"Kamu itu bagaimana? Kerja tidak becus seperti ini? Kenapa kamu bisa teledor seperti ini? Apa tidak cukup, Rama menjadi mentor kamu?" bentak Arham kepada sekretaris barunya yang masih dalam masa traine.
Sekretaris tersebut menunduk tidak berani menatap wajah Arham yang kini tampak memerah karena amarah yang berkecamuk.
"Ma-maafkan saya, Pak. Saya tidak akan mengulanginya lagi."
"Kamu tahu kalau ini bukan pertama kalinya kamu melakukan kesalahan, kan? Atau kamu sengaja?"
Sekretaris tersebut mengangkat kepalanya sambil menggeleng keras. "Tidak Pak. Mana mungkin saya sengaja. Saya benar-benar tidak tahu kalau file itu berisi dokumen penting, Pak. Saya pikir semua berada di tangan Pak Rama," katanya setengah menangis.
Arham menghela napas kasar. "Rama mana?"
"Pak Rama sedang keluar, Pak. Ada meeting dengan klien di luar kantor."
Arham kembali duduk di depan meja kerjanya. Ia menyandarkan kepalanya seraya memejamkan mata. Sejak tadi ia tidak berhenti memarahi semua pegawai karena mereka terus melakukan kesalahan.
Rama yang biasanya menghandle semua itu juga belum kembali.
"Saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya tidak sengaja melakukannya. Akan saya cari kembali dimana file tersebut."
Arham menatap sekretarisnya. "Sebaiknya sekarang kamu hubungi Rama dan minta salinan file itu. Saya yakin dia menyimpan backup data dari komputer yang kamu gunakan."
"Baik Pak."
"Sekarang kamu juga keluar."
"Baik Pak."
Sekretaris tersebut segera keluar dari ruangn Arham dan menutup pintu dengan rapat. Wajahnya semakin pucat memikirkan nasibnya ke depan. Arham pasti akan memecatnya karena tidak bekerja dengan baik. Ia menghentakkan kaki dengan wajah yang hampir menangis di depan ruangan.
"Sial!"
Belum berselang beberapa menit, telepon di depannya berdering. Ia segera mengangkatnya dan mendapat informasi dari resepsionis kalaada seseorang yang ingin bertemu dengan Arham.
Sekretaris tersebut memeriksa jadwal Arham hari ini dan tidak menemukan kalau Arham memiliki janji temu. Segera ia menolak tanpa bertanya pada Arham lagi.
"Katakan pada tamunya kalau Pak Arham sedang tidak mau diganggu," katanya ketus lalu menutup telepon.
Sekretaris tersebut tidak ingin mencari masalah lagi dengan tamu yang tiba-tiba berkunjung tersebut. Terlebih saat ini, suasana hati Arham sedang tidak baik. Jika ia masuk ke dalam ruangan Arham lagi, ia mungkin akan diserang dengan berbagai pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.
"Maaf Bu. Pak Arham sedang tidak ingin diganggu. Jika ingin bertemu, Anda bisa menunggu sepulang kantor atau mengatur janji dengan beliau dulu."
Resepsionis yang baru menerima telepon menginformasikan kepada Alina yang sedang berdiri di hadapannya.
"Tapi saya sudah menunggu dari tadi lho, Mbak. Masa saya pulang dengan tangan kosong."
Resepsionis tersebut kembali tersenyum. "Tapi Pak Arham memang sedang tidak bisa ditemui, Bu. Sekretarisnya baru saja mengabari saya. Jadi mohon maaf, kami tidak bisa mengizinkan Anda bertemu dengan beliau."
Helaan napas lemah meluncur begitu saja dari bibir Alina. Ia menunduk pasrah.
"Terimaa kasih." Alina membalas dengan senyum kecut.
Alina merutuk dirinya sendiri karena tidak mempunyai nomor telepon Arham. Seharusnya ia langsung mengambil nomor ponsel Arham saja waktu itu. Jika seperti ini keadaannya, ia tidak bisa bertemu dengan Arham tanpa perantara dari Rama. Sementara Rama juga tidak bisa dihubungi.
Alina kebingungan karena tidak pernah punya kesempatan untuk bertemu dengan Arham.
Semenjak acara lamaran dadakan tempo hari di rumahnya, Alina belum pernah bertemu dengan Arham lagi. Banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan Arham sebelum mereka benar-benar menikah.
Mengingat pernikahan mereka tinggal dua hari lagi.
Semua berlalu begitu cepat. Baik Alina maupun keluarganya tidak memberi kontribusi apapun selama persiapan pernikahan. Mereka hanya duduk manis di rumah, sementara semua persiapan akan dilakukan oleh keluarga Arham.
Berita tentang pernikahan kedua penerus W Grup pun sudah santer terdengar dimana-mana. Artikel demi artikel yang mempertanyakan bagaimana sosok calon istri dari Arham pun sduah menjamur di berbagai situs berita online.
Berbagai kandidat telah mereka umumkan untuk mengetahi siapa sebenarnya wanita beruntung yang akan menikah dengan Arham dan menjadi Nyonya besar yang baru di kediaman keluarga Wiguna. Mulai dari artis yang pernah digosipkan dekat dengan Arham, brand ambassador yang bekerja di perusahaannya sampai penerus Gold entertainment yang juga digadang-gadang akan menempati posisi tersebut.
Pernah beredar rumor bahwa mereka akan dijodohkan karena W entertainment akan bekerjasama, tetapi sampai hari ini, berita tersebut sepertinya hanya angin lewat yang belum jelas kebenarannya.
Akan tetapi hal yang menarik terjadi hari ini. Para pegawai di perusahaan Arham dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita yang tampak tidak asing bagi mereka.
"Selamat siang, Bu Anggita. Ada yang bisa kami bantu?" tanya resepsionis tersebut tersenyum ramah kepada Anggita.
"Siang. Saya ingin bertemu dengan Arham."
"Baik Bu, silakan saya antar." Resepsionis tersebut dengan ramah mempersilakan Anggita tanpa banyak bertanya seperti apa yang ia Lakukan pada Ayana.
Melihat sesuatu yang tidak menyenangkan di hadapannya, Alina menghentikan langkahnya. Ia menoleh menatap resepsionis tersebut keluar dari mejanya menuntun Anggita ke pintu lift. Alina yang melihat hal tersebut seketika meradang.
Mengapa ia dan wanita tersebut diperlakukan berbeda? Resepsionis tersebut bahkan tidak bertanya keperluan Anggita datang kemari. Sementara dirinya yang sudah berada di sana sejak tadi dibombardir dengan berbagai pertanyaan, dibiarkan menunggu berjam-jam dan akhirnya tidak bisa menemui Arham.
Lantas mengapa wanita tersebut memiliki akses yang mudah?
Alina tidak terima, ia meremas tali tasnya dengan keras. Lalu dengan suara lantang berteriak.
"Tunggu!"
Semua mata tertuju padanya. Alina tidak peduli, ia berjalan mendekati Anggita dan resepsionis yang hendak memencet tombol lift.
"Anda? Ada perlu apa lagi, ya?" tanya resepsionis tersebut.
Alina berkacak pinggang menatap resepsionis tersebut dengan tajam. "Saya mau bertanya, kenapa Mbak ini dipersilakan menemui Pak Arham sementara saya tidak? Padahal saya yang lebih dulu datang ke sini. Tapi malah tidak diizinkan. Apa dia sudah membuat janji juga dengan Pak Arham?" Alina bertanya dengan tatapan menantang.
Resepsionis tersebut tersenyum hambar menunduk meminta maaf pada Anggita, lalu bergeser mendekati Alina.
"Maaf, Bu. Tapi kan saya sudah bilang kalau Pak Arham tidak ingin bertemu dengan Anda."
"Terus Pak Arham mau bertemu dengan dia? Mbak bahkan belum menghubungi sekretarisnya loh. Kenapa langsung diajak naik begitu saja. Saya sudah menunggu hampir dua jam loh di sini, Mbak. Tapi saya akhirnya tetap tidak bisa bertemu dengan Pak Arham. Apa ini adil?"
Resepsionis tersebut terlihat tidak enak pada Anggita yang sejak tadi hanya diam. Sementara Alina berkoar-koar mengkritiknya.
"Tapi Pak Arham memang—"
"Tunggu." Anggita segera menyela. Ia membuka kacamata hitamnya lalu berbalik memandang Alina dengan tatapan dingin seraya melipat tangan di bawah dadanya. "Kamu boleh kembali ke meja kamu," kata Anggita kepada resepsionis tersebut mengibaskan tangannya.
"Anda siapa? Kenapa ingin bertemu dengan Arham?"
"Saya ada perlu dengan dia."
Anggita mengangguk, lalu menatap Alina dari atas sampai bawah. Sesaat kemudian ia tersenyum mencibir. "Mahasiswa, ya? Atau asuransi?" tanya Anggita tersenyum meremehkan.
"Asuransi? Maksud Anda apa, ya?"
Anggita tertawa melihat ekspresi terkejut Alina dengan ucapannya. "Maaf kalau saya menyinggung Anda, tetapi saya sudah membuat janji dengan Pak Arham. Jadi saya tidak perlu lagi melapor pada sekretarisnya."
Jawaban tersebut membuat Alina menciut. Nyalinya yang terlalu besar membuat ia mempermalukan dirinya sendiri. Ia segera menunduk dalam lalu meminta maaf.
"Kalau begitu saya minta maaf. Saya tidak akan mengulangi perbuatan saya lagi."
Anggita tidak menjawab lagi. Ia melirik Alina sebentar lalu berbalik hendak masuk ke dalam lift.
Namun, ketika ia hendak masuk, Arham sedang berdiri di dalam. Ia yang semula menunduk, mengangkat kepalanya. Dilihatnya Alina berbalik dan berjalan menjauh.
"Arham," seru Anggita.
"Alina?" Tetapi Arham tidak membalasnya. Ia segera keluar dari lift dan mengejar Alina.
"Alina, tunggu," panggil Arham segera menangkap tangan Alina.
"Arham?" Alina berbalik ketika menyadari seseorang memegang tangannya. "Kamu di sini?"
"Justru saya yang seharusnya bertanya, kenapa kamu di sini?"
"Aku mau ketemu sama kamu," jawab Alina pelan. Pasalnya semua mata kini tertuju padanya.
"Bertemu dengan saya? Kamu kan bisa menelpon saya. Saya pasti akan mengunjungi kamu. Kamu tidak perlu datang kemari."
"Iya, aku minta maaf karena datang kemari. Tapi aku perlu membicarakan beberapa hal dengan kamu," kata Alina semakin mengecilkan suaranya.
"Membicarakan sesuatu? Apa itu?"
"Ini tentang pernikahan kita," kata Alina pelan seakan berbisik tetapi bukan di telinga Arham.
"Apa?" Arham tidak mendengar ucapan Alina. "Kamu mau membicarakan apa?"
"Pernikahan kita," kata Alina lagi, masih dengan suara halus.
"Apa?"
"Pernikahan kita," kata Alina putus asa.
"Pernikahan kita," teriak Arham. Membuat Alina membelalak karena Arham mengeraskan suaranya seakan sengaja melakukannya untuk menarik perhatian semua pegawainya.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Alina menggenggam erat lengan jas Arham.
"Pernikahan?" Anggita yang semula akan masuk ke dalam lift mengikuti Arham dan mendengar ucapan pria tersebut.
Ia segera mendekati Arham untuk memperjelas maksud dari ucapan Arham.
"Maksud kamu apa, Arham? Dia calon istri kamu?" tanya Anggita asal menebak seraya menunjuk Alina yang tidak berani menatapnya. Bukan karena takut, tetapi ia tidak ingin menarik perhatian banyak orang dan mematahkan ekspresi semua orang karena dirinya yang sangat tidak sebanding dengan Arham.
"Arham jawab!"
"Iya," jawab Arham cepat. Ia kemudian merangkul Alina dan menarik dalam pelukannya. "Perkenalkan ini calon istri saya, Alina."
Semua orang terkejut dengan pengumuman yang baru saja dikatakan Arham. Mereka memang pernah mendengar desas-desus kalau Arham akan menikahi seorang wanita biasa yang berasal dari keluarga sederhana. Tetapi mereka tidak menyangka kalau berita tersebut benar adanya dan sekarang wanita tersebut sedang berdiri di hadapan mereka semua.
***