Tanpa Alina sadari, Arham dari dalam mobilnya tidak berhenti memerhatikan dirinya. Meski melihat dari jauh, tetapi Arham bisa menduga pembicaraan seperti apa yang sedang Alina dan Bagas bicarakan.
Arham masih berada di balik kemudinya. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan memeriksa sesuatu. Dari layar ponselnya terpampang jelas foto seorang pria yang baru saja melewati mobilnya.
Sedikit banyaknya Arham sudah bisa menduga hal tersebut akan terjadi. Bagas adalah seseorang yang Alina cintai, jadi wajar jika wanita tersebut bersedih.
Tetapi Alina tidak bisa terus bersedih. Sekarang saatnya Arham memperbaiki kekacauan yang disebabkan oleh Digo.
Arham masih memantau Alina dari jauh. Sudah hampir dua puluh menit Alina duduk di depan pagarnya tanpa mengangkat kepalanya. Arham yang semula biasa saja kini mulai khawatir.
Takut terjadi sesuatu yang buruk pada Alina, Arham terpaksa turun dari mobilnya. Ia sengaja tidak mengendarai mobilnya agar Alina tidak terganggu atau terkejut dengan kehadirannya di sana.
"Apa dia tertidur?" Arham menunduk mencoba memeriksa, tetapi belum sempat tangannya menyentuh rambut Alina, wanita itu malah mendongak.
Matanya yang sembab seketika terpaut dengan mata bening Arham yang menatapnya dalam. Beberapa detik kemudian, Alina mengerjab. Baru sadar jika kontak mata yang baru saja mereka lakukan membuat debaran aneh dalam dada Alina.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Alina.
Tetapi Arham tidak menggubris pertanyaan Alina. Ia masih hanyut dalam pikirannya. Tidak menyangka jika wanita yang sedang menatapnya dengan mata berkaca-kaca tersebut bukanlah istrinya, melainkan orang lain.
"Kalian sangat mirip," ungkap Arham tanpa sadar.
"Mirip?" Alina jadi penasaran dengan suara bergumam yang keluar dari bibir Arham. "Siapa yang mirip?"
'Kenapa dia menatapku seperti itu. Apa ingus ku meleber kemana-mana?' Alina membatin.
Ia segera mengusap wajahnya dengan cepat tetapi Arham tetap bergeming. Detik berikutnya, Arham menangkap tangan Alina dan menatap semakin serius.
"Jangan lakukan itu. Kamu bisa melukai wajah mu nanti," ujar Arham.
"Kalau begitu lepaskan tanganku," pinta Alina mulai tidak fokus. Pasalnya wajah Arham semakin lama semakin dekat dengan wajahnya. Membuat Alina semakin salah tingkah dibuatnya.
"Mundur!" pekik Alina. "Atau aku dor …."
"Menikah lah dengan ku," potong Arham tiba-tiba. Tidak memberi ruang untuk Alina melanjutkan ucapannya. Perasaan Arham sudah teraduk karena Alina yang semakin lama semakin mengingatkan dirinya pada sosok mendiang istri yang begitu ia rindukan.
"Maksud kamu?" Alina menghempaskan tangan Arham dengan kasar. Kini, ia sudah bangkit dari jongkoknya. Sementara Arham mengikuti detik berikutnya.
"Apa yang kamu bicarakan?" Alina masih terkejut dengan penuturan Arham barusan.
"Ah, maaf." Arham meremas rambutnya. Untuk sesaat ia seperti terhipnotis dengan wajah Alina.
Mata hazel dan bibir yang terpahat dengan indah milik Alina sesaat membuat ia lupa diri dan tidak fokus. Tetapi berbeda dengan tingkahnya. Arham tidak bercanda ketika mengajak Alina menikah dengannya.
"Saya minta maaf karena lagi-lagi menyentuh tangan kamu. Tapi saya serius ketika mengajak kamu menikah." Arham mengungkapkan perasaannya dengan lantang.
"Apa? Menikah? Apa yang kalian bicarakan? Siapa dia Arham?" Ibu Sarah tiba-tiba muncul entah darimana dan membuat Arham terkejut setengah sadar.
"Mama? Apa yang Mama lakukan di sini?" tanya Arham kepada ibunya yang kini telah berdiri di samping Alina.
"Kamu Alina, ya?" tanya Ibu Sarah kepada Alina tanpa menghiraukan pertanyaan Arham.
"Iya, saya Alina," jawab Alina sekenanya. Tidak kalah terkejutnya dengan Arham.
Suasana kikuk nan romantis yang baru saja terbangun di antara mereka seketika berubah menjadi semakin canggung dan membingungkan karena kedatangan tidak terduga dari Ibu Sarah.
"Saya Sarah, Ibunya Arham. Jadi kamu adalah calon istrinya Arham?" tanya Ibu Sarah antusias.
"Ma!" cegah Arham. Ia memegang tangan ibunya mencoba menghentikan ibunya berbicara semakin jauh. "Kita pergi sekarang," ajak Arham yang ditolak oleh Ibu Sarah.
"Kamu itu kenapa, sih? Mama cuma mau ketemu sama calon istri kamu." Ibu Sarah menepis tangan Arham dari lengannya. Kemudian ia kembali menatap wajah Alina. "Kamu sangat mirip dengan Selina, mendiang menantu saya." Ibu Sarah menyentuh wajah Alina dengan tatapan penuh kerinduan. Senyum kebahagiaan terpancar dari wajah Ibu Sarah.
"Saya …"
"Ternyata foto yang diambil oleh pengawal saya itu tidak salah. Wajah kamu memang sangat mirip dengan Selina. Bagaimana mungkin? Apa kamu kembarannya?"
"Ma …"
"Diam kamu Arham!" Ibu Sarah tidak membiarkan Arham menyelanya kali ini. "Mama sedang tidak bicara dengan kamu."
Ibu Sarah terlalu bersemangat melihat Alina yang memiliki kemiripan wajah yang hampir sempurna dengan mendiang menantunya.
Andai saja ia tahu bahwa Alina adalah calon menantunya, Ibu Sarah tidak akan repot-repot menjodohkan Arham dengan wanita lain. Ia akan sangat menyetujui pernikahan Arham dengan Alina tanpa syarat.
"Jadi ini rumah kamu sayang? Kamu sudah mendekorasi rumah kamu?" tanyanya melihat rumah Alina yang sudah heboh dengan dekorasi pesta pernikahan yang megah tampak dari luar.
Seketika Ibu Sarah terlihat panik. Ia kemudian menoleh pada putranya yang hanya berdiri pasrah di belakangnya. "Kalian sudah menentukan tanggal pernikahan? Kok Mama nggak tahu?"
Arham diam semakin tidak bisa berkomentar. Ia hanya menghela napas lemah melihat kesalahpahaman ibunya. Bisakah ia berbicara sebentar untuk menjelaskan semuanya?
"Saya sudah boleh bicara?" tanya Arham mencoba untuk tidak terlihat kesal di hadapan ibunya.
"Tidak perlu!" Ibu Sarah mengangkat tangan kanannya. "Mama akan mendengar penjelasan dari calon menantu Mama."
Giliran Alina yang kebingungan. Melihat kekuasaan ibu dari pria sekelas Arham membuat Alina yakin bahwa wanita yang berada di hadapannya itu tipe wanita kelas atas yang sulit untuk dihadapi.
"Tapi saya…" Alina melirik Arham mencoba meminta bantuan dari pria tersebut. Jujur saja, ia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Bahkan arah pembicaraan Ibu Sarah saja tidak masuk dalam kepalanya.
Belum ada respon dari Arham. Ia mematung sebentar lalu kembali mendekati ibunya. "Tunggu sebentar, Ma."
"Apalagi sih, Arham? Mama nggak berniat menculik calon istri kamu, kok. Mama cuma mau bertamu ke rumahnya. Bertemu keluarganya. Kan sebentar lagi kita akan menjadi keluarga." Ibu Sarah menatap Alina meminta persetujuan. "Iya kan, Alina? Kamu tidak keberatan kan kalau Mama menemui keluarga kamu? Mama ini mamanya Arham loh. Walaupun Arham tidak menganggap keberadaan Mama tapi Mama tetap keluarganya"
"Ah iya," jawab Alina asal bicara.
Untung saja sebuah taksi berhenti di samping mereka. Rama baru selesai dengan urusannya dengan Digo dan sampai di hadapan majikannya di waktu yang tepat.
"Ah, untung saja kamu datang. Tolong urus Mama sebentar," pinta Arham berbisik kepada Rama yang baru turun dari taksi. "Cepat ajak Mama pergi dari sini."
"Baik Pak."
Tanpa bertanya alasannya, Rama dengan sigap mendekati ibu Sarah. "Maaf Nyonya tapi baru saja saya mendapat telepon kalau klien kita baru saja tiba di bandara dan sekitar 15 menit lagi sampai di kantor."
"15 menit?" Ibu Sarah berteriak kaget. "Kok kamu baru bilang sekarang sih, Ram?" Ibu Sarah memeriksa arloji di tangan kanannya. "Butuh 20 menit dari sini untuk sampai ke kantor."
Wajah Ibu Sarah seketika resah. Tetapi ia tetap tersenyum ketika bertemu mata dengan Alina.
"Alina sayang, maafkan Mama tapi sepertinya Mama harus pergi sekarang. Pertemuan keluarga akan kita lakukan lain waktu. Mama akan menyuruh Rama untuk mengaturnya, oke? Mama pergi dulu," kata Ibu Sarah ketika mobil yang hendak menjemputnya sudah berada di sampingnya.
"Iya Tante," jawab Alina cepat. Senyum terpaksa menyertai anggukannya.
"Arham, malam ini kita bertemu di rumah," sambung Ibu Sarah sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil. Rama pun demikian. Hanya Arham yang masih berada di sana bersama Alina.
"Jadi sekarang apa?" tanya Arham setelah melihat mobil milik ibunya melesat di tengah kerumunan mobil lainnya.
"Justru aku yang tanya. Apa maksudnya ini semua?"
***