Chereads / Mommy Untuk Aaron / Chapter 14 - Permintaan Aaron

Chapter 14 - Permintaan Aaron

"Maaf atas ketidaknyamanan kamu. "

Arham meminta maaf kepada Alina karena sikap ibunya yang terkesan tidak sopan kepadanya. Ia menatap Alina seraya memegang kepalanya. Ia juga tidak menduga ibunya bisa muncul di sana dan membuat situasi semakin rumit.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Ibu kamu mengatakan tentang pernikahan kita? Saya memang akan menikah tetapi bukan dengan kamu," kata Alina..

Arham juga tidak menyangka ibunya bisa dengan cepat mengetahui tentang Alina. Ternyata benar dugaan Arham tentang para pria yang pernah mengikutinya tempo hari.

Mereka adalah mata-mata yang dikirim ibunya untuk mencari tahu wanita yang dekat dengannya.

"Bagaimana kalau kita menikah saja?" usul Arham tiba-tiba.

Alina memicingkan matanya. "Kita menikah? Kamu sedang bercanda, ya? Kalau ini hanya lelucon kamu saja, aku bilang ini tidak lucu sama sekali." Alina menggeleng seraya berjalan mundur.

"Mungkin menurut kamu ini lelucon. Tapi saya serius." Arham memerhatikan situasi di sekitarnya. "Bagaimana kalau kita mencari tempat untuk membicarakan ini?" tanya Arham melihat keadaan di sana yang tidak memungkinkan untuk membicarakan hal penting seperti itu.

"Kemana? Di sini saja. Kamu bisa mengatakan apa yang ingin kamu katakan di sini," kata Alina menolak.

Masalah saat ini telah rumit. Dan Alina tidak ingin masuknya Arham dalam masalahnya membuat semuanya semakin tidak terkendali. Secepat mungkin ia ingin mengakhiri percakapannya dengan Arham.

"Di sini?" Arham melangkah maju mendekati Alina. "Banyak yang ingin saya katakan. Apa kamu yakin ini adalah tempat yang tepat untuk mengatakannya?" Arham memajukan wajahnya hingga jarak wajahnya dengan wajah Alina begitu dekat. Alina bahkan bisa merasakan hembusan napas Arham.

"Jangan mendekat!" Alina menahan langkah Arham dengan tangannya. "Kita bicara di kafe ujung sana," kata Alina segera berjalan mendahului Arham.

Diam-diam Arham tersenyum melihat tingkah Alina yang terlihat menggemaskan.

"Jadi apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Alina setelah mereka sampai di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai tersebut.

Tempat yang cocok untuk Arham yang tidak terlalu suka dengan keramaian. Pria tersebut mengambil posisi ternyaman lalu menatap mata Alina.

"Langsung saja, Alina. Saya ingin membantu kamu menyelesaikan masalah yang sedang kamu hadapi sekarang ini." Arham langsung pada intinya.

"Menyelesaikan?" Alina terlihat mulai tertarik. "Maksud kamu?"

"Menikah lah dengan ku. Maka semua masalahmu akan beres. Saya bisa menjamin itu," kata Arham dengan tampang arogannya.

Ia yakin Alina tidak akan menolak lagi kali ini.

Alina tiba-tiba tertawa. "Menikah dengan kamu?" Ia kemudian menatap lamat-lamat pria di hadapannya. "Sudah berapa kali kamu mengatakan ini hari ini? Apa kamu pikir aku tertarik dengan kamu?" tanya Alina memutar bola matanya.

Tidak diragukan lagi jika Arham memang adalah idaman semua wanita. Siapapun yang mendengar penuturan Arham barusan akan bertekuk lutut agar Arham tidak menarik ucapannya.

Kaya, tampan dan berkuasa. Meski ia seorang duda beranak satu, tidak mengurangi klasifikasi Arham yang begitu sempurna.

Namun, mengapa ia mendengar sesuatu yang berbeda dari wanita di hadapannya itu?

"Kamu baru saja menolak saya?" tanya Arham tidak percaya dengan pendengarannya.

Alina mengangguk kepalanya dengan mantap.

Hembusan napas kasar seketika terdengar dari mulut Arham. Ia memperbaiki posisinya lalu menatap Alina dengan penuh kepercayaan diri. "Katakan apa yang membuat kamu tidak tertarik pada saya? Saya tampan, kaya dan yang pasti mampu membahagiakan kamu. Apa yang kurang dari saya?"

"Kamu kira cinta bisa dibeli dengan semua yang kamu punya itu?" tanya Alina. "Saat ini memang saya sedang mengalami krisis tetapi saya tidak bisa menggadaikan harga diri saya hanya untuk menjadi istri kamu, Tuan."

"Menggadaikan harga diri?" Wajah Arham seketika mengeras. "Kamu bilang menikah dengan saya sama dengan menggadaikan harga diri? Apa seperti itu cara kamu berpikir sebagai seorang wanita?"

Tiba-tiba suara Arham yang semula terdengar hangat berubah dingin. Tatapan matanya yang tajam seakan bersiap untuk menusuk Alina.

"Baiklah!" Arham berdiri lalu merapikan jasnya. Ia tidak ingin mendengar kelanjutan dari ucapan Alina. "Kalau memang kamu tidak tertarik dengan saya. Saya terima. Tapi saya harap kamu tidak menyesali keputusan kamu ini." Arham meraih ponselnya dari atas meja lalu pergi meninggalkan Alina yang masih duduk di kursinya.

Tidak ada penyesalan yang Alina rasakan. Bahkan ketika Arham telah berada di luar kafe, ia tidak berubah pikiran sama sekali.

"Apa pernikahan adalah sebuah lelucon baginya? Cih!" Alina melirik Arham tidak percaya.

***

"Paman Rama, apa kita akan bertemu Mommy hari ini?" tanya Aaron ketika Rama mengantar Aaron ke sekolah.

Sudah satu minggu sejak kejadian di kafe dan Arham sama sekali belum berinisiatif untuk menemui Alina.

Egonya yang tinggi membuat ia merasa tidak perlu menemui Alina lagi. Terlebih wanita tersebut telah mengatakan kata-kata yang cukup mencederai harga dirinya.

Bagaimana bisa seorang wanita biasa seperti Alina menolak dirinya yang luar biasa. Tidak ada yang kurang dari diri seorang Arham. Bahkan ia bisa memberikan apapun untuk Alina jika Alina memintanya.

Karena masih terpaku dengan keyakinan tersebut, Arham tidak pernah menghubungi Alina lagi. Bahkan ketika Aaron bertanya seperti hari ini pun tentang Alina, Arham selalu membujuknya untuk tidak membicarakan Alina lagi.

Tetapi percuma saja. Aaron sudah terikat dengan Alina. Meski pertemuan mereka hanya sebentar, tetapi ikatan di antara mereka telah terjalin dengan erat. Dan pertanyaan seperti itu tidak bisa mereka hindarkan.

"Tuan Kecil, maafkan Paman tetapi hari ini Mommy sedang sibuk, jadi tidak bisa menemui Tuan kecil," info Rama berusaha menjaga perasaan Aaron yang beberapa hari ini tampak mudah bersedih.

"Apa Mommy marah karena Aaron nakal? Atau karena Daddy marah pada Mommy yang membacakan dongeng untuk Aaron?"

"Tidak, Tuan kecil," jawab Rama cepat. "Tidak seperti itu. Mommy dan Daddy baik-baik saja. Mereka tidak bertengkar sama sekali." Rama kebingungan harus mengatakan apa.

Rama tidak menyangka pengaruh Alina pada Aaron begitu besar. Bukan hanya karena wajahnya yang mirip dengan Selina tetapi juga karena sifatnya yang hangat, hingga membuat Aaron menjatuhkan hati padanya.

Tapi apa yang bisa ia lakukan? Arogansi Arham yang tidak tertandingi membuat semuanya semakin sulit.

"Kalau begitu antarkan Aaron bertemu Mommy sekarang juga," pinta Aaron seraya menarik jas Rama yang duduk di kursi depan.

"Tapi, Tuan…"

"Kalau Paman menolak, Aaron tidak mau sekolah!" ancam Aaron.

Ia bersidekap dada menghadap jendela seraya memasang wajah cemberut.

"Aaron juga tidak mau makan!"

"Tuan Kecil, tenanglah."

"Aaron akan tinggal bersama Oma kalau Paman tidak ingin membawakan Mommy kepada Aaron!" ancam Aaron semakin ekstrem.

Hal tersebut membuat Rama kebingungan. Ia ingin melaporkan hal tersebut kepada Arham tetapi Arham sedang menghadiri rapat penting. Tidak mungkin ia mengganggu Arham hanya karena Aaron yang merengek ingin bertemu dengan Alina.

"Baiklah, Tuan Kecil." Rama akhirnya menyerah setelah mempertimbangkan banyak hal. "Kita akan bertemu dengan Mommy. Tapi saya minta Tuan kecil jangan meminta yang aneh-aneh pada Mommy. Dan juga ini yang terakhir kali." Rama memulai negosiasinya dengan Aaron.

"Siap, Paman." Aaron membalas dengan penuh semangat. Wajah yang tadinya merengut kini mengembangkan senyum.

Terpaksa Rama menghubungi Alina tanpa sepengetahuan Arham. Ia mengatur pertemuan dengan Alina dan meminta agar Alina mau menemui Aaron sebentar.

"Maafkan saya Nona Alina." Rama membungkuk meminta maaf karena telah menyita waktu Alina.

"Tidak apa-apa, Pak Rama. Lagipula ini juga tidak ada hubungannya dengan Arham. Saya malah senang ketika Bapak menelpon saya dan mengatakan Aaron ingin bertemu dengan saya," kata Alina tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

"Tapi dimana Aaron?" tanya Alina menengok ke dalam mobil yang kosong.

"Itu dia, Nona." Rama menunjuk ke arah belakang Aaron.

Dari kejauhan Aaron tampak berlari dengan es krim di kedua tangannya. Melihatnya membuat Alina segera berlari menyambut Aaron.

"Mommy!"

"Hati-hati Aaron. Jangan berlari," teriak Alina merentangkan kedua tangannya bersiap menangkap Aaron.

HAP!

Alina menangkap tubuh Aaron dan memeluknya erat.

"Mommy."

Mereka berpelukan satu sama lain. Alina bisa merasakan detak jantung Aaron yang terdengar begitu dekat karena pelukan mereka.

"Kenapa kami berlari, tampan?" tanya Alina setelah mereka melepas pelukan. Alina berjongkok di hadapan Aaron sambil memegang kedua bahunya.

"Ini untuk Mommy." Aaron menyerahkan es krim yang berada di tangan kanannya kepada Alina. "Es krim ini permintaan maaf dari Aaron.

Alina mengembangkan senyum lalu mengambil es krim tersebut. "Terima kasih, tampan," kata Alina lalu menggigit puncak es krim tersebut.

"Dan ini permintaan maaf dari Daddy," kata Aaron menyerahkan es krim yang satunya.

Alina seketika terdiam ketika mendengar ucapan Aaron. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Anak berusia lima tahun ini baru saja meminta maaf untuk ayahnya.

***