"Seharusnya kamu tidak melakukan itu tadi. Kamu membuat aku malu, tahu tidak?"
Alina sejak tadi mendengus kesal atas kejadian yang terjadi di kantor Arham. Kajadian tersebut menimbulkan kehebohan yang membuat Alina tidak bisa berlama-lama di sana.
Setelah pengakuan Arham, Alina langsung pergi karena malu. Sementara Arham segera menyusul karena khawatir. Mengabaikan Anggita yang sudah dipenuhi dengan ribuan pertanyaan di kepalanya.
"Saya minta maaf kalau perbuatan saya menyinggung perasaan kamu. Tapi bukankah itu tidak masalah? Kita kan memang akan menikah dan cepat atau lambat semua orang juga akan tahu," kata Arham merasa tidak ada yang salah dengan tindakannya.
Alina menghela napas lemah. "Kamu tidak tahu aja bagaimana rasanya jadi aku. Aku itu tertekan. Entah artikel apa yang akan muncul hari ini," balas Alina terlihat murung.
Beberapa hari ini ia sudah was-was akan artikel yang terus membahas pernikahan Arham. Ia khawatir identitasnya akan terbongkar dan membuat ia berserta keluarganya kesulitan. Terlebih kondisi ayahnya yang masih lemah, Alina tidak ingin para wartawan mengganggu keluarganya jika mereka tahu Alina yang akan menikahi Arham hanya wanita biasa, bukan dari kalangan artis atau konglomerat.
"Jadi kamu tidak suka?" tanya Arham serius.
"Tidak." Alina menggeleng cepat. "Bukannya aku tidak suka tapi…"
"Baiklah." Arham segera menyela. "Saya meminta maaf atas kecerobohan saya itu. Kamu tenang saja. Tidak akan ada artikel apapun tentang kamu. Jika memang itu ya kamu khawatirkan, semuanya akan baik-baik saja. Saya bisa menjamin itu."
Alina mendongak memandang Arham yang terlihat serius menatapnya. Ia tiba-tiba merasa tidak enak hati dengan kata-katanya. Seharusnya ia tidak merespon terlalu berlebihan seperti itu.
Ia kemudian menaikkan kedua tangannya di atas meja. Menatap Arham dengan intens sampai akhirnya membuka suara.
"Sebenarnya aku yang seharusnya meminta maaf karena berkunjung ke kantor kamu tanpa memberi kabar. Seharusnya aku menunggu sampai Pak Rama bisa dihubungi agar dia bisa mengatur pertemuan kita."
Arham seketika terkekeh mendengar pernyataan Alina. Ia sebenarnya masih ingin tertawa tetapi melihat Alina yang biasanya keras kepala kini melunak ia kembali memasang wajah serius.
"Kenapa kamu tiba-tiba berubah seperti ini? Tidak seperti Alina yang biasanya," sindir Arham.
"Yeahh. Mau bagaimana lagi, sekarang aku tidak tahu harus bersikap seperti apa pada kamu. Pada pria yang telah begitu baik pada ku dan keluarga ku. Hal yang bisa aku katakan hanya maaf dan terima kasih."
"Baik?" Arham tersenyum mendengar penilaian Alina atas dirinya. Tidak menyangka Alina begitu menghargai apa yang ia lakukan padanya akhir-akhir ini. Terlintas di pikiran Arham, mengapa ia tidak melakukan itu semua dari awal jika ternyata sangat mudah membuat Alina luluh jika melibatkan keluarga.
"Terima kasih atas penilaian kamu yang begitu bijak," sambung Arham. "Tapi saya tahu kalau kamu kemari bukan hanya untuk itu, kan?" tanya Arham berusaha membaca gerak gerik Alina. "Kamu juga tidak mungkin kemari hanya karena rindu, kan?"
Alina memicingkan matanya. "Saya ke sini memang ingin bertemu kamu tetapi bukan karena rindu."
"Lantas?"
Alina menatap Arham serius. "Aku tahu pernikahan ini terjadi bukan karena cinta. Oleh sebab itu, aku ingin memperjelas beberapa hal sebelum kita menikah."
"Bukan tanpa cinta?"
"Iya. Kita menikah bukan karena cinta, kan? Kamu menikahi ku untuk menjadi ibu untuk anak kamu. Sementara aku mendapat keuntungan dengan tidak jadi menikah dengan Digo. Seperti itu, kan?"
'Menikah tanpa cinta, ya? Terdengar menarik,' batin Arham tidak melepaskan tatapannya dari Alina. Meski ia tidak menyangka Alina akan berpikir seperti itu, tetapi ia tetap bersikap biasa saja di hadapan Alina.
"Jadi apa yang ingin kamu perjelas?"
"Aku ingin setelah kita menikah, kita tinggal di kamar yang berbeda."
"Hah?" Arham terkejut mendengarnya. "Maksudnya bagaimana?"
"Seperti yang aku bilang tadi. Tidak mungkin kan kita tidur bersama sementara kita menikah bukan karena saling menyukai. Akan sangat aneh rasanya kalau kita menjalani pernikahan seperti itu. Iya kan? Kita juga belum lama saling mengenal." Alina menjelaskan begitu menggebu-gebu.
Arham memang menikahi Alina semata karena permintaan Aaron, tetapi ia tidak berpikir untuk tidur berpisah dari Alina. Terlebih ketika mereka telah menikah dan sah sebagai sepasang suami istri.
"Bagaimana? Saya sedikit paham dengan ini? Kamu ingin menikah tapi tidak ingin tidur bersama? Jadi bagaimana?" tanya Arham tanpa ragu.
Membuat Alina mengerjab berkali-kali ketika mendengarnya. Seketika ia merasa keringat bercucuran dari dalam gamisnya.
'Kenapa dia bertanya seperti itu? Jadi maksudnya dia ingin tidur denganku?' Alina membatin. Wajahnya panik tidak tahu harus menjawab apa.
"Intinya seperti itu. Kita tidak perlu menjadi suami istri sungguhan jika hanya kita berdua. Kita bisa melakukan itu ketika kita bersama keluarga atau di hadapan Aaron saja," jawab Alina jadi guguo.
Hembusan napas kasar terdengar dari bibir Arham. Sebenarnya ia tidak setuju dengan usulan Alina tetapi juga tidak bisa membantah.
"Baiklah. Semua terserah kamu saja. Saya akan mengikuti semua yang kamu inginkan. Tapi jangan menyesal nantinya," kata Arham tersenyum kecil, berniat menggoda Alina.
Alina mengalihkan pandangannya. "Tenang saja. Aku tidak akan melewati batas yang telah ku buat sendiri."
"Lalu apa lagi? Apa kita perlu menghubungi Rama?"
"Untuk apa?"
"Untuk mengesahkan kesepakatan kita ini," jawab Arham serius.
"Tidak perlu." Alina menggeleng. "Kita tidak perlu menulis ini di atas kertas, karena aku percaya dengan diriku sendiri. Aku juga percaya sama kamu. Kita hanya perlu mengingat perjanjian ini."
Arham mengusap dagunya sedikit melirik Alina. 'Sebenarnya saya lebih percaya pada hitam di atas putih daripada diri saya sendiri,' batin Arham.
Namun, Arham tidak bisa mengatakan apa lagi. Ia paham keinginan Alina. Alina seperti itu karena masih mencintai Bagas. Meski tidak suka dengan hal tersebut, tetapi Arham mencoba memahaminya.
Alina sebentar lagi akan menjadi bagian dari keluarganya. Ibu dari anaknya dan istri untuknya. Perlahan tapi pasti, Arham akan mencoba meraih hati Alina. Meski ia juga tidak tahu mengapa. Sedangkan saat ini ia belum bisa membiarkan Selina pergi dari hati dan pikirannya.
Pernikahan akhirnya digelar. Bisa dikatakan bahwa pernikahan Arham kali ini sangat jauh berbeda dengan pernikahannya dengan Selina enam tahun yang lalu. Kala itu ia menikahi Selina dengan acara yang sangat sederhana. Sementara hari ini, ia menikah dengan pagelaran yang sangat mewah.
Beberapa tahun yang lalu, tidak ada yang tahu tentang pernikahan Arham dengan Selina. Orang-orang baru mengetahui bahwa Arham telah menikah setelah Selina melahirkan Aaron dan pergi untuk selamanya.
Meski tidak banyak diketahui orang. Tetapi rasa cinta Arham pada Selina tidak main-main. Jika bukan karena Aaron, ia mungkin tidak akan mengkhianati Selina dan menikah dengan Alina.
Meski telah lama pergi. Arham tetap tidak bisa menghilangkan Selina dari hidupnya. Bayangan Selina terus mengikut dalam pikiran Arham. Terlebih Alina yang ia nikahi sekarang memiliki wajah yang sangat mirip dengan Selina walau penampilan mereka sangat jauh berbeda.
Setelah acara pernikahan yang cukup menyita waktu. Arham dan Alina tidak langsung pulang ke rumah. Mereka meninggalkan tamu undangan yang masih menikmati pesta dan berniat beristirahat di kamar hotel.
Arham yang notabene adalah pemilik hotel tersebut mengajak Alina untuk beristirahat di kamarnya. Sebuah royal penthouse yang didesain khusus oleh Arham untuk dirinya ketika sedang tidak ingin pulang ke rumah.
Penthouse tersebut telah lama tidak dikunjungi Arham karena Aaron lebih menyukai rumah mereka yang sekarang daripada penthouse tersebut.
"Kamu bisa mandi sekarang. Saya akan beristirahat di sini," kata Arham dengan santai berbaring di atas kasur, masih mengenakan sepatu dan jas yang ia gunakan selama acara.
"Aku mandi? Lalu kamu?" tanya Alina panik, berdiri mematung di depan pintu kamar.
Arham mengangkat kepalanya kembali duduk, lalu menatap Alina. "Atau kamu ingin mandi bersama?"
***