Chereads / Salah Jalan / Chapter 10 - Akibat Hutang

Chapter 10 - Akibat Hutang

Pov Denna

Hari ini sungguh mengejutkan bagiku.

Wanita yang aku dengar dari balik pintu toilet itu sekarang telah ada didepan mataku.

Dia memperlakukan temanku, Amanda dengan tidak baik.

Tentu saja, siapa teman yang rela temannya diperlakukan semena-mena didepan mata. Mungkin ini yang membuat aku berani berbuat sesuatu kepada Wanita yang menyakiti Amanda.

Amanda pasti heran dengan yang kulakukan. Baru kali ini aku berani berbicara dengan orang asing yang baru saja aku kenal.

Aku juga dikagetkan dengan perilaku Amanda yang berani, tidak biasanya dan belum pernah kulihat sebelumnya. Inilah yang pertama, dia gadis yang pemberani.

Terutama ini memang bukan salahnya. Aku tahu dia jujur, aku sendirilah saksinya.

Kita kesana karena ajakan Riky dan tidak ada keinginan lain, kami juga baru pertama kali.

Wanita itu sangat kasar, pantas saja waktu itu Amanda sampai menangis. Mungkin karena Diky juga membelanya.

Kok bisa ya Diky lebih memilih wanita seperti itu? Dibandingkan dengan Amanda tentu sangat jauh. Mungkin dia sedang dibutakan oleh wanita itu.

"Siapa tadi namanya? Valen? Iya... kok bisa ya.. dia tahu sekolah baru Amanda, tidak mungkin jika tak ada yang memberitahunya."

batin ini terus berkata-kata.

Sambil terus mengayuh sepedaku menuju arah pulang.

Sampai tepat didepan rumah, kuparkir sepedaku seperti biasa disamping rumah, tampak ada sepeda motor yang telah terparkir disebelah kiri pintu masuk.

Seperti ada kejanggalan dihati terdengar ibu menangis. Aku mulai penasaran, dengan sambil terburu-buru kuparkirkan sepedaku.

Aku coba lewat belakang rumah.

"Lohh.. apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang itu?"

Kenapa mereka mengambil ayam-ayamku?" Batinku.

Aku segera menuju ke ruang tamu, kulihat adikku duduk dibawah bersama ibu sambil saling berpelukan. mereka menangis sambil menatap ke bu Ita. Kenapa bu Ita melakukan ini kepada ibu dan adikku.

"Ada apa ini bu?" tanyaku

"Ayam-ayam kita akan diambil nak." Kata ibu sesenggukan.

"Kenapa ayam-ayam kita diambil?"

"Ibu tidak dapat membayar tagihan hutang ibu plus bunga setiap bulannya nak"

Sambil terus menangis ibu menatap Lusi yang juga menangis dipelukan ibu.

"Ibu hutang berapa bu?"

" satu juta nak?"

"Ya ampun." Terus bagaimana kita bisa dapat uang dari menjual telur bu, jika ayam kita dibawa semua?"tanyaku tak percaya.

"Bu Ita tolong beri kami kesempatan."

"Tolong jangan bawa ayam-ayam kami"

"Tolong beri kami kerinhanan bu"

Sambil berlutut didepan kakinya aku memohon supaya bu Ita tak jadi membawa ayam-ayam kami.

Kami sangat membutuhkan ayam kami untuk mencari uang dari hasil bertelurnya. Aku tidak menyangka jika bu Ita akan setega ini kepada keluargaku.

" bu... aku mohon beri kami waktu." Pintaku lagi kepada bu Ita.

" tidak bisa, ini sudah yang ketiga kali aku datang dan menagih tapi belum ada sedikitpun uang yang aku dapat dari hasil menagihku ke ibumu.

Aku sudah bersabar,. Aku sudah bersabar, tapi sabar juga ada batasnya, aku juga membutuhkan uang itu untuk jualanku. Jika terus hutang namun yak segera dibayar tentu jualanku jadi macet, bisa-bisa saya tidak jualan karena dihutangi dan tak ada uang untuk modal dagang lagi." Jelas bu Ita.

Aku hanya terdiam otakku terus berpikir dan berpikir namun tak juga menemukan jalan keluar untuk aku bisa membayar hutang-hutang ibu kepada bu Ita.

Aku yang tidak percaya ini terjadi. Akupun tidak percaya bu Ita setega ini.

Penjelasan bu Ita kepadaku sebenarnya tidak salah, jika aku ada diposisinya tentu aku akan berbuat hal yang kurang lebih sama.

Aku hanya tak tahu harus bagaimana lagi, ayam-ayam itu adalah matapencaharian utama kami, katena hasil sawah masih harus menunggu berbulan-bulan tentu tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hasil kerja membersihkan ayam ibu dipenjual ayam juga tidak bisa, jatena ibu digaji setiap satu minggu, sedangkan hasil menjual pisang goreng, kita harus membeli pisang dulu dipasar. Hanya jika ada rejekinya ayah dapat dari kebun didekat persawahannya.

"Aku tidak dapat bertindak lebih, selain hanya berpasrah. Walau aku bersujud sekalipun, bu Ita tak akan mau meletakkan ayamku kembali ketempatnya. Sekarang aku harus bagaimana?"

Kini ayamku sudah dikumpulkan dan diikat, tali yang sudah dibawanya dari rumah dan juga ternyata disamping tadi adalah rebung untuk tempat ayam.

Astaga mereka memang sudah mempersiapkan semuanya sedari awal, mungkin karena mereka tahu keadaan kami dan yakin bahwa ibu takkan dapat mengangsur uang hasil meminjamnya.

"Maaf bu, tapi saya juga butuh uang untuk dagangan saya.

Banyak yang berhutang pada saya, saya kasihan tentu saya bantu, saya hanya pegang janji, jika janji tak ditepati tentu saya harus bertindak."

Kata bu Ita kepada ibu.

Lalu bu Ita berlalu pergi setelah mengatakan itu kepada ibuku. Bu Ita datang dengan dua pria berbadan besar.

Satu orang pria berbadan besar hanya memakai kaos dalam dalm celana pendek tebal dan memakai sandal tebal sambil membawa rebung dengan ayam-ayam yang sudah terikat didalam.

Dan uang satu lagi membonceng bu Ita. Bu Ita yang hanya memakai daster panjang dan pria besar didepannya hanya mengenakan rompi dan celana pendek.

Sepertinya dua orang itu selalu mengangkat beban berat sehingga tubuhnya berotot besar.

Kulihat tubuh bu Ita yang gemuk tentu tak mungkin ia meminta orang kurus dan tak bertenaga untuk membawanya kemari.

Kini aku sudah kehilangan ayam-ayamku.

Tak ada lagi uang dari hasil telur.

Kami hanya pasrah menerima dan harus berpikir lebih keras untuk mendapatkan uang.

Ibu yang terduduk lemas sambil menatap sesuatu seperti sedang berpikir.

Aku tak berani bertanya lebih tentang hal tadi, adikku yang juga terdiam. Mungkinkah dia syok dengan apa yang terjadi? Ini adalah kali pertama kami mengalaminya.

Untuk apa ibu meminjam uang kepada bu Ita? Mungkinkah untuk biaya sekolahku dan Lusi?

Atau karena kebutuhan mendesak lainnya. Tapi apa?

ibu tak pernah bilang padaku. Tentu, mungkin itu tak penting baginya.

Memang beberapa minggu yang lalu masakan ibu lebih dari biasanya dan kemarin juga begitu.

Ayah pasti belum tahu tentang ini. Ia masih belum pulang, apa yang akan kami katakan nanti. Semoga semuanya baik-baik saja.

Kehilangan ayam yang berjumlah 15 ekor sudah dapat membuat kami sekarat. Kami merawatnya sejak ibu sedang mengandung Lusi yang tadinya hanya 2 ekor kini sudah lebih bahkan sebagian juga sudah kami olah sendiri.

Dan kini hanya tinggal kandang yang tak bertuan.

Sudah hampir sore, Lusi yang sedang makan didapur, tak seperti biasanya. Yang biasanya dia meromet seperti terompet rusak, kini diam tanpa kata.

Tiba-tiba ada langkah kaki mendekat dengan perlahan, pintu belakang terbuka.

"Bapak." Sapa Lusi.

Dan tangis lusi pecah.

Ibu meneteskan air matanya kembali dengan area mata yang masih terlihat basah.

"Ada apa ini bu?" Kenapa menangis? Dimana ayam-ayam kita?"

Bapak yang menjayuhkan diri keyempat duduk seperti tak dapat menopang tubuhnya lagi.

" beginilah bu kalau meminjam uang, apa lagi tempat bu Ita."

" kan bapak sudah bilang, tapi ibu tetap ngeyel." " dan ini madih belum berakhirkan? Tentu belum berakhir karena hutangnya masih banyak." Untuk bayar bunganya saja kita sudah tak mampu apa lagi ditambah dengan angsurannya."

Kita harus cari uang dimana lagi bu?

:Sudah tak bisa bayar, pasti ujungnya kita akan jadi omongan orang."

"Sudah jelek tambah jelek lagi kita bu"

Bapak yang terus berkata.sepertinya bapak sudah tahu apa yang terjadi.

Aku hanya menatap mereka penuh dengan penyesalan.

Lusi yang tak lagi melanjutkan makannya, mungkin ia sudah tidak nafsu makan lagi.

Ibu yang sedari tadi belum makan masih lemas dengan tubuh yang masih bersandar pada dinding bambu.

Kuputuskan untuk segera mandi agar tubuh terasa segar dan pikiran tak begitu berat, aku berusaha tetap tenang.

Nasi sudah terlanjur menjadi bubur.

Setelah selesai mandi aku berpamit untuk keluar.

Sekedar merilekskan pikiran agar aku bisa berpikir jernih dan menentukan selanjutnya apa yang harus kulakukan.

Aku berjalan dijalan yang ramai, banyak kendaraan berlalu lalang entah kemana tujuan.

Aku berjalan terus sampai bertemu lelah, tanpa membawa sepeserpun uang ditangan atau dikantung.

Otakku terus berputar.

"Haruskah aku melanjutkan sekolahku?"

Walau tinggal tinggal menunggu waktu ujian datang namun tak ada biaya untuk membayar uang ujian.

"Apakah aku harus meminjam temanku untuk membayarnya?"

"lalu bagaimana caraku mengembalikannya?"

Kulihat seorang pemulung berjalan dan berhenti sitiap-tiap tempat sampah dipinggiran jalan sambil membawa kantung untuk membawa sampah pilihannya.

Salain tempat sampah ada beberapa dipinggiran jalan sampah yang ia temukan.

Terbesit dibenakku.

"Haruskah aku menjadi seperti dia?"

"Tapi aku belum tahu bagaimana caranya mendapatkan uang dengan mencari sampah seperti itu?"

"Saya kira uang tak akan cepat terkumpul."

"Ahh.. coba cari cara lain dulu" pikirku.

Aku belum sempat melihat ponselku sedari pulang tadi, kucek disaku, pesan dari Riku banyak sekali.

Tapi aku masih belum bisa membalas pesannya.

" biarlah nanti saja, sekarang aku harus menwmukan cara yang mudah dan gampang dapat banyak uang? "Atau aku hanya akan menemukan pekerjaan yang sulit?"

"Iya aku memang sudah mendapat pekerjaan yang sulit, "sulit mencari kerja.""hehehe... tawaku lirih.

Dalam keadaan seperti ini masih saja bercanda pada diri sendiri.

Membuat lelucon hanya untuk menghibur diri.

Saat ini keluargaku di rumah sedang sedih.

Aku tak mungkin meminjam uang ke kakakku, aku tahu kakakku juga sama susahnya seperti kami,, dan sampai sekarang tak ada kabarnya.

Entah bagaimana kehidupan mereka sekarang, yang jelas dulu mereka sama seperti orangtuaku.oleh sebab itu kakakku jarang datang kesini.

Sudah hampir 5 tahun kakak tak lagi datang kemari.

Tak sadar diriku telah melalui jalan yang kulalui bersama Amanda waktu itu, ia disini toiletnya dan Amanda kemudian menghilang.

Rumah Riky tak jauh dari sini, siapa tahu aku nanti bisa bertemu dia, biar dia kaget jika memang pertemuan ini terjadi. Atau dia sedang ada di rumah, atau mungkin sedang jalan-jalan dengan orangtuanya.

"Ahh ya sudahlah, niatku juga bukan untuk bertemu Riky."

Sungai ini memang terlihat indah saat malam tiba dan lampu-lampu ini mempercantiknya.

Lalu aku duduk di kursi panjang dekat aliran sungai.

Sambil terus berpikir, aku juga menikmati suasana malam ini.

Kuanati sekitar tempat ini uang tampak ramai.

Kusadari ada suara yang tak asing ditelingaku, suara yang sangat kukenal. Namun aku lupa dalam pandanganku.

Kutoleh kearah suara itu, kulihat Riky sedang berjalan berdua dengan seorang wanita. Mereka tak melihatku, aku yang duduk didekat tumbuhan besar serta orag yang terus berjalan kesana kemari menutupi keberadaanku.

Wanita berpakaian seksi. Rambutnya panjang dengan pirang merah hijau disamping kanannya, dengan model segi panjang. Tampak berpakaian seperti tanktop tapi tebal berwarna hitam, entah apa namanya, dengan rok mini kira-kira 35 cm panjangnya, dibalut stoking jaring hitam. Mereka berjalan kearah gang yang pernah aku lalui bersama Riky.

Kuputuskan untuk mengikuti mereka.

Sama seperti waktu itu, saat ini ramai padahal bukan hari minggu.