangunkan adikku.
Setiap pagi ia memiliki tugas mencuci piring.
Sebenarnya itu adalah tugasku dan mengantar telur adalah tugasnya, namun karena ia malas untuk keluar dipagi hari yang jaraknya agak jauh dengan berjalan kaki. Akhirnya tugas ditukarkan, aku yang mengantar telur dan dia yang mencuci piring.
"Lus.. ayo bangun..!" Sambil kugoyahkan badannya agar ia tersadar dari tidurnya.
Sulit sekali membangunkannya, terkadang karena lama tak juga bangun serta waktuku yang terus berkurang, akhirnya aku meninggalkannya dan ibu yang akan membangunkannya.
Ini adalah kesepakatan kita sejak seminggu yang lalu.
Karena kulihat orangtua sudah begitu lelah, apa lagi ibu, sepertinya ia banyak kehilangan jam tidurnya. Jarang kulihat ibu tidur siang hari. Jika bukan karena sakit dan karena masuk angin atau mungkin karena kelelahan akibat kurang beristirahat.
"Lus... cepat..! Bangunnnn! Kugoyahkan badannya lagi.
"Kasihan ibu" tambahku berharap iya sadar.
"Iyaa..." jawabnya dengan sedikit kesal. Aku tahu ia masih belum terbiasa dengan keadaan baru tentang pembagian tugas.
Tapi jika terus membiarkannya tentu takkan pernah ada perubahan. Ia akan terus malas dan bermalas-malasan.
Kulihat ia dengan pelan, duduk memaksa matanya terbuka lalu menggosok kedua matanya dengan kedua telapak tangannya.
Ia mulai merangkak dan turun dari tempat tidurnya lalu menuju ke tempat cuci piring.
Dengan wajah yang cemberut dia berusaha mengosok piring dengan spons yang sudah dicelubkan kesabun.
Akupun segera mengambil telur yang sudah terbungkus plastik sebanyak 4 kilo dengan tambahan seperempat kilo. Kuantar ke warung yang jaraknya lumayan jauh karena ditempuh dengan berjalan kaki.
Kulewati jalan pintas melalui gang-gang rumah penduduk sekitar untuk menghemat waktu, kulalui jalan kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki karena ada naik turunnya tanah yang keras dan berlubang sehingga sepedapun tak dapat melaluinya.
Sesampainya didepan warung yang sudah terbuka jendela panjang dan tertata rapi sayur-sayur segar di meja dagangannya.
"Bu..bu ita?" Panggilku segera.
Mungkin bu ita sedang dibelakang menyiapkan dagangan lainnya yang belum dibawanya kedepan.
Selain menjual sayur dan sembako bu ita juga menjual sayur matang yang sudah terbungkus plastik.
"Bu... " kupanggil lagi mungkin saja tidak mendengar.
Saat akan memanggil lagi bu ita muncul dari dalam membuka gorden pintu yang tampak gelap didalam.
"Ini bu telurnya, ada 4 kilo ditambah bonus seperempat kilo" kataku sambil menyodorkan telur yang ku bawa, satu persatu kuletakkan dibagian meja yang masih kosong.
"Iya dik, sebentarya" (sambil mencari uang di laci dagangannya).
"Iya bu." Jawabku sambil melihat sekeliling warung.
Warung bu ita tidak terlalu besar tapi isinya penuh bahkan sampai kebelakang warung dagangannya.
"Ini dik" sambil menyodorkan uang 76 ribu kepadaku.
Tentu aku hanya mengantar dan ibu sudah memberikan harga ke bu ita.
"Oh iya hu, terima kasih "
Kubawa uang itu pulang,kulalui jalan yang tadi kulewati
Saat mendekati rumahku, kulihat bu Nur berjalan kearahku, kami berpapasan..
"Bu Nur" sapaku.
"Iya dik"
"Mau ke warung bu ita ya bu?"
"Iya dik"adik habis dari warung bu ita ya?" Tanya bu Nur
"Iya bu, habis jual telur"" mari bu."
Kataku sambil berlalu.
"Iya dik" lanjut bu Nur.
Sampai di rumah kulihat lusi sudah mandi,.
"Bu ini uang telurnya" sambil kusodorkan uang itu.
"Iya nduk, terima kasih." Jawab ibu
"Ibu kalau lelah tidur dulu saja bu."
"Iya nduk, mungkin ibu kelelahan".
"buruan mandi, lalu makan dulu sama adik dan bapakmu ya."
"Iya bu."
Segera ku menuju kamar mandi.
Kamar mandiku masih terbuka tanpa tutup, namun sebagian telah tertutup oleh bsmbu anyam, ketika kami mandi kami hanya menggunakan basahan, kain yang diikatkan ketubuh.
Ada sumur kecil melingkar, namun sumur kami sudah disemen, setinggi pingang orang dewasa.
Bagian kandang tertutup dan terpisah agar ayam tak menjangkau sumur kami, walaupun begitu sumur selalu ditutup setiap setelah mandi.
Agar tak ada binatang yang tersasar dan jatuh kedalamnya, bersyukur sumur rumahku tak pernah kering.
Seledai mandi aku berganti pakaian melihat adikku lusi sudah rapi,
"Lus, kalau sudah selesai, langsung makan saja, ajak bapak sekalian, mungkin bapak masih di kandang."
Kataku menatap lusi yang sedang menyisir rambutnya.
"Iya kak" jawabnya pelan.
"Kusisir rambut panjangku, lalu kukepang satu dengan karet polos dengan warna hitam yang mulai memudar. Kuolesi pipiku deng handbody supaya sedikit membasahi permukaan pipiku yang terada kering, kuambil bedak bayi seharga empat ribu cukup untuk satu bulan dan kutepuk-tepuk kecil sambil sedikit meratakannya, bibirku yang sedikit mengering kuoles dengan lipsglose pemberian temanku sekelasku,
Walau sebenarnya aku tak begitu dekat tapi mungkin mereka kasihan padaku. Ini sedikit membantu, hanya saja sebenarnya aku kurang terbiasa dengan bibir yang basah dan lengket.
Seringkali tak sengaja tersentuh seolah ingin mengusap walau itu hanya sebuah reflek ketidaknyamananku saja.
Kusiapkan tas dan segera ku pakai sepatuku. Kaos kaki yang berlubang dibagian pangkal kakiku mungkin karena gesekan yang terlalu sering nampak layu dan tipis. Sedang sepatuku tang terlihat terbuka dibagian sampingnya karena lem yang tak lagi kuat membuat bagiannya tak lagi menyatu.
Kususul adikku yang sedari tadi sudah makan bersama bapak.
Ternuata dia sudah akan berangkat, makanan dipiringnya sudah nampak bersih hanya beberapa nasi yang masih menempel dipiring dan beberapa tulang.
"Sudah siap berangkat dik?"
"Sudah kak""aku sudah selesai!"
Jawabnya girang.
"Ohh.. ya sudah buruan sana berangkat, biar kakak bisa leluasa malan banyak, kalau masih ada kamu kan kakak jadi terganggu" dengan nada Sedikit menyombong.
"Ihh.. kakak" sahutnya dengan mulut manyun.
"Hahahaha... ngga dik, kakak kan bercanda, gitu aja udah manyun."
Bapak menanggapi dengan senyum.
Lusi berpamitan dengan bapak kemudian denganku sambil mencium punggung tanganku. Setelah itu aku mencoba mendekati meja, kukira lusi sudah akan menginjak keluar tapi tiba-tiba kedua tangan lusi menggelitik pinggangku dan berlari keluar.
"Ehhh.. lusi" aku yang terkaget oleh sikap lusi yang tiba-tiba menggelitikiku, lusi tahu kelemahanku, sebenarnya aku paling tidak suka dengan ini, namun aku juga tak ingin memarahinya mungkin sikapnya hanya bercanda, mungkin ia sedang bahagia hari ini.
"Hahaha.." tawanya sambil berlalu keluar lanjut ke sekolah.
Kulihat lagi ke bapak yang tertawa kecil melihat tingkah lusi kepadaku, akupun tersenyum. Aku tahu bapak pasti cape walau dengan keadaannya yang seperti ini ia tak pernah mengeluh didepan kami anak-anaknya. Setiap pagi sampai. Dengan sore ia berada di sawah menggarap. Dengan membawa bekal nasi seadanya dari ibu.
Kulihat didepanku banyak menu masakan, ada apa dengan hari ini. tumben sekali ibu masak segini banyaknya padahal biasanya ibu hanya masak sayur dan lauk yang hanya satu jenis saja, tak banyak.
Kulihat dimeja yang terbuat dari susunan bambu,kurang lebih satu setengah meter panjangnya, tertata rapi piring-pring dengan isian yang berbeda.
Tumis kangkung, sambal terasi, tempe dan tahu, telur dadar, ada juga soup, daun kemangi teri dan ayam goreng. Tentu ini adalah kesukaan kami semua.
Kuambil beberapa teri dengan nasi yang sudah menggunung dipiring, lalu sambal dan ayam goreng lalu sedikit kangkung.
"Hmmm.. rasanya mantap betul." Batinku.
Selesai makan kututup kembali dengan penutup makanan lalu menaruh piring kotorku, kuambil tasku yang terletak dibangku dekat kamarku sejenak kutengok ibu di kamarnya kubuka gorden pintu, kulihat dia tidur dengan posisi meringkuk kensamping menghadap guling disebelahnya namun guling tidak ia rangkul. Salah satu tangannya menutup telinganya dengan mulut yang sedikit membuka.
Kulihat raut wajahnya yang terlihat lelah dan seperti orang yang memikirkan sesuatu serta bola matanya terlihat bergerak kesana kemari. Entahlah aku melihat ibu jika tertidur hampir selalu seperti itu. Bapak sudah berangkat ke sawah dan ibu sedang tidur tidak mungkin aku akn membangunkannya kututup gorden itu kembali lalu akupun berangkat.