Wajah panik terpancar jelas dari wajah Arham. Napasnya masih tersengal ketika ia melihat Aaron sedang menangis di depan seorang wanita.
Arham berjalan cepat menuju ranjang tempat Aaron dirawat tetapi segera berhenti ketika mendengar suara seorang wanita yang mencoba menenangkan putranya. Terlebih ketika Aaron menyebutnya mommy.
"Mommy… lutut Aaron sakit, Mommy." Aaron menangis sambil memegang tangan seorang wanita di depannya.
"Hey, tenanglah. Kamu akan baik-baik saja. Lukamu akan segera sembuh setelah dokter memberinya obat, hm?" kata wanita tersebut berusaha menenangkan Aaron yang menangis karena takut dengan dokter.
Suara yang begitu familiar dengan gestur tubuh yang sangat tidak asing sedang berdiri di hadapan Arham. Meski ia hanya melihat punggung wanita itu, tetapi Arham seperti sangat mengenal seseorang di hadapannya itu.
"Selina." Nama itu seketika meluncur begitu saja keluar dari mulut Arham ketika ia melihat wajah wanita yang sedang menenangkan putranya.
Bagaimana tidak, wajah wanita yang berdiri di hadapannya begitu mirip dengan Selina. Bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki kemiripan yang hampir sempurna seperti itu.
Aaron masih menangis sambil memanggil ayah dan ibunya. Sementara tangannya sejak tadi memegang tangan wanita di sampingnya.
"Mommy, tangan Aaron sakit."
"Tenang, ya. Dokter hanya memberi obat untuk kamu, Tuan kecil." Wanita itu mencoba mengusap wajah Aaron yang telah basah oleh air mata.
Arham semakin tidak tahan. Ia mempercepat langkahnya dan menangkap tangan wanita itu.
"Siapa kamu?" tanya Arham menarik tangan wanita itu hingga membuatnya terpental ke hadapannya.
Wanita itu terkejut. Ia menelan salivanya pelan ketika bertemu mata dengan pria yang menatapnya dengan tatapan penuh emosi.
"Selina?"
Alina menggeleng pelan. Ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan pria yang di hadapannya. Setelah seorang anak yang hampir celaka karena mengejarnya dan terus memanggilnya dengan panggilan mommy. Sekarang seorang pria yang salah mengenalinya dengan nama orang lain.
Alina tidak mengerti dengan situasi ini.
"Sa-saya Alina," jawabnya terbata-bata.
Arham seperti tuli. Ucapan Alina yang terdengar samar sama sekali tidak terdengar di telinganya.
"Jawab! Kamu siapa?" tanya Arham lagi. Kali ini ia bertanya dengan suara yang semakin meninggi dengan emosi yang menggebu.
Ada kemarahan bercampur kerinduan di wajahnya hingga tanpa sadar membuat matanya berkaca-kaca.
"Akh!" Alina mengeluh kesakitan. Genggaman erat Arham di pergelangan tangannya membuat ia tidak bisa menjawab. "Tangan saya sakit."
"Ayo jawab!"
"Saya Alina," jawab Alina, cepat. "Saya hanya berusaha menenangkan anak kecil ini. Apa saya telah melakukan kesalahan hingga membuat kamu marah?"
Alina masih tidak mengerti dengan situasi ini. Ia hanya berusaha membantu anak kecil yang terjatuh karena mengejarnya. Apa dia telah membuat seseorang yang sangat penting terluka?
Apa Alina akan dihukum karena hal tersebut?
"Alina?" Arham mengerutkan keningnya. Sementara genggaman tangannya tidak melemah pada pergelangan Alina.
"Saya tidak berniat apapun. Jadi tolong, bisa tolong lepaskan tangan Anda? Sakit," rintih Alina semakin kesakitan.
Arham tidak peduli. Ia masih terbawa dengan dunianya seakan wanita yang berada di hadapannya adalah Selina. Wanita yang sangat ia rindukan.
"Pak Arham." Rama segera mendekati Arham.
Melihat suasana yang semakin memanas membuat Rama segera turun tangan untuk menenangkan Arham.
"Tenanglah, Pak. Banyak orang yang melihat. Sebaiknya Bapak fokus pada Tuan kecil dulu," bisik Rama.
Alina yang kesakitan berusaha melepas tangannya hingga membuat ia meneteskan air mata tanpa sadar. Sementara Arham dengan wajah merah padam berusaha menahan air matanya yang hendak meluncur.
Entah perasaan apa yang sedang mereka rasakan. Rasa panas seketika menjalar dalam tubuh Arham. Perasaan yang ia rasakan ketika pertama kali bertemu dengan mendiang istrinya. Dan yang paling pasti, Alina kebingungan dengan perasaannya.
"Daddy." Aaron yang sebelumnya terabaikan berteriak.
Arham akhirnya tersadar. Segera ia melepas genggaman tangannya dan bergeser ke pinggir ranjang. Ia tidak bisa mengabaikan wanita itu tetapi Aaron juga lebih penting dari segalanya.
"Aaron, are you okay?" tanya Arham memeriksa seluruh tubuh putranya.
"Daddy, tangan Aaron sakit."
"It's okay, sayang. Daddy ada di sini untuk kamu." Arham memeluk Aaron untuk menenangkan putranya. "Dokter tolong obati luka anak saya."
"Baik, Pak." Dokter yang sejak tadi kesulitan ketika membersihkan luka Aaron akhirnya bisa melakukan tugasnya dengan baik.
Walau ia masih sedikit kesulitan karena Aaron semakin rewel sejak kedatangan ayahnya.
Semua perhatian kini terfokus kepada Aaron dan sang ayah yang terlihat begitu tampan dengan sifatnya yang lembut kepada putranya. Perhatikan mereka kini tertuju pada Aaron dan Arham.
Hingga mereka tidak menyadari jika wanita yang sempat mengalihkan dunia Arham perlahan mengambil langkah mundur untuk menjauh.
'Anak ini sudah bertemu dengan ayahnya. Sepertinya aku bisa pergi sekarang,' batin Alina sebelum benar-benar pergi.
Sesaat sebelum Alina berlalu di antara beberapa orang, Arham sempat menoleh untuk memastikan keberadaan Alina tetapi ia hanya melihat punggung wanita itu yang semakin menjauh.
"Daddy."
"Iya, Daddy ada di sini. It's okay." Terpaksa Arham membiarkan Alina pergi.
Alina telah berada di luar rumah sakit. Sebenarnya ia masih ingin memastikan keadaan Aaron tetapi suasana di sana begitu membingungkan dirinya.
Terlebih dengan sikap kasar Arham padanya sesaat yang lalu. Apakah itu sebuah kemarahan atau perasaan lain. Alina tidak bisa menerkanya.
"Astaga aku terlambat. Gawat! Mama pasti marah," keluh Alina seraya berlari menuju halte bus.
Langit masih terlihat cerah ketika ia memasuki rumah sakit tadi, tetapi kini telah dihiasi bintang yang meredup.
Alina menaiki bus dan duduk di kursi paling belakang. Jendela bus sengaja ia biarkan terbuka agar angin malam masuk melalui jendela, membuat hembusan angin malam perlahan menerpa wajahnya yang terlihat lesu.
Alina mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya. Dari dalam amplop itu, ia mengeluarkan beberapa uang seratus ribu yang membuatnya menghela napas lemah.
"Uang ini tidak akan cukup untuk membayar biaya pengobatan ayah," batin Alina memejamkan mata.
Sembari beristirahat dengan memejamkan mata, kilasan ingatan tentang kejadian di rumah sakit tadi membuatnya membuka mata.
"Siapa kamu?" Alina mengulangi pertanyaan Arham sebelumnya. "Apa dia ayah dari anak itu? Lalu kenapa dia yang melihatku dengan tatapan seperti itu?" Alina berusaha mencerna kejadian itu sembari berpikir keras. "Walau dipikir bagaimana pun, ini terasa sangat aneh. Bagaimana mungkin seseorang melihatku dengan tatapan yang begitu dalam seakan ia baru bertemu dengan seseorang yang begitu ia rindukan? Hah!"
Alina menghela napas lemah lalu kembali memejamkan matanya.
***
Alina berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Sesekali ia menggerakkan kepalanya sambil melakukan peregangan otot pada lehernya.
"Eh!" Alina terkejut ketika menyadari seseorang telah berdiri di hadapannya dengan bunga di tangannya. "Bagas?" Alina tersenyum bahagia.
"Selamat ulang tahun," kata pria itu menyerahkan buket bunga yang begitu besar kepada Alina.
"Apa ini? Kamu kenapa di sini?" Alina terkejut melihat Bagas berada di sana. Padahal tadi siang pria itu mengatakan tidak akan bisa menemuinya karena lembur di kantor.
"Kejutan." Bagas dengan cepat menarik Alina dalam pelukannya. "Maaf karena aku hanya bisa memberikan ini."
Alina menggeleng. "Aku suka. Aku menyukai semua yang kamu berikan, termasuk bunga ini," balas Alina membalas pelukan Bagas.
Kekasih yang telah bersamanya sejak SMA itu seperti suatu keajaiban yang selalu menyegarkan ketika Alina merasa sesak. Terutama di saat seperti sekarang ini. Alina sangat bahagia melihat Bagas yang selalu menemaninya di setiap waktu terberatnya.
"Ayo, aku akan mengantar kamu pulang." Bagas menarik tangan Alina dan berjalan beriringan. "Jadi bagaimana pekerjaan kamu hari ini?"
"Lancar dan melelahkan." Alina menjawab dengan senyum pahit.
Bagas berhenti lalu menarik tangan Alina agar wanita itu menatapnya. "Al, bagaimana kalau kita menikah?"
"Hah?" Alina tersentak. "Menikah? Kenapa tiba-tiba?"
Bagas mengeluarkan sebuah kotak perhiasan kecil. Bisa ditebak kalau kotak itu berisi cincin lamaran.
"Jangan!" Alina melangkah mundur.