Alina hanya mengernyitkan dahinya mendengar penuturan Arham yang terdengar sangat santai padanya. Pria itu bertindak seperti orang asing di sampingnya.
"Maaf kalau saya mengagetkan kamu," kata Arham tersenyum sebentar kepada Alina kemudian mengarahkan pandangannya kepada Digo.
"Iya tidak apa-apa. Justru saya yang harusnya berterima kasih." Alina menjawab dengan kikuk.
"Oh perkenalkan, saya Arham." Arham mengulurkan tangannya kepada Digo. "Anda Pak Digo?" tanya Arham menyambung ucapannya.
"Iya. Ada perlu apa Anda kemari?" tanya Digo mengubah cara bicara menjadi lebih santai dan terdengar sopan.
Mereka saling berjabat tangan.
"Ah, iya." Arham kemudian mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam sakunya dan memberikannya kepada Digo.
Digo yang melihat tulisan W Group di kartu nama tersebut seketika terkejut. Ternyata seseorang yang berada di hadapannya saat ini adalah pewaris tunggal dari W Group.
"Pak Arham Fauzan, ya. Saya Digo Mahendra." Digo memperkenalkan diri. "Silakan duduk, Pak. Sepertinya Bapak memiliki tujuan kemari. Bukan hanya kunjungan biasa."
Arham mengulas senyum kemudian duduk di sofa. Sementara Alina hanya berdiri mematung.
"Memang Saya memiliki keperluan yang cukup penting kepada Anda. Tapi sepertinya Pak Digo sedang menerima tamu." Arham menunjuk Alina yang masih berdiri di tempatnya.
"Ah, iya." Digo menatap Alina. "Alina, kamu boleh pulang dulu? Kita bicara nanti."
Alina yang memang tidak suka berada di sana dengan senang hati meninggalkan rumah Digo. Ia segera pergi meninggalkan rumah Digo tanpa menoleh sama sekali. Bahkan Arham yang melihatnya merasa bahwa Alina kesal dengan keberadaannya.
"Sebenarnya apa maksud kedatangan dia ke sini?" Alina bermonolog sambil menatap gerbang rumah Digo. "Sudahlah! Kenapa juga aku harus memikirkannya."
Alina segera mencari taksi tetapi tidak ada satu pun taksi yang lewat. Alhasil, Alina berjalan sedikit jauh untuk mencari taksi.
Beep, beep!
Baru beberapa meter ia berjalan, sebuah mobil tiba-tiba berhenti tepat di samping Alina. Awalnya Alina tidak peduli tetapi mobil tersebut ikut berjalan seperti mengikutinya.
Beep, beep!
Suara klakson mobil tersebut kembali membuat Alina menoleh. Ia kemudian berhenti dan menatap ke dalam mobil.
"Hei." Dari dalam mobil, Arham terlihat melempar senyum kepada Alina setelah menurunkan kaca mobil. "Butuh tumpangan?"
Alina mendecih. "Tidak, terima kasih, Pak. Tapi saya bisa jalan sendiri," tolak Alina.
"Saya juga tidak ingin menemani kamu berjalan kok. Saya mengajak kamu naik mobil bersama saya." Arham seperti melucu tetapi tidak melucu.
"Dan saya menolak ajakan kamu." Alina kembali menolak. Kali ini, ia sudah berjalan cepat untuk segera meninggalkan mobil Arham.
Untung saja tidak jauh dari sana seseorang baru saja keluar dari dalam taksi. Alina yang melihatnya segera berlari menuju taksi dan meninggalkan Arham.
Sepanjang perjalanan pulang, Alina tidak menyadari jika sejak tadi Arham mengikuti mobil yang ia tumpangi. Arham tidak berniat untuk membuntuti, ia hanya khawatir dan ingin memastikan Alina kembali ke rumah dengan selamat.
Meski ia memiliki banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepada wanita tersebut. Arham hanya mencoba menahannya. Rasa penasarannya tidak lebih besar dari rasa khawatir karena Alina akan menikah dengan pria yang pernah mencoba melecehkannya.
Tentu sedang terjadi sesuatu yang tidak benar di dalam keluarga Alina. Dan Arham mencoba untuk menguaknya.
Bukan untuk mempermalukan keluarga Alina. Tetapi untuk memberikan solusi terbaik dari permasalahan yang mungkin memaksa Alina untuk menerima lamaran dari Digo.
Alina akhirnya sampai ke rumahnya. Begitu pula dengan Arham. Ia yang semula hanya melihat sekilas kini terpaku pada dekor dan pernak pernik pernikahan di depan rumah Alina.
Bisa Arham tebak jika pernikahan Alina tinggal menghitung hari. Melihat dari persiapan pernikahan Alina yang terlihat hampir rampung. Lalu, kenapa ia baru mengetahuinya sekarang.
Sial!
Arham mengumpat karena kesal. Sepertinya ua harus bertindak cepat atau ia akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan Alina.
Meski baru mengenal Alina, tetapi Arham percaya bahwa Alina adalah seseorang yang cocok dengan Aaron. Ia tidak akan membiarkan Alina menikah dengan pria yang akan membuat Alina menjauh dari putranya. Meski harus membeli semua harta milik Digo, Arham akan melakukannya asalkan Alina tidak menikah dengan Digo.
Namun, berbeda dengan Arham. Justru bukan masalah Digo yang membuat Alina gusar. Melainkan pria yang berada di hadapan Alina saat ini.
Bagas, pria yang berusaha ia hindari itu akhirnya berada di hadapannya sekarang. Dan yang lebih mengkhawatirkan Alina adalah ekspresi wajah Bagas yang terlihat begitu keras menatapnya.
"Mas Bagas, kenapa kamu di sini?" tanya Alina mencoba mendekati Bagas yang sepertinya sudah berada di depan gerbang rumahnya sejak tadi.
"Kenapa kamu tidak masuk?" tanya Alina lagi.
"Awalnya aku ingin masuk, tetapi ketika melihat dekorasi yang sudah menghiasi rumah kamu, aku memilih untuk menunggu kamu di sini."
"Apa maksud kamu, Mas? Kenapa kamu menunggu aku di luar? Ayo kita masuk," ajak Alina mencoba meraih lengan Bagas tetapi dengan cepat ditepis oleh pria tersebut.
Alina tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. "Mas Bagas?"
"Kamu terkejut karena aku bisa melakukan ini?" tanya Bagas menyadari tatapan kesedihan di mata Alina karena tangannya ditepis olehnya untuk pertama kalinya. "Aku lebih terkejut, Alina. Bagaimana mungkin kamu melakukan ini pada ku? Kamu menolak lamaran ku untuk menikah dengan anak bos tempat kamu bekerja? Jadi ini akhir dari hubungan kita?" tanya Bagas menuntut penjelasan.
Wajahnya merah padam berusaha menahan amarahnya.
Alina tidak menjawab. Ia hanya menunduk tidak berani menatap Bagas karena para dasarnya memang dialah yang bersalah.
"Begini Alina?" bentak Bagas, geram.
"Tidak Mas." Alina menggeleng cepat. Secepat air matanya yang sudah tertumpah ruah sejak pertama kali melihat tatapan tajam sang kekasih.
"Lalu apa? Apa penjelasan yang bisa kamu berikan, Alina? Apa? Katakan!"
Alina hanya bisa menggelengkan kepalanya pasrah. Tidak ada yang bisa ia katakan karena ia paham betul, apapun yang ia katakan hanya akan menjadi alasan bagi Bagas.
Pria tersebut sudah terlanjur terluka dengan berita tentang pernikahannya.
"Aku tidak bisa menjelaskan apa-apa, Mas. Tapi aku tidak pernah berniat untuk mengkhianati kamu. Aku tidak punya pilihan lain, Mas."
"Bohong!" Bagas tidak mempercayai ucapan Alina. "Seharusnya aku sadar kalau sejak awal kamu memang tidak pernah berniat untuk menikah dengan ku. Semuanya hanya alasan. Alasan untuk mempertahankan hubungan tetapi bukan untuk menikah."
"Maksud kamu apa, Mas!" Alina tidak menyangka Bagas akan mengatakan hal seperti itu. "Lalu menurut kamu apa? Untuk apa hubungan ini terus ada kalau bukan untuk menikah, Mas?" Alina balik bertanya.
Alina memang bersalah tetapi ia tidak memiliki pikiran seperti yang dituduhkan oleh Bagas.
"Kamu tanya pada diri kamu sendiri. Karena pernyataan itu hanya pantas dijawab oleh kamu, Alina."
Setelah mengatakan hal tersebut, Bagas masuk ke dalam mobilnya. Tanpa menunggu Alina, ia menancap gas dalam-dalam dan pergi meninggalkan Alina.
Alina terdiam. Ia juga tidak menangis lagi. Bukan karena ia tidak sedih. Namun, ucapan Bagas membuat ia ikut berpikir.
Memang benar apa yang dikatakan Bagas. Semenjak hubungan mereka dimulai, Alina tidak pernah sedikitpun memiliki niat untuk menikah dengan Bagas.
Ia hanya mencintai pria tersebut, tetapi tidak pernah berpikir untuk menjadi istrinya. Saking cintanya ia kepada Bagas, hingga Alina tidak ingin menikah dan menjadi beban untuk Bagas.
"Seharusnya kamu tahu Mas kalau aku sangat mencintai kamu sampai tidak ingin kamu kesulitan karena menikah dengan ku," lirih Alina.
Alina tertunduk lemah di depan gerbang rumahnya. Ia terus berpikir bagaimana kelanjutan hidupnya setelah ini. Kepergian Bagas menandakan berakhirnya hubungan mereka. Dan kini, Alina tidak boleh lagi mengharapkan pria tersebut.
Sekarang hanya Digo pria yang akan menjadi teman dalam kesehariannya. Alina mengepalkan tangannya kesal. Bagaimana bisa semesta selalu baik kepada semua orang tetapi hanya kejam kepadanya?
***