Pov Denna
Namaku adalah Denna Amelia. Anak kedua dari tiga bersaudara. Aku anak dari bapak Yanto Sudarmo dan ibu Sri Ratmi.
Kakakku sudah menikah dan kini dia tinggal bersama suaminya.
Kami tinggal berempat saja di rumah, dengan kondisi kehidupan yang sederhana. Kami terus berusaha agar bisa hidup layak dengan berbagai cara untuk mendapatkan uang. Berharap bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari kami.
Aku berangkat dengan sepedaku. Kegiatan pagiku adalah mengantar telur ke warung, tentu jika ayamku berhasil bertelur banyak.
Di sekolah aku selalu duduk sendiri, aku tak banyak bicara dan entah kenapa aku selalu diliputi rasa malu jika harus berkata, maju kedepan, menjawab pertanyaan atau bertugas menerangkan sesuatu, berkomunikasi dengan teman sekelompok atau bahkan hanya kekantin saja.
Namun jarang sekali aku pergi ke kantin, hampir setiap hari aku membawa bekal dari rumah. Bukanlah hal yang menyenangkan menjadi seperti diriku. Rasa yang kumiliki ini sangat menyiksa dan mengurungku.
Sebenarnya aku tak ingin terus seperti ini, aku ingin sekali merubah diriku agar lebih percaya diri. Namun aku belum menemukan jalan untuk dapat merubahnya.
Hari ini di kelas ada siswa baru namanya Zeeya Amanda Melty, dia cantik dan baik. Entah kenapa dia memilih duduk didekatku.
Dia mudah bergaul.
Diihari pertama saja dia mampu memberikan kesan baik dan ramah kepada seluruh temanku.
Aku semakin mengaguminya mulai dari cara bicaranya, berpakaian, berkomunikasi bahkan cara berjalannya, aku suka dan aku berharap bisa seperti dia.
Aku lihat Riki tertarik kepadanya. Tak hanya Riki, tapi juga teman laki-laki sekelasku juga terlihat mengaguminya. Kesan pertama Amanda sudah mampu membuat mereka jatuh hati.
Berbeda dengan Sindi ia terlihat seperti merasa tersaingi oleh Amanda.
Apa lagi saat Riki mengajak amanda berbicara berdua. Dia tampak penasaran dan bertanya kepadaku. Wajahnya seperti tidak senang dengan kehadiran Amanda. aku hanya menjawab seadanya dan aku memilih untuk tidak ikut campur.
Sebenarnya aku juga ada rasa dengan Riki tapi semua terasa hanya sebuah kabut. Aku hanya menyadari siapa diriku. Aku tak mungkin berharap banyak untuk mendapat perhatiannya.
Namun aku merasa sedikit cemburu melihat tatapannya kepada Amanda. Ingin sekali aku memilikinya, tapi semuanya tak mungkin.
Riki mengundang kami dalam acara malam minggunya ditempat yang belum kami ketahui. Amanda memberikanku ponsel yang tak lagi dipakai olehnya. Ponsel itu tampak masih bagus dan seperti baru bahkan ia memberikan dengan kotaknya juga dan lengkap dengan aksesoris lainnya.
Semua yang masih terikat kawat di dalam kotak. Amanda mengajarkanku cara menggunakan posel itu dengan pelan dan sabar.
Dia mengajarkan aku sampai benar-benar bisa, caranya berbicara sangat mudah dipahami, aku sangat senang memiliki teman sebangku seperti dia.
Saatnya malam minggu.
Dia mengabariku akan datang ke rumahku. Aku mengirimkan lokasi rumahku dengan ponsel pemberiannya.
Tak lama dia datang dengan sebuah mobil berwarna hitam tepat didepan rumahku.
Amanda disambut baik oleh kedua orangtuaku. Dengan membawa beberapa oleh-oleh dan sembako untuk keluargaku, dia tak merasa jijik atau risih sedikitpun dengan keadaanku.
Syukurlah dia mau menerima keadaanku.
Dia mendandaniku dengan caranya, dengan lihainya tangan amanda melukis wajahku. Sepertinya ia biasa mendandani orang. Selain itu Amanda membawakan beberapa pakaian miliknya yang masih bagus untuk kupakai. Setelah semuanya selesai dan siap untuk berangkat.
Kami meminta ijin kepada orangtuaku dan berangkat dengan mobilnya.
Mobil Amanda tak dapat masuk ke gang sempit.
"mungkin kita salah jalan" kata Amanda sambil terus menatap arah depan mencari tempat parkir.
"Tidak apa lah, kita lewat gsng ini saja, dari pada harus cari-cari lagi."
Lanjutnya.
Mobil terpaksa diparkirkan di tempat yang agak jauh dari lokasi kami bertemu.
Aku yang merasa ingin kekamar kecil memintanya untuk menemaniku.
"Nda, temani aku kekamar kecil ya, aduh aku tidak kuat" pintaku ke Amanda sambil menahannya.
"Iya ayo cari kamar kecil dulu" jawabnya sambil menoleh kesana kemari.
"Ehh itu disana ada kamar kecil"
Sambil terus berjalan kearah Toilet.
"Aku tunggu disini ya" kata Amanda kepadaku
"Oke" jawabku sambil tersenyum.
Tak lama kudengar Amanda sedang berbicara dengan seorang laki-laki.
Amanda terdengar saling beradu paham dengan lelaki itu, sampai sebuah suara tangisan memecah pembicaraan. Lalu terdengar suara wanita yang membentak Amanda.
Amanda seolah berlari dan terdengar dari balik pintu toilet seperti saling berkejaran. Aku tak tahu apa yang terjadi di luar, tapi aku tak berani keluar. Aku berharap dia baik-baik saja. Semoga dia bisa segera menghubungiku dan ikut bergabung dengan teman-teman.
Setelah tak terdengar lagi, aku mencoba keluar dari kamar kecil dan sambil berjalan pelan mencoba menemukan Amanda. Kutoleh kesana kemari namun tak juga menemukannya.
Kulalui jalan menuju tempat pertemuan kami sambil menoleh kesana kemari, berharap menemukannya. "Semoga dia baik-baik saja"batinku dengan sedikit takut.
Tak pernah aku mendengar dia menangis atau membentak seseorang. Ini adalah pertama kalinya aku mendengar ia seperti itu.
Aku menemukan teman-temanku. Ketika aku sampai didekat mereka kusadari Amanda belum bergabung dengan mereka.
Ketika Sindi mulai bertanya aku mencoba untuk tidak memberitahukan yang sebenarnya terjadi kepada mereka. Namun tak lama Amanda menghubungiku.
Aku merasa lega dan berharap dia segera datang.
Kuberitakukan bahwa Amanda memberi pesan kepadaku.
Ia akan segera datang kemari.
Tapi aku masih takut jika sesuatu terjadi padanya.
Aku segera menduduki tempat kosong didekat Riki. Tapi aku masih tetap kepikiran dengan Amanda. Rasanya tak tenang, jika temanku kenapa-napa. Aku masih terus mencoba memahami apa yang terjadi.
Tatapan Sindi yang sedari awal aku datang sungguh tak mengenakkan.
Entah kenapa, tampak jelas seperti ada kemarahan diwajahnya. Hanya saja ia tak mengungkapkannya seolah mencoba untuk ia pendam sendiri.
Aku menyadari bahwa Sindi tak menyukai keberadaanku. Ia seperti memperhatikan detail diriku.
Sesekali aku melihat dia memperhatikan bajuku, lalu rambutku dan menatapku tajam.
Aku yang duduk disisi Riki yang seakan memperhatikanku dan terus bertanya kepadaku. Kami asik mengbrol, sesekali kulihat Sindi, tampak di wajah Sindi penuh dengan amarah.
Tanpa kuduga Riki membelai lembut rambutku, jantungku terasa berdetak kencang aku tak tahu apakah dia mendengar detak jantungku atau tidak.
Yang jelas itu sangat kencang, dapat kurasakan dengan jelas tanpa harus kupegang letak jantungku.
Baru kali ini berada begitu dekat dengannya. Aku hanya tak menyangka ia mengajakku juga diacaranya dan berbicara kepadaku bahkan menyentuh rambutku. Mimpi apakah aku semalam seseorang yang aku khayalkan setiap malam kini berada tepat disampingku dan membelai rambutku. Seolah kita sedang berdua saja.
Ia menawarkanku makan dengan nada bicaranya yang lembut dan sabar mengajakku berbicara sehingga membuat Sindi semakin kepanasan.
Entah kenapa aku suka melihatnya. Karena sikap sindi yang mulai tak ramah denganku membuatku tak perduli jika dia terluka karena aku dekat dengan Riki.
Sindi menatapku seperti tak mampu lagi menahan amarahnya. Aku hanya mencoba tak memperdulikannya, berusaha tetap fokus dengan makanan yang kusantap. Aku sadar bahwa aku sesungguhnya bukanlah level mereka. Aku hanya merasa tak pantas berdampingan dengan mereka, aku sadar sikap Sindi kepadaku.
Namun bagaimana lagi, aku disini hanyalah tamu undangan, Riki sendiri yang mengundangku. Ini adalah acara Riki, jadi aku dan Sindi sama-sama tamu disini, lalu untuk apa aku takut dengannya.
Riki memperlakukan aku dengan sangat baik. Membuat bunga hatiku semakin bermekaran.
Tak dapat kupungkiri bahwa aku sedang jatuh hati kepadanya.
Dia terlihat lebih dari biasanya.
Tatapannya kepadaku semakin membuatku tak karuan.
Dan sejenak ku teringat Amanda yang belum juga datang. Padahal makanan dimeja sudah hampir habis. Acara ini belum sepenuhnya berhasil. Mengingat Amanda yang tak ikut makan dengan kami.
Ku melihat teman-teman yang saling berpendapat tentang Amanda.
Tak lama Amandapun datang, baru kusadari keberadaannya ketika dia sudah berada tepat disamping gazebo kami.
Amanda meminta maaf kepada kami karena terlambat. Kulihat matanya sembab. Ya.. kusadari tadi aku sempat mendengarnya menangis.
Kemudian dia duduk didekatku. Masih sempatnya dia meminta maaf kepadaku. Mungkin ia merasa tak enak karena telah meninggalkan aku sendiri di toilet.
Sebenarnya aku tidak apa-apa. Juatru aku memikirkan dirinya. Sebenarnya masalah apa yang terjadi padanya.
Aku tak berani bertanya, takut dia tak nyaman dengan pertanyaanku. Selain itu jika Sindi tahu bisa-bisa menjadi rahasia umum.
Semua sudah tahu sifatnya. Jika ia sudah marah terhadap seseorang semua rahasia orang itu akan ia ungkap semua tanpa terkecuali. Ketika ia sudah benar-benar marah ia bertingkah seperti orang kesetanan.
Mungkin itu uang membuat Riki tidak menyukainya.
Padahal sebenarnya Sindi itu cantik hanya saja sifatnya yang kurang baik terutama temannya sendiri yang ia anggap telah menyaingi dirinya.
Riki menawari Amanda makan, tentu Riki tidak enak karena melihat Amanda yang tidak ikut makan sedangkan kami makan duluan.
Namun Amanda menolak tawaran Riki. Amanda mengatakan bahwa ia sudah kenyang. Saya yakin bahwa Amanda hanya tak lagi memiliki nafsu makan.
Nafsu makannya hilang bersama masalah yang baru saja ia alami.
Aku merasa sedih karena sebagai teman dekatnya tak dapat membantu apa-apa.
Aku tak bisa membelanya, aku tak dapat menyeka air matanya yang terus mengalir dan menyebabkan matanya sekarang menjadi sseperti itu.
Aku merasa, aku adalah teman yang tidak bisa diandalkan.
Aku hanya terdiam ketakutan mendengarnya menagis dan saling beradu mulut.
Aku hanya bersembunyi dibalik pintu toilet tanpa bertindak.
"Aku manusia yang sangat menyedihkan, maafkan aku ya.. Nda, aku teman yang tidak bisa melindungimu."
"Diriku terlalu lemah untuk menjadi pelindungmu."
Riki melanjutkan acara dengan berfoto bersama.
Kulihat Amanda mulai tersenyum, walau sesekali ia terdiam dan seperti teringat sesuatu. Mungkin kejadian hari ini membuatnya tak mampu menyatu dengan bahagia kami. Sedikitnya dari kamipun menatapnya sedih, mereka hanya menerka-nerka karena melihat mata Amanda. Tentu berbeda denganku yang mendengar kejadian itu walau tak melihatnya langsung.
Kami berfoto hingga kami puas.
Aku tak perduli dengan Sindi yang tak ingin mendekatkan diri denganku.
Ia mencoba terus mendekat ke Riki.
Terserahlah yang terpenting aku puas hari ini, dan Riki lebih memperhatikanku daripada menanggapinya.
Tapi kebahagiaanku ini tak lengkap melihat Amanda yang sesekali menampakkan kesedihannya.
Aku. melihatnya tertunduk, lalu tetesan air terjatuh dari matanya, lalu ia menyeka air lainnya dipipi dan matanya yang tampak penuh.
"Amanda?" kataku memanggil, mencoba bertanya keadaannya.
ia hanya membalas dengan senyuman lebarnya.
Aku tahu dia sengaja menutupinya.
kepedihan yang tak ingin orang lain tahu.
setelah kami berfoto bersama, kami melanjutkan acara dengan berjalan-jalan menikmati suasana ditempat ini.