"Besok datang lebih pagi, ya."
Teman Alina meneriaki dirinya yang pulang lebih dulu setelah menutup restoran tempat mereka bekerja.
"Oke," balas Alina ikut melambai ke arah temannya. Tentu saja ia harus datang lebih pagi besok. Siapa lagi yang akan membersihkan restoran dan menyiapkan bahan kalau bukan dirinya.
Alina yang telah bekerja selama hampir 3 tahun di tempat itu sudah memiliki wewenang yang lebih tinggi dari karyawan lainnya meski pada kenyataannya ia yang harus mengatur bahkan mengerjakan semua pekerjaan sendiri.
Alina memeriksa ponsel dan berjalan menyusuri trotoar menuju halte bus. Ternyata bus yang biasa ia tumpangi menuju rumah sakit telah berlalu. Hingga ia harus menunggu bus berikutnya.
Sudah cukup larut untuk memanggil taksi. Tetapi bus yang akan ia tumpangi juga telah berlalu. Jadi apa pilihan yang bisa dipilih Alina? Ia memilih duduk dan berdiam sejenak.
Sembari menghilangkan penat, Alina duduk sambil menyandarkan kepalanya. Tepat di hadapannya, ia bisa melihat sebuah papan iklan besar yang menampilkan foto seorang pengusaha tersukses tahun ini.
"Arham Fauzan." Alina membaca nama dari pria yang sedang ia tatap fotonya. Jika Alina jeli, ini bukan pertama kalinya foto Arham dipasang di sana.
Tetapi karena selama ini Alina terlalu sibuk dengan dunianya yang melelahkan. Ia tidak menyadari siapa itu Arham dan tidak peduli dengan apapun itu.
Arham Fauzan, pengusaha tersukses tahun ini yang mampu melebarkan sayap bisnisnya hingga global. Meski berasal dari keluarga terpandang dengan kekayaan yang melimpah, Arham tidak pernah mengambil keuntungan dari kekayaan orang tuanya.
Ia bekerja sendiri dan mencapai kesuksesannya sendiri. Putra tunggal dari keluarga terhormat dengan aset yang berlimpah. Bisa dikatakan bahwa harta kekayaan mereka tidak akan habis 7 turunan.
Bahkan saat ini, ia baru saja menyandang sebagai presiden direktur yang baru dan pemegang saham terbesar di W group. Salah satu perusahaan terbesar dengan anak perusahaan yang menjamur di seluruh negeri.
Lantas, siapa yang tidak mengenalnya?
Mungkin hanya Alina seorang yang tidak mengenal pria dengan segala pencapaian dan pesonanya itu. Alina memang tidak tertarik dengan semua itu. Melihat segala kemewahan hanya membuat dirinya merasa rendah diri dan tidak bersemangat.
Tempat Arham terasa begitu sangat tinggi hingga membuat Alina kelelahan meski hanya menatap potretnya.
"Pria yang sangat tidak bisa diraih," gumam Alina kembali memejamkan matanya.
Beep! Beep!
Sebuah mobil berhenti tepat di hadapan Alina. Si pengendara mobil membuka kaca mobil dan berteriak ke arahnya.
"Selamat malam, Alina." Pria itu tersenyum sembari mengedipkan sebelah matanya. "Butuh tumpangan?" tanya pria tersebut.
Alina yang sepertinya sering digoda oleh pria tersebut mengatur wajah bosan dengan sedikit senyum yang dipaksakan. "Terima kasih, Pak. Tapi saya sedang menunggu bus," balas Alina kepada Digo, anak dari pemilik restoran tempat ia bekerja.
Digo memeriksa arlojinya. "Bus? Di jam seperti ini? Apa kamu bercanda, Alina? Jam segini mana ada bus. Bus terakhir sudah lewat 30 menit yang lalu." Ia tertawa mengejek.
Alina berdecak kesal. Andai ia tidak harus mengerjakan semua pekerjaan di restoran sendirian seperti tadi. Ia bisa saja telah berada di rumah sakit sekarang. Dan bukannya bertemu dengan pria hidung belang di pinggir jalan seperti ini.
"Ayolah, Alina. Ini bukan pertama kalinya kamu menolak ajakan ku. Apa hari ini kamu juga akan menolak?"
"Maaf, Pak. Tapi saya harus menolak ajakan Bapak lagi hari ini." Alina berujar, sopan. Ia masih berusaha menjaga ucapannya meski merasa risih.
Digo yang masih berada di dalam mobil tampak kesal. Ia keluar dari mobilnya dan menarik Alina dengan paksa.
"Ayolah ikut," kata Digo berusaha meraih tangan Alina.
"Saya tidak mau!"
"Ayo ikut." Kali ini ia bertindak kasar dengan menarik paksa tangan Alina.
"Eh! Apa-apaan ini?" Alina tersentak melihat Digo dengan kasar menarik tangannya. "Bapak mau apa?"
"Ikut, saya bilang!"
"Saya tidak mau! Kenapa Bapak memaksa seperti ini?"
"Jangan sok jual mahal kamu, Alina."
Sok jual mahal? Alina menghela napas kesal. Dengan sekuat tenaga Alina berusaha menarik tangannya. Kepalanya mendidih mendengar pria seperti itu mengatainya sok jual mahal.
"Lepaskan! Atau saya teriak!" ancam Alina walau sebenarnya ia ketakutan.
"Teriak?"
Plak!
Dengan kasar pria tersebut menampar wajah Alina hingga membuatnya hampir terjatuh. Alina semakin ketakutan. Alina menyentuh ujung bibirnya yang terluka karena tamparan keras tersebut.
Wajah Digo juga tampak lebih seram dari biasanya. Alina berusaha berjalan mundur untuk menjauh dari jangkauan Digo. Ia menahan rasa perih di pipinya yang baru terkena tamparan.
Rasanya ngilu hingga membuat Alina sedikit pusing. Ia mengedarkan pandangannya. Di sekitar tidak ada orang sama sekali. Hanya ada satu dua mobil yang lalu lalang. Dan mereka pasti tidak menyadari apa yang sedang terjadi pada Alina saat ini.
"Kenapa? Kamu takut?" Pria itu tertawa jahat. "Wanita seperti kamu memang harus diperlakukan seperti ini. Haha." Ia semakin tertawa.
Tangan Alina bergetar hebat dengan suara yang ikut bergetar. "Jangan mendekat. Aku mohon jangan mendekat," pinta Alina seraya terus berjalan mundur. Hasilnya, ia menabrak tiang di belakangnya dan terjatuh.
"Haha… menyerahlah, Alina. Tidak ada yang bisa membantu kamu selain saya. Ayo, kemarilah."
Pria itu kembali mengulurkan tangannya hendak meraih tangan Alina. Tetapi sayang, Alina melesatkan tangannya dan memukul wajah pria tersebut dengan tasnya. Hal terbaik yang bisa ia lakukan saat ini.
"Kurang ajar kamu!" Digo semakin murka. Ia berjongkok di hadapan Alina lalu menjambak rambut wanita tersebut. Ia juga memegang dan mencekik leher Alina.
"Aakhh." Alina meronta berusaha melepaskan diri tetapi pria tersebut semakin brutal dengan menarik rambut Alina hingga Alina mendongak. Air matanya jatuh membasahi pipi Alina.
"Lepaskan! Tolong lepaskan saya." Alina memohon.
Pria itu tertawa seram. "Kamu pikir kamu bisa memukul saya seperti tadi karena saya sering mengajak kami pulang? Hah!" Pria itu semakin menarik rambut Alina dengan geram. "Kamu tidak lebih dari perempuan jalanan yang hanya ingin aku maini. Tapi sepertinya kamu mulai menganggap remeh saya, ya."
"Lepaskan, tolong lepaskan saya." Alina memohon dengan linangan air mata. Ia ketakutan melihat pria tersebut tersenyum kepadanya. Alina memohon kepada pria tersebut sambil mengatupkan kedua tangannya.
"Begitu dong. Kalau kamu seperti ini sejak tadi. Saya tidak akan melukai wajah mulus kamu ini," bisik Digo mengelus wajah Alina dengan lembut.
Perlahan ia memajukan wajahnya hingga Alina bisa merasakan hembusan napas pria tersebut dekat dengan wajahnya. Alina berusaha menjauh tetapi pria tersebut semakin mendekat. Alina tidak sanggup melihat wajah Digo yang berjarak begitu dekat dengannya.
'Seseorang tolong selamatkan aku. Aku mohon,' batin Alina memohon dengan sepenuh hati seraya terus memejamkan matanya.
Brak!
Doa Alina ternyata menembus langit.
Seseorang datang seperti sebuah bala bantuan yang hendak menyelamatkannya. Sebuah mobil berwarna hitam dengan keras menghantam pantat mobil milik Digo.
"Kurang ajar." Digo menghempaskan wajah Alina dan mendekati mobil yang baru menabrak mobilnya. Tetapi ia malah mendapat kejutan. Mobil tersebut semakin memajukan mobilnya hingga membuat mobil Digo semakin hancur tak berbentuk.
Dari kejauhan, samar-samar Alina melihat dua pria berbaju hitam menarik Digo dan menghajarnya. Sementara seorang pria yang keluar dari mobil hitam tersebut dengan cepat berlari ke arahnya dan memakaikan jas ke tubuhnya.
"Kamu terluka." Pria tersebut menyentuh wajah Alina yang terluka. Kemudian, ia menoleh kepada dia pria yang memegangi Digo. "Bereskan dia!" perintah pria bersuara berat tersebut.
Namun, Alina tidak mampu menahan tubuhnya lagi. Perlahan pandangannya semakin menggelap dan kehilangan kesadarannya.
"Alina, Alina… Buka mata kamu, Alina. Alina!"
***