Pertemuan Alina dan Aaron ternyata memberi kesan tersendiri dalam hati Alina. Meski singkat, Alina bisa merasakan kehangatan ketika berada di dekat anak tersebut.
Alina menghela napas lemah. "Kenapa aku selalu teringat anak itu, ya?"
"Anak itu? Siapa?" tanya Arham langsung duduk di kursi depan Alina. "Boleh saya minum?" Arham menunjuk air putih yang telah tersedia di meja.
"Silakan."
Setelah menghabiskan airnya Arham merapikan jasnya yang terlihat acak-acakan lalu memandang Alina dengan serius. "Jadi apa yang ingin kamu bicarakan sampai harus bertemu dengan saya. Kamu berubah pikiran?" Ia terlihat tidak tenang dan berkali kali mengecek arlojinya.
"Kamu lagi sibuk, ya?"
"Tidak juga. Cuma hari ini saya ada pertemuan dengan klien di sekitar sini juga. Mungkin sebentar lagi mereka sampai."
"Pertemuan?" Alina terlihat khawatir. "Kalau memang kamu sibuk, kita bicara lagi nanti. Aku tidak ingin menganggu rapat kamu."
Arham lalu tersenyum. "Kenapa? Kamu mulai khawatir akan menyulitkan saya?" Arham masih tersenyum menggoda Alina. "Tenang saja. Klien itu bisa menunggu tetapi kamu tidak boleh dibiarkan menunggu."
Alina segera mengalihkan pandangannya ketika Arham dengan senyumnya mencoba mengecoh pikiran Alina. Jujur saja. Senyum Arham yang seperti itu membuat siapa saja yang melihatnya akan terpana.
"Jangan sembarang bicara kamu."
"Ohho." Arham bersandar di kursinya. "Mahasiswa seperti kamu ini memang sulit diajak bicara baik-baik, ya. Kamu ingin mengakhiri percakapan ini dengan pertengkaran lagi?"
Teringat terakhir kali pertemuan Alina dengan Arham tempo hari. Dimana mereka saling berselisih hingga mengakhiri percakapan mereka dengan pertengkaran.
Arham yang biasanya santai pun menunjukkan sisi arogansinya dengan menghubungi Alina meski ia sangat ingin.
Berbeda Alina yang langsung meredakan amarahnya setelah bertemu dengan Aaron. Ia langsung menghubungi Rama dan mengatakan ingin bertemu dengan Arham.
Arham yang kala itu sedang rapat langsung meninggalkan ruang rapat dan menemui secepat kilat.
Apalagi ia juga mendengar kalau Aaron sangat menyukai Alina. Ia bahkan mewakili dirinya meminta maaf kepada Alina agar Alina kembali dan tinggal bersama mereka.
"Jadi apa yang ingin kamu bicarakan?"
"Apa penawaran itu masih berlaku?" tanya Alina sedikit ragu untuk menanyakannya.
"Penawaran? Penawaran yang mana? Menjadi istri saya?"
Alina segera menggeleng. "Bukan! Bukan menjadi istri kamu, tapi lowongan pekerjaan. Aku ingat kamu pernah bilang ingin memberikan aku pekerjaan ketika kita di rumah kamu. Apa itu masih berlaku?"
Arham memajukan wajahnya lalu meletakkan kedua tangannya di atas meja seraya menopang dagu. "Jadi kamu memanggil saya kemari bukan untuk menikah dengan saya tetapi meminta pekerjaan?"
Alina menganggukkan kepalanya. "Benar. Aku ingin bekerja di mana pun itu. Agat aku bisa melunasi mengembalikan semua uang yang pernah Digo berikan kepada keluarga saya dan menghentikan pernikahan ini."
Arham tersenyum miring. "Kamu ingin membatalkan pernikahan? Bukannya kalian akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Saya lihat rumah kamu juga sudah mulai didekorasi dengan berbagai hiasan."
"Tapi saya tidak bisa menikah dengan Digo. Dia bukan pria yang baik. Selain itu, aku tidak mencintainya," kata Alina frustasi.
Arham menatap Alina dengan tatapan penuh tanya. "Cinta? Jadi kamu tidak ingin menikah dengan Digo karena tidak mencintainya? Bukan karena dia pernah ingin melecehkan kamu?"
"Dua-duanya. Aku tidak ingin menikah dengannya. Apapun alasannya," kata Alina bersungguh-sungguh.
Arham menangkap keinginan terdalam Alina. Ia paham Alina melakukan itu pasti karena pria yang ia cintai. Pria bernama Bagas yang pernah membuatnya menangis seperti orang bodoh karena mengetahui pernikahannya.
"Saya bisa membantu kamu."
Alina seketika mendongak ketika mendengarnya. "Sungguh?"
"Tentu saja. Tapi dengan satu syarat."
"Apa itu?"
"Mudah saja. Menikahlah dengan saya. Hidup bersama saya dan menjadi ibu untuk Aaron."
"Apa?" Alina tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kamu gila, ya? Ingat kenapa kita berselisih paham terakhir kali? Itu karena pembicaraan ini. Kenapa kamu selalu membicarakan pernikahan seolah pernikahan adalah sebuah permainan? Pernikahan itu terjadi atas dasar cinta dan saling memahami. Bukan hanya karena kamu ingin lantas mengajakku untuk menjadi istri kamu."
"Tapi memang kamu punya pilihan lain?" tanya Arham meneguk air dari gelas baru yang dibawakan oleh pelayan. Arham mengangkat kelopak matanya melirik Alina yang terlihat kebingungan.
"Satu-satunya cara yang bisa membuat kamu terlepas dari pernikahan ini adalah menikah dengan saya."
"Tapi kenapa?"
Arham mengangkat alisnya kurang paham.
"Kenapa harus aku? Ketika banyak wanita lain di luar sana?"
"Karena Aaron. Aaron menginginkan kamu dan berpikir kamu itu ibunya. Saya melakukan ini untuk kebahagiaan Aaron."
Rama baru saja masuk ke dalam restoran bersama dengan dua pria yang akan mengadakan rapat dengan Arham siang ini. Matanya kemudian mengedar mencari keberadaan Arham. Ketika ia melihat Arham sedang duduk bersama Alina, ia segera mengarahkan dua pria tersebut untuk mencari meja yang telah mereka reservasi sebelumya di lantai atas.
Ia kemudian mengirim pesan kepada Arham dan mengatakan kalau klien telah sampai di meja lantai atas.
Ting!
Arham memeriksa ponsel. "Jadi katakan, apa kamu setuju? Kamu akan tetap menikah tetapi dengan saya bukan dengan Digo."
Alina terlihat bimbang. Ini benar-benar pilihan yang sulit baginya. Niatnya untuk menemui Arham hari ini bukan untuk menyetujui pernikahan dengan pria tersebut tetapi ia meminta pekerjaan. Lalu mengapa Arham malah semakin memberinya pilihan yang tidak bisa ia tolak?
"Kamu punya 30 detik untuk menjawabnya, Alina." Arham berdiri seraya mengancingkan jasnya bersiap untuk menemui para klien.
Alina masih belum memberi jawaban. 'Bagaiman ini? Apa yang harus aku lakukan? Tapi kalau aku menolaknya. Aku pasti akan tetap menikah dengan Digo. Tapi kalau aku menerimanya, entah apa yang akan terjadi. Kenapa aku harus dihadapkan pada pilihan sesulit ini?' Alina meremas kedua tangannya.
"Tiga, dua—"
"Aku setuju!" jawab Alina lantang sambil mendongak menatap Arham yang kini tersenyum semakin lebar.
"Good." Arham kemudian mengambil ponselnya dari dalam jas lalu menghubungi Rama.
"Rama, katakan pada reporter bahwa pernikahan saya akan digelar minggu ini di W hotel."
Bola mata Alina sontak membulat sempurna tidak percaya dengan apa yang baru saja Arham katakan.
"Minggu ini?"
Alina masih belum percaya dengan keputusan yang Arham ambil baru saja. Ia bahkan bertanya sampai berkali-kali untuk memastikan pria tersebut tidak bercanda dengan ucapannya.
"Kamu pikir saya bercanda?"
"Tapi Digo? Keluarga aku? Bagaimana kamu mengatasi itu semua?" tanya Alina panik. Terlebih ia memikirkan kesehatan ayahnya yang baru pulih dari sakitnya.
"Kamu tenang saja. Yang harus kamu lakukan hanya mempersiapkan diri kamu," kata Arham melirik Alina yang sedang duduk di kursi di sampingnya sementara ia menyetir mobil.
Mereka segera meninggalkan restoran setelah Alina memberikan jawaban akhirnya. Pertemuan yang semula akan dihadiri oleh Arham kini digantikan oleh Rama seperti biasa.
Sementara Arham dan Alina akan pergi ke suatu tempat yang belum Alina ketahui sampai sekarang.
"Lalu kita mau kemana?" tanya Alina merasa seperti diculik karena terseret ke mobil Arham tanpa tahu arah dan tujuan Arham yang sebenarnya.
"Kita akan menemui orang tua dan mengatasi kekacauan yang sedang terjadi di sana," kata Arham santai, membuat Alina semakin tidak bisa berkata-kata.
***